Drama Queen Yang Membingungkan

1388 Words
Di balkon kafe, tatapan Langit kosong, terpaku pada hutan beton pencakar langit yang menjulang. Lampu-lampu mulai menyala, menyambut senja yang akan berganti malam. Jemarinya memutar-mutar sebatang rokok yang belum dinyalakannya. Bima yang memperhatikannya sejak tadi, tanpa bicara menyambar rokok itu, menyulutnya, dan menghisap dalam-dalam. Langit menoleh, alisnya bertaut bingung. Sejak kapan Bima merokok lagi? "Pak Bagja enggak mau dibalikin uangnya," ucap Bima, mengepulkan asap rokok ke udara. Asap itu membentuk gumpalan tipis sebelum larut diterpa angin. "Dia bilang itu bukan bayaran lu. Bonus buat penyewa Bagja Tower," tambahnya, suaranya terdengar datar. Tawa dingin lolos dari bibir Langit. "Lu bilang kan, kalau gue ngundurin diri?" Bima mengangguk, lalu menghela napas panjang, seolah membuang beban. "Sorry, Lang. Gue enggak seharusnya ngomporin lu waktu itu." Nada penyesalan terdengar dalam suaranya. Langit menggelengkan kepala. "Enggak ada yang tahu, Mas. Kita enggak pernah benar-benar bisa menilai seseorang dengan tepat." Langit menatap Bima, penuh arti. "Kayak sekarang gue baru tahu ternyata lu udah ngerokok lagi," sindirnya, bibirnya sedikit menyungging senyum tipis. Bima terkekeh pelan. "Emang lu aja yang stres," balasnya, lalu rautnya berubah serius. "Lu yakin dia enggak bakal datang nemuin lu lagi?" Tanyanya ragu, sorot matanya menelusuri wajah Langit. Langit mengangkat bahu. "Enggak tahu. Paling enggak sekarang dia tahu kalau dia udah enggak punya hak lagi ngatur-ngatur hidup gue seenaknya." Ada nada ketegasan dalam ucapannya. Bima menganggukkan kepalanya perlahan. "Terus lu mau ngomong apa nanti ke Mentari? Dia pasti udah enggak percaya lagi. Enggak mungkin juga lu ceritain ini ke dia, kan?" Langit mengangguk ragu, matanya menerawang. "Lu pegang dulu aja Mas. Gue juga enggak tahu mau diapain tuh duit kalau Mentari enggak mau." Bima kembali mengangguk, lalu mematikan rokok di tangannya. "Dan lu juga udah janji sama adeklu, berhenti merokok," ucapnya, sedikit menegur. Langit tersenyum kecut, senyum yang tak sampai ke matanya. "Lu masih mau di sini?" Tanya Bima lagi. Melihat Langit mengangguk, ia pun bangkit dari duduknya. "Gue balik duluan kalau gitu," ucapnya sebelum melangkah pergi, meninggalkan Langit sendiri dengan lamunannya. Langit menghabiskan sisa kopinya yang sudah dingin. Ia lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Hari mulai gelap, dan udara dingin mulai menyelimuti. Langit meluruskan kedua kakinya di pagar tembok, menghembuskan napas berat. Baru kali ini ia merasa malas pulang. Sejak kejadian kemarin, Mentari tak menegurnya lagi. Bahkan pesan singkatnya tak dibalas sejak siang tadi. Tak ada yang bisa membuatnya cemas di dunia ini selain adik tercintanya itu. Suara pintu terbuka memecah keheningan, membuat Langit menoleh cepat. Tertegun. Malia berdiri di sana - wajahnya sembab, rambut kusutnya diikat asal, berantakan. Langit langsung berdiri, nada suaranya meninggi tanpa bisa ia tahan. "Kalau lu mau bunuh diri lagi, gue enggak akan ngehalangin!" ucapnya sengit, melangkah ke arah pintu. Namun tangan Malia cepat menahan lengannya. "Please..." suaranya serak, nyaris seperti bisikan. Langit menatapnya tajam. "Apalagi?" sahutnya, berusaha melepaskan diri. Tapi genggaman Malia justru makin kuat, lalu tanpa diduga ia memeluknya. Tangisnya pecah, mengguncang tubuh kecilnya. "Maafin aku..." bisiknya di sela isak. Langit mematung. Separuh hatinya ingin menepis, tapi sisi lain justru goyah. Pelukan itu... terasa terlalu familiar. Terlalu menyedihkan untuk diabaikan. "Aku enggak tahu harus gimana lagi... kamu bikin aku bingung," ucap Langit akhirnya, suaranya melemah. Malia mengangkat wajahnya, matanya merah dan penuh putus asa. "Aku takut... Melihat cara dia menatap kamu, aku tahu dia mencintaimu. Devia gadis yang sempurna. Enggak kayak aku. Aku punya masa lalu yang kelam. Aku enggak bisa bersaing sama dia... Kamu pasti bakal pilih dia, kan? Karena hidupmu bakal baik-baik aja bersamanya." Langit menatapnya lekat-lekat. Nafasnya berat. Kecemburuan Malia sungguh berlebihan. Dia juga menganggap berlebihan hubungan mereka. Bukankah dia tahu kalau ia hanyalah seseorang yang dibayar Ayahnya? "Kamu salah paham," ujarnya dengan nada letih. "Aku enggak bisa nerusin hubungan kita kalau sikapmu kayak gini. Posesif kamu udah keterlaluan." Malia kembali membenamkan wajahnya di dadanya, menangis seperti anak kecil yang takut ditinggalkan. Dan saat itu, Langit tahu - gadis di pelukannya bukan hanya kekasih yang cemburu. Tapi seseorang yang benar-benar kehilangan arah. Ia menarik napas panjang, menatap jauh ke langit malam. Rasa itu muncul lagi. Rasa untuk kembali melindunginya seperti malam itu, saat ia menyelamatkannya. Akhirnya, ia memeluk gadis itu erat-erat, membawanya duduk di kursi panjang, dan membiarkannya bersandar di bahunya. Malia terdiam lama di dalam pelukan Langit. Hanya isaknya yang terdengar pelan, semakin lama semakin mereda. Udara malam terasa dingin, tapi kehangatan tubuh Langit membuatnya tenang. Beberapa menit berlalu sebelum Malia bersuara. "Kamu tahu, apa yang bikin aku batal melompat waktu itu?" tanyanya lirih, tanpa menatap. "Karena saat itu kamu bilang, kalau kamu enggak bekerja, kamu enggak menghidupi adikmu. Memberi makan dan menyekolahkannya." Ia mengangkat wajahnya, menatap Langit dengan mata sembab tapi jujur. "Kamu menjaga adikmu dengan baik. Melindunginya... ngasih dia kehidupan. Dan aku-" suaranya pecah, "aku bahkan enggak bisa jaga orang yang paling sayang sama aku." Langit menatapnya lekat, tak sanggup berkata apa-apa. "Dia yang selalu jagain aku, Lang..." lanjut Malia dengan air mata menetes deras. "Sampai di saat terakhirnya pun... yang dia pikirin cuma aku. Dia takut aku sendirian. Takut enggak ada yang jagain aku lagi." Tangisnya pecah lagi, kali ini tak tertahan. Langit menutup mata, menarik napas berat. Hatinya terhimpit rasa iba yang dalam. Semua kemarahan yang tadi tersisa perlahan luluh, tenggelam oleh rasa kasihan yang menyesakkan. Ia menyentuh pipi Malia, menghapus air matanya dengan lembut. "Sekarang ada aku yang jagain kamu." Malia menatapnya, bibirnya bergetar, lalu kembali bersandar di bahunya. Keduanya terdiam lama. Tak ada lagi isak, tak ada lagi kata. Hanya detak jantung yang saling mendekat, menyatu dalam sunyi. .... Keesokan paginya, suasana di kafe terasa berbeda. Dari jauh, Bima memperhatikan Langit yang sedari tadi sibuk di balik meja konter, wajahnya tampak lebih cerah dari biasanya. Ia bahkan sempat bersenandung kecil, sesuatu yang sudah lama tak dilakukan pria itu. "Lu kenapa?" tanya Bima akhirnya, tak tahan melihat perubahan mendadak itu. Langit tersentak, hampir menjatuhkan cangkir yang sedang dibersihkannya. "Enggak apa-apa, Mas," jawabnya cepat, terlalu cepat. Bima menyipitkan mata. "Enggak mungkin enggak ada apa-apa," ujarnya curiga. Langit hanya bisa tersenyum kecil, menyerah pada tatapan tajam itu. "Gue sama Malia udah baikan. Dia janji enggak bakal ganggu kerjaan gue lagi." "Baikan?" Bima mengernyit. "Cepet amat. Kapan ketemunya, semalem?" Langit mengangguk malu. Bima mendengus, menggeleng-geleng. "Gila lu, ya. Drama lu berdua bikin gue ikut gila!" katanya, tapi diakhiri tawa kecil yang akhirnya membuat Langit ikut tertawa. "Hubungan lu sama dia jadinya gimana sih?" Bima menatap Langit lekat-lekat. "Lu ngakunya enggak pacaran, tapi kalian udah kayak orang pacaran. Jangan php-in anak orang, Lang." Langit menyandarkan tubuhnya di meja, menatap kosong ke arah luar jendela. "Complicated, Mas... gue juga bingung. Sekarang gue cuma berusaha jalanin apa yang jadi kerjaan gue. Tapi kalau soal perasaan... gue enggak yakin. Malia orangnya sulit. Dan makin lama, sikapnya makin susah ditebak." Bima mendengus pelan, lalu menatapnya dengan ekspresi serius. "Asal lu hati-hati aja. Jangan sampai nyesel kayak dulu. Lu cuekin orang yang nemenin lu bertahun-tahun. Giliran sadar, orangnya udah pergi." Langit terdiam, rahangnya mengeras. "Jangan bahas dia, Mas. Cewek enggak setia." Bima memandangnya lama, kemudian berkata pelan, hampir seperti nasihat dari seorang kakak yang lelah. "Dia bukan enggak setia, Lang. Dia cuma capek. Dia nemenin lu dua tahun. Tapi lu terlalu sibuk mikirin diri lu sendiri. Mikirin kesedihan lu yang enggak ada habisnya. Mikirin dendam lu tiap hari. Sampai lupa sama pacar sendiri." Bima mencoba menyadarkan Langit. "Dia ninggalin gue demi cowok lain, Mas! Dia bilang gue enggak bisa bikin dia bahagia," Sungut Langit dengan kesal, tak terima. Bima menghela napasnya, pandangannya melunak. Ia lalu berkata pelan, seolah bisikan dari dalam hatinya. "Perempuan cuma butuh hal kecil untuk membuatnya bahagia, Lang. Mereka hanya butuh sedikit perhatian saat mereka kelelahan... Mereka hanya butuh didengarkan saat mengeluhkan hal kecil yang sering kita remehkan... Mereka hanya butuh sedikit pujian dari usahanya menjaga kita.... Mereka hanya butuh sedikit penghargaan untuk setiap hal yang dilakukannya buat kita... Mereka cuma butuh itu untuk membuatnya bertahan." Langit terdiam, menatap Bima. Kini ia mengerti, itulah alasan istrinya meninggalkannya. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Baru kali ini Langit melihat Bima begitu rapuh. Pandangan matanya kosong, seolah sedang mengingat-ingat masa lalunya yang pedih. "Itu kenapa dia ninggalin lu, Mas?" Tanya Langit pelan, namun cukup untuk memecah keheningan. Bima tak menjawab. Tak lama, ia berbalik pergi, masuk ke dalam ruang kecilnya. Tapi Langit tahu, diamnya adalah jawaban. Kini Langit merasa gamang. Ia tak tahu akan seperti apa hubungannya dengan Malia nanti. Yang ia tahu saat ini, ia tak meninggalkannya. Paling tidak, sampai kontrak itu berakhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD