Langit baru saja akan mengeluarkan sepedanya ketika matanya menangkap siluet Devia, gadis tetangga yang selalu terlihat malu-malu, membuka pintu pagar rumahnya.
"Hai, Via, apa kabar?" Sapanya ramah, suaranya sedikit bergema di kesunyian pagi.
Devia mengangkat kepalanya, seulas senyum tipis merekah di bibirnya. "Baik, Mas. Mas Langit mau ke mana?" Tanyanya, suaranya pelan nyaris seperti bisikan.
"Niatnya sih, tadi mau beli sarapan..." sahut Langit seraya kembali menyandarkan sepedanya di teras rumah, matanya menangkap sekotak makanan di tangan gadis itu.
"Oh, kebetulan aku bawain sarapan, Mas. Aku bikin mi goreng." Devia mengulurkan sebuah kotak makanan berwarna cerah yang dibawanya.
Aroma mi goreng yang menggoda langsung tercium, membuat perut Langit semakin bergejolak.
"Aduh, jadi enak!" Langit tersenyum usil, matanya mengerling. "Masuk dulu, yuk. Mentari ada di dalam tuh, lagi mandi," ajaknya.
Devia menggeleng pelan, rambutnya yang tergerai sedikit bergoyang. "Enggak usah, Mas. Aku mau ke makam," sahutnya.
"Oh! Makam kakek kamu, ya?" Langit teringat. "Nanti bareng aja. Mas juga mau ke sana. Sama kan, tempatnya?"
Sebenarnya ia tak ada rencana ke makam hari ini, tapi demi Devia ia akan mengantarnya. Gadis itu adalah penyelamat yang dikirim Tuhan di saat kelaparan datang. Setahun sudah ia dan Mentari berhutang budi padanya. Ini kesempatan kecil untuk membalas kebaikannya.
Wajah Devia langsung berseri, seolah mentari pagi terpancar di sana. Ia mengangguk dengan semangat. "Makasih, Mas!" Ucapnya tulus.
"Tapi kita sarapan bareng dulu di dalam. Habis itu kita ke sana naik motor. Oke?" Langit sedikit memaksa.
Akhirnya Devia mengangguk. Selesai sarapan, dengan Vesva tuanya Langit membonceng gadis itu menuju pemakaman umum.
Angin pagi menerpa wajah mereka. Sepanjang perjalanan, sesekali Langit melirik spion, menangkap bayangan wajah Devia yang tampak tersipu malu. Entah mengapa, ia sangat suka melihat rona merah itu di pipi gadis itu. Bersamanya, ia tak perlu berpura-pura. Ia bisa menjadi dirinya apa adanya. Ia tak takut membuatnya marah, menangis, atau sakit hati.
Devia, gadis yang sederhana dan sedikit pendiam, usianya tiga tahun lebih muda darinya. Sebentar lagi ia akan menyandang gelar Sarjana Pertanian. Mentari pernah bercerita bahwa Devia menyukainya sejak mereka baru pindah, tapi baru setahun belakangan gadis itu berani mendekat, setelah tahu ia sudah tak mempunyai kekasih lagi.
Setelah dari pemakaman, mereka tak langsung pulang. Keduanya duduk di atas motor yang terparkir di bawah pohon rindang, berteduh dari teriknya sinar matahari yang mulai meninggi.
"Mas Langit..."
Langit menoleh. Dilihatnya Devia tampak ragu, bibirnya sedikit terbuka, seperti mencari kata yang tepat."Mas Langit... udah punya pacar lagi, ya?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, membuat Langit sedikit terkejut. Ah! Dia pasti sudah melihat Malia. Langit menggeleng.
"Cuma teman. Kebetulan kantor dia sama kafe tempat Mas kerja, bertempat di gedung yang sama," jawabnya jujur.
Devia tersenyum lega. Senyum yang menyejukkan hati Langit. "Kenapa?" Tanyanya, meski ia sudah tahu alasannya. Ia ingin mendengarnya sendiri.
Namun, Devia hanya menggeleng, lalu menunduk malu, membuat Langit semakin ingin menggodanya.
"Kalau kamu udah pacar?" Tanyanya lagi, padahal ia juga sudah tahu jawabannya.
Gadis itu pun kembali menggeleng, pipinya semakin merona. Langit tersenyum dalam hati. Oke, sudah cukup menggodanya. Ia tidak boleh memberinya harapan. Bukan karena gadis itu tidak menarik, justru Devia memiliki pesona yang berbeda. Tapi karena saat ini, ia memang tidak ingin berurusan lagi dengan cinta. Hatinya belum benar-benar sembuh sejak perempuan itu meninggalkannya. Ah, dia lagi! Langit mengusap wajahnya, berusaha keras menghilangkan bayangan itu dari benaknya.
Beberapa saat kemudian, Langit mengajak Devia untuk pulang.
Namun, sesampainya di rumah, Langit dikejutkan oleh penampakan sebuah mobil yang terparkir di depan pagar. Dahinya mengernyit. Bukankah Malia bilang akan datang sore nanti? Kenapa sekarang sudah datang? Ia masih harus memberi les lukis pada teman-teman Mentari siang ini.
Belum sempat Langit mematikan motor, Malia sudah keluar dari dalam rumah. Menyambut dengan tatapan tajam yang menusuk, membuat Devia langsung melompat turun dari atas motor.
"Mas, aku pulang dulu ya. Terima kasih udah diantar," pamitnya dengan canggung, lalu cepat-cepat pergi.
Langit menatap wajah Malia dengan bingung. Drama apa lagi sekarang? Batinnya. Ia buru-buru memarkirkan motor, menariknya masuk ke dalam rumah.
"Pantas aku chat kamu dari tadi enggak dibalas-balas," ucap Malia dengan sinis, suaranya dipenuhi nada tuduhan.
Langit menghela napas panjang, berusaha tetap tenang. "Aku enggak bawa hape," sahutnya, mencoba menjelaskan.
"Karena kamu lagi pacaran sama dia, kan? Sarapan bareng, terus jalan-jalan bareng!" bentak Malia, suaranya meninggi.
Langit kembali menghela napas. "Tadi pagi dia bawain sarapan. Terus, karena dia mau lanjut ke makam, aku tawarin dia bareng karena kebetulan aku juga mau ke sana. Tempatnya kan, sama," sahutnya lagi, mencoba setenang mungkin.
Tapi Malia tak percaya begitu saja. "Dari semalam aku tanya kamu mau sarapan apa? Nanti aku kirimin. Tapi kamu bilang enggak usah. Ternyata kamu nungguin sarapan dari dia?!"
Malia tak bisa lagi menahan kecemburuannya. Wajahnya merah padam, kedua bahunya bergerak naik turun, menahan amarah yang membuncah.
Langit hampir tak bisa menahan diri andai saja ia tak melihat Mentari keluar dari dapur, membawa nampan berisi minuman dingin. Namun seolah mengerti, Mentari buru-buru kembali ke dapur.
"Sumpah, Mal! Aku enggak tahu kalau dia mau bawain sarapan!" Jawab Langit lagi, menahan emosinya yang hampir meledak.
"Tapi kamu juga enggak menolak, kan? Kamu bahkan sarapan bareng sama dia?" kejar Malia dengan napas memburu.
"Astaga! Malia! Kamu mempermasalahkan sesuatu yang enggak penting!" Suara Langit mulai meninggi, tak bisa lagi ia menahan diri.
Kini Malia menatap Langit dengan tajam, matanya menyala. "Ini penting buatku! Kamu ajak dia ke makam orang tuamu—Kamu bahkan enggak pernah cerita apa pun tentang orang tuamu ke aku. Biarpun hubungan kita enggak jelas... paling enggak, kamu harus menghargaiku karena kamu sudah dibayar!" Jeritnya.
Ucapan Malia bagai belati yang menusuk langsung ke jantung Langit. Ia terpaku, menatap tak percaya. Dadanya terasa begitu sesak. Kedua bibirnya bergetar, menahan kata yang tak bisa terucap. Tak pernah ia merasa serendah ini di hadapan seorang wanita, selain ibunya. Ia tak mengerti. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia sudah tak sanggup. Ini memang terlalu berat untuknya.
Tanpa berkata, ia berbalik, berjalan masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Malia yang masih berdiri dengan kemarahannya yang belum sirna.
Beberapa saat kemudian, terdengar pintu kamarnya diketuk pelan. Perlahan, Mentari membuka pintu kamar yang tak terkunci itu.
"Dia udah pulang."
Mentari menjawab pelan pertanyaan di wajah Langit. Ia menatap sendu Sang Kakak yang duduk terdiam di atas ranjang.
"Benar apa yang dibilang Kak Malia, Mas?" Tanyanya pelan, suaranya bergetar saat ia melanjutkan. "Mas... dibayar buat pacaran sama dia?"
Langit menundukkan kepalanya dengan malu, menahan air matanya agar tak menetes. Hatinya sangat hancur. Mentari pasti sudah menganggapnya begitu rendah.
"Mas...?" Tanya Mentari lagi, suaranya terbata. Air matanya menggenang.
Tapi Langit tetap diam, menunduk. Ia tak sanggup menjawabnya, bahkan hanya untuk menatap wajah Mentari.
"Apa ini semua demi aku?"
Mentari mencoba menahan isaknya, suaranya hampir tak terdengar. Ditatapnya lebih dekat wajah Langit yang masih tertunduk, matanya sudah berkaca-kaca. Namun, Langit masih tak menjawab. Ia pun lalu beranjak pergi, kembali ke dalam kamarnya. Tangisnya pecah di sana, suara isaknya terdengar jelas oleh Langit. Memporak-porandakan hatinya.
Langit memejamkan kedua matanya. Seketika air matanya mengalir deras, membasahi pipi. Hatinya dipenuhi penyesalan. Harusnya ia memang tidak melakukannya. Harusnya ia tidak menerima tawaran itu.
Ia lalu beranjak bangun, berjalan masuk ke dalam studio lukisnya. Diambilnya kembali lukisan terakhir Ayahnya, yang selalu mengingatkannya pada luka lama. Dan ia kembali memeluknya erat dalam d**a. Dibiarkannya air matanya tumpah di sana, membasahi kanvas. Ia kembali menangisi kedua orang tuanya, meratapi nasibnya yang terasa begitu berat. Dan kembali merapalkan doa penuh dendam kepada orang yang telah menghancurkan hidupnya, keluarganya. Sebuah dendam yang terukir dalam setiap tetes air matanya.