Status

1396 Words
"Selamat Siang, Mas Bima!" Suara nyaring Malia seketika menarik atensi seluruh pengunjung kafe. Semua mata menoleh padanya. Bima tersenyum tipis, membalas sapaan ceria itu. "Aku bawain makan siang buat Mas Bima," ucap Malia, tangannya menyodorkan sebuah paper bag dengan anggun. "Buat saya aja, nih?" Bima melirik ke arah Langit yang tengah sibuk melayani pelanggan. Ada nada usil dalam suaranya. Malia mengangguk. "Aku mau ajak Langit keluar makan siang," sahutnya, senyum misterius merekah di bibir. "Oh! Makasih banyak. Mau minum?" Bima menawarkan, sedikit terkejut. Malia menggeleng lembut, lalu beranjak mencari kursi kosong. Ia tak peduli pada tatapan penasaran yang mengikutinya. Justru, Malia tampak menikmati menjadi pusat perhatian. Langit melirik jam tangannya. Pukul dua belas lewat sepuluh menit. Kafe sudah mulai lengang. Ia melepas apronnya, berjalan menghampiri Malia. Hari ini, ia memang sudah berjanji untuk menemaninya makan siang. "Mau makan di mana?" Tanyanya, sedikit lelah. "Di kantin!" Seru Malia riang, langsung menarik tangan Langit keluar dari kafe. Jawaban Malia bagai rem mendadak, menghentikan langkah Langit. "Kamu bilangnya mau makan nasi Padang?" protesnya, alisnya bertaut. "Loh, kan, di kantin juga ada makanan Padang?" Sahut Malia dengan wajah polos tanpa dosa. Langit menghela napas panjang. Malia memang master manipulasi kata. Ia tahu di kantin ada penjual makanan Padang, tapi ia membayangkan restoran Padang di luar gedung, bukan kantin yang ramai itu. "Tapi, kenapa harus di kantin, Mal? Kamu tahu di sana ramai, kan?" Protesnya lagi, nada suaranya menahan kekesalan. "Iyaa... terus kenapa?" Malia menatap Langit, seolah tak mengerti. Langit menatapnya tak percaya. Malia jelas pura-pura. Ia tahu betul saat ini hampir semua penghuni Bagja Tower berkumpul di kantin untuk makan siang. Dan ia juga tahu, mereka berdua sedang jadi bahan omongan. Malia sengaja ingin memamerkan hubungan tak jelas mereka ini? Langit menggeleng-gelengkan kepala. Baru tiga hari mereka berbaikan, Malia sudah berulah lagi. "Kenapa?" Tanya Malia, yang ternyata sejak tadi memperhatikannya. "Enggak!" Sahut Langit malas. Percuma berdebat dengan Malia, sang ratu drama. Lagipula, bukankah sudah tugasnya menemani sang putri ke mana pun ia ingin pergi? Apalagi ia sudah menerima bayaran di muka. Bagi Malia, seratus juta mungkin kecil, tapi baginya, itu jumlah yang terlalu besar untuk imbalan menjadi "teman" Malia. Rasanya tak pantas menolak permintaan apa pun darinya. Dan benar saja, begitu tiba di kantin, mereka langsung menjadi pusat perhatian. Langit bahkan tak berani mengangkat wajahnya. Ia benci sekali menjadi sorotan. Hampir tak ada yang tak mengenalnya di sana. Bahkan sebagian adalah pelanggan Cafe Dewa. Mereka pasti menganggapnya cowok materialistis yang mendekati Malia demi uang. Ironisnya, itulah kenyataannya. Namun, Malia justru menikmati semua perhatian itu. Ia membalas senyuman dan sapaan orang-orang dengan ramah. Tangannya terus menggandeng Langit, memesankan makanan untuknya, lalu menariknya ke meja kosong di tengah kerumunan. Ia tak peduli pada wajah kesal Langit. "Gimana, sekarang kafe udah mulai ramai lagi?" Tanyanya tiba-tiba, seolah tak terjadi apa-apa. "Lumayan!" sahut Langit, wajahnya masih ditekuk. "Sejak kamu mulai merayu mereka lagi?" sindir Malia, nada suaranya menguji. "Mal, please! Jangan mulai keributan lagi. Kamu udah janji gak akan ganggu kerjaanku lagi, kan?" Malia terdiam, bibirnya mengerucut. Kini Langit paham. Semua ini masih tentang kecemburuan Malia. Ia memang tak lagi melarang Langit berinteraksi, tapi Malia ingin semua orang tahu bahwa Langit adalah miliknya. Tak seorang pun boleh mengganggunya. "Habis ini mau ke mana?" tanya Langit sambil mengaduk-aduk nasi rendangnya yang baru datang. "Nungguin kamu!" sahut Malia santai. Langit mengangkat kedua alisnya. "Di kafe?" tanyanya, nada tak percaya. Malia mengangguk. "Mal, kamu kan, udah janji?" Langit menatap Malia dengan mata melotot, menuntut penjelasan. "Oke! Oke! Aku tunggu di kantor Papa. Tapi sesekali aku akan nengokin kamu," sungut Malia, sedikit mengalah. "Terserah!" Langit akhirnya menyerah. Ia malas berdebat lagi. Malia memandangi wajah Langit yang tertunduk, menyembunyikan senyum puasnya. Ia senang sekali melihat Langit kesal. Langit buru-buru menghabiskan makanannya. Ia ingin segera meninggalkan tempat itu. Namun, pandangannya tertuju pada piring Malia yang hampir tak tersentuh. "Kamu gak makan?" Tanyanya heran. "Aku masih kenyang! Tadi aku sarapan banyak di rumah," sahut Malia sambil mengusap-usap perutnya. Ya Tuhan! Langit hampir kehilangan kesabaran. "Kalau kamu udah kenyang, terus ngapain ngajak aku makan di sini?" Tanyanya geram, menahan emosi. "Karena kalau aku gak ajak makan, kamu pasti cuma makan roti? Iya, kan?" Sahut Malia tanpa sedikit pun rasa bersalah. Langit menggelengkan kepala. Ia tak percaya alasan itu. Malia memang tidak berniat makan siang di kantin. Itu bukan gayanya. Ia hanya ingin mempertontonkan hubungan mereka saja. Malia selalu memikirkan dirinya sendiri, tak peduli perasaan Langit. "Oke. Kita balik sekarang." Langit menarik tangan Malia, mengantarkannya hingga ke dalam kantor Pak Subagja untuk memastikan ia benar-benar menunggu di sana. Setelah itu, ia kembali ke kafe. Bima memandang Langit dengan bingung sesaat ia tiba. "Cepat banget makannya? Malia ke mana?" Tanyanya. "Di kantor Papanya," sahut Langit enggan. Ia malas bercerita lebih banyak. "Banyak yang nanyain lu tuh, di chat," kata Bima, terkekeh. Langit membuka pesan-pesan yang masuk, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Drama Malia sukses besar. Mereka menjadi trending topic warga Bagja Tower. Semua menanyakan status hubungannya dengan Malia. Langit mengembuskan napas kesal. Kenapa mereka begitu usil? Untuk apa mereka ingin tahu? Gerutunya. "Makanya pasang status Malia's Boyfriend, biar gak banyak yang tanya," ledek Bima sambil tertawa. "Girang lu, Mas, liat penderitaan orang," sahut Langit kesal. "Loh, kan, lu sendiri yang pamer status di kantin?" "Dia yang tiba-tiba ngajak ke kantin, Mas! Gue gak tahu! Sumpah!" Sahut Langit berapi-api, membela diri. Sejenak Bima terdiam, lalu menatap Langit dengan sungguh-sungguh. "Cewek kalau udah begitu artinya dia benar-benar udah jatuh cinta, Lang," ucapnya. "Bisa mati stres gue kalau jadian sama dia," sungut Langit. "Tapi kan, masa depan dia cerah, Lang. Lu gak bakal hidup susah tujuh turunan kalau nikah sama dia, calon pemilik Bagja Company. Perusahaan kontraktor terbesar di negeri ini." Langit kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lu benar-benar mirip Mentari, Mas," tukasnya kesal. Dan Bima pun kembali tertawa. "Terus lu maunya gimana?" tanyanya lagi. "Gue bingung. Dia berubah-ubah terus sikapnya. Kadang benar, kadang manis, tapi banyakan ngeselinnya," sungut Langit lagi, frustasi. "Mungkin itu bentuk ketidakpuasan dia sama sikap lu. Mungkin dia juga sebenarnya bingung sama sikap lu." "Maksudnya?" Langit mengerutkan dahi. "Dia bingung harus bersikap gimana supaya lu juga punya perasaan yang sama. Makanya dia cari-cari perhatian terus. Dia merasa belum secure." "Ya, karena dia menganggap hubungan ini serius, Mas!" "Lang, stop! Lu mesti bertanggung jawab sama jalan yang udah lu pilih. Kalau lu terus menghindar, cuma bikin capek sendiri. Mendingan lu coba jalanin sambil berusaha buat nerima. Selama ini kan lu selalu berusaha menjauhi dia, tapi belum coba ngedeketin dia. Siapa tahu kalau lu berubah sikap, sikap dia juga jadi berubah?" "Gue takut..." sahut Langit ragu, matanya menerawang. "Takut dia gak bisa menerima masa lalu lu?" Langit mengangguk pelan. "Loh, kalau begitu malah kebetulan. Kalau dia jadi mundur setelah tahu itu, malah lebih gampang buat lu." "Mungkin dia bisa nerima masa lalu gue. Tapi gimana dengan orang tuanya? Gue gak yakin mereka mau menerima laki-laki dengan masa lalu kayak gue buat menjadi pendamping hidup anaknya. Mereka orang terpandang. Kaya raya, berpendidikan tinggi. Sedangkan gue... yatim piatu, hidup pas-pasan, kuliah aja drop out, mantan anak geng jalanan lagi. Orang tua gue aja gak pernah bangga sama gue, apalagi orang lain?" Langit menarik napas dalam-dalam. "Gue gak punya apa-apa yang bisa dibanggain. Gue gak pantas buat dia," lirihnya, menundukkan wajah. "Gimana kalau ternyata mereka enggak seperti yang lu pikirin? Gimana kalau mereka bisa menerima lu apa adanya? Menerima masa lalu dan keadaan lu yang sekarang?" Langit tak menjawab. Ia tak ingin berandai-andai. "Gak semua orang kaya itu seperti dalam cerita sinetron. Gak ada salahnya lu mencoba. Jangan pernah memandang rendah diri kita. Dulu lu gak pernah takut sama orang. Lu gak pernah merasa rendah. Lu memang udah ninggalin masa lalu itu, tapi jangan pernah ninggalin jati diri lu." Langit menatap Bima. "Ini bukan tentang gue, Mas. Ini tentang masa depan anak orang. Gak ada orang tua yang mau anak gadisnya punya pendamping hidup laki-laki yang gak jelas masa depannya. Karena gue juga pasti akan bersikap yang sama seandainya itu terjadi sama Mentari." "Tapi lu masih muda, Lang. Masa depan lu masih panjang. Kita memang enggak bisa memprediksi masa depan. Tapi gue percaya selama kita terus berjuang dan berusaha menjadi lebih baik, hidup kita pasti akan berubah. Dan masa depan kita akan menjadi lebih baik dari hari ini. Karena usaha enggak akan pernah mengkhianati hasil. Dan enggak ada kemenangan yang diperoleh tanpa perjuangan." Dan Langit kembali termenung, mencoba meresapi setiap kata Bima. Akankah ia berani melangkah maju?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD