Karena Aku Mencintaimu

1326 Words
Malia terpaku menatap Langit yang terduduk di ruang kerjanya. Pakaiannya masih sama seperti yang dikenakannya kemarin sore. Wajahnya pucat pasi, rambutnya kusut masai, dan kedua matanya tampak sangat lelah, seperti tak tidur berhari-hari. Aura kelelahan dan keputusasaan begitu kentara di sekelilingnya. "Kamu di sini semalaman?" tanyanya, suaranya pelan. Langit mengangguk lesu. "Kenapa?" "Di rumah pun aku gak bisa tidur." Suara Langit terdengar hampir tak bertenaga. Malia menghela napas panjang. Disentuhnya wajah Langit yang dingin, merasakan suhu tubuhnya yang rendah. "Apa kamu harus selalu begini kalau kita bertengkar?" "Kita sudah berjanji enggak akan ada pertengkaran lagi." Langit berbisik, matanya terpejam. Malia terdiam, merasakan beratnya janji itu. "Aku enggak mau kita bertengkar lagi. Aku udah capek." Langit melanjutkan, suaranya penuh keputusasaan yang tulus. "Kamu mau aku bagaimana?" Malia bertanya, hatinya terenyuh. "Percaya aku. Aku enggak pernah mengkhianati orang lain. Dan aku enggak akan mengkhianati kamu. Aku mencintai kamu." Langit menatap Malia dengan mata berkaca-kaca, ada kejujuran yang begitu mendalam terpancar di sana, menembus segala keraguan. Dan Malia tak bisa lagi menahan air matanya. Air mata yang selama ini ia tahan kini tumpah. Ia pun lalu memeluk Langit erat. Ia sudah menunggu lama kata-kata itu keluar dari mulutnya. Kata-kata tulus yang benar-benar keluar dari dalam hatinya. Bukan karena terpaksa atau karena hanya ingin menyenangkannya. Ini adalah pengakuan yang ia butuhkan. "Jangan marah lagi, ya?" Bisik Langit, membenamkan wajahnya di bahu Malia. "Aku udah gak marah," sahut Malia seraya mengecup pipi Langit yang dingin. "Aku juga lelah bertengkar dengan kamu," imbuhnya, suaranya sedikit parau karena tangis. "Janji enggak akan ada drama lagi?" Pertanyaan Langit terdengar seperti anak kecil yang meminta kepastian. Malia mengangkat tangannya, membentuk huruf V dengan jari. "No more drama!" ucapnya, berusaha ceria. Langit tersenyum lega. Sejak kemarin sore Malia telah membuatnya hilang akal. Ia tiba-tiba saja tak bisa dihubungi. Dan tak mau ditemui. Dan semalaman ia mencoba berpikir apa yang salah dengan dirinya. Tapi ia tak berhasil menemukannya. Hingga kemudian ia tersadar, sikap Malia adalah cerminan perasaannya. Dia selalu cemburu karena ia merasa tak yakin dengannya. Ia merasa tak cukup dicintai. Sebuah kesadaran yang menamparnya. "Kamu tidur dulu, ya? Kamu kan, belum tidur?" Malia beranjak dari duduknya. Tapi tangan Langit menahannya, menggenggam erat. Dan ia pun kembali duduk dan membiarkan kepala Langit berbaring di pangkuannya. Sentuhan Malia bagai obat penenang. Malia menatap wajah Langit yang terpejam, lalu membelai rambutnya yang kusut. Wajah yang begitu galak dan tak kenal takut itu, yang pernah mengobrak-abrik seisi kedai kemarin, kini tertidur pulas seperti bayi yang lelah menangis. Tangan yang pernah membuat darah orang mengalir itu kini menggenggamnya dengan lembut dan protektif. Mana mungkin ia rela membiarkannya direbut oleh perempuan yang dulu pernah menyia-nyiakannya. Tidak, ia tidak marah padanya. Ia hanya takut Langit akan meninggalkannya. Karena ia tak akan bisa hidup tanpanya. Ketakutan itu adalah akar dari segala dramanya. .... Malia tersenyum lebar melihat Langit yang kini tampak segar dengan rambutnya yang setengah basah, wajahnya yang bersih, dan pakaian yang sudah berganti. Aura kelelahan semalam seolah lenyap tak berbekas. Langit mengamati dirinya dalam pantulan kaca besar di ruang kerja Malia. "Kapan kamu belinya? Kok, aku gak tahu?" Dirapikannya setelan pakaian baru yang diberikan Malia, terasa pas di tubuhnya. "Tadi siang, waktu kamu tidur." "Mestinya kamu bangunin aku. Aku kan, bisa antar." Langit merasa sedikit tak enak. "Kamu udah gak tidur dua hari. Nanti kalau pingsan di mal gimana?" Seloroh Malia, terkekeh. Langit tersenyum. "Makasih, ya. Aku belum pernah beliin apa-apa buat kamu." "Kamu kan, udah ngajak aku wisata kuliner seharian?" Malia tersenyum, mengingatkan. "Ahh! Tapi itu kan, malah bikin kamu jadi sakit," ucap Langit dengan malu, mengingat kejadian kemarin. Malia tertawa, menggelengkan kepala. "Aku gak perlu apa-apa. Asal kamu bikin aku tertawa terus, itu sudah cukup." Langit kini berbalik memandang Malia dengan ragu. Ada ganjalan di hatinya. "Hmm, apa kamu sudah benar-benar melupakan masalah..." "Sandra?" Malia memotong, dengan nada datar. Langit mengangguk, tatapannya lekat. "Tenang saja, dia enggak akan mengganggu kamu lagi." Malia berkata dengan senyum tipis yang penuh misteri. Langit mengernyitkan keningnya. "Maksudnya?" Ia merasakan firasat aneh. Malia tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, menyimpan rahasia. "Kamu enggak usah pikirin dia lagi." "Maksud kamu apa, Mal?" Tanya Langit curiga, firasat buruk semakin kuat. "Maksudku, kita gak perlu bahas dia lagi, oke?" Malia menutup pembicaraan. Akhirnya Langit kembali mengangguk, terpaksa. Ditepisnya rasa curiga yang sempat menyelinap di benaknya, memilih untuk percaya pada Malia. "Oke! Aku udah siap. Kita ke rumah sekarang?" Ucapnya, mengubah topik. "Dinner-nya bukan di rumah. Mereka menunggu kita di hotel." Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Kenapa untuk yang satu ini dia tidak pernah berubah? Gerutunya dalam hati. "Yuk, berangkat sekarang!" Malia menarik tangan Langit, bergegas ke luar ruangan, menuju hotel. Sesampainya di sana, ternyata kedua orang tua Malia sudah menunggu mereka di restoran hotel. "Maaf, Pak, kami datang terlambat," ucap Langit seraya menyalami keduanya. "Tidak apa. Kalau masih pacaran memang begitu. Sering bertengkarnya. Apalagi Malia orangnya cemburuan," ucap Pak Subagja seraya melirik Malia yang langsung tersipu malu, pipinya merona. "Makanya, diseriuskan saja..." imbuh Bu Subagja, tersenyum hangat. "Kalau kamu memang serius sama Malia. Ya, paling tidak tunangan dulu biar Malia tenang," timpal Pak Subagja, menatap Langit dengan serius. Ucapan kedua orang tua itu membuat Langit terkejut. Sebuah lamaran tiba-tiba melayang di udara. Dan membuat Malia merasa canggung, terdiam. "Papa... hubungan kami kan, baru... " Malia mencoba mengelak, merasa terlalu cepat. "Saya terserah Malia saja. Saya siap melamarnya kapan saja," sahut Langit, memotong ucapan Malia, sebuah keputusan besar tiba-tiba muncul di benaknya. Tatapannya lurus ke arah orang tua Malia, penuh keyakinan. Kedua orang tua itu pun tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya. Kebahagiaan tampak memancar dari wajah keduanya, berseri-seri. Sementara Malia tertegun menatap Langit, matanya membulat. Ia seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kamu serius?" Tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar. Langit mengangguk, senyum tulus merekah. "Kamu percaya sama aku, kan?" Ucapnya, mengulurkan tangannya pada Malia. Malia mengangguk dengan mata berkaca-kaca, air mata haru mulai membasahi pipinya. Ia tak percaya akhirnya takdir akan menyatukan mereka lebih cepat dari yang dibayangkannya. Segala tangis, sakit, dan lelahnya sebentar lagi akan terbayar lunas. Langit memandang Malia dengan perasaan yang lega. Hatinya terasa begitu ringan, seperti ada yang mengambil sebongkah batu besar dari atas punggungnya. Ah, rasanya aneh. Beberapa hari yang lalu ia bahkan masih bimbang dengan hubungan mereka, tapi tiba-tiba saja hari ini ia merasa begitu yakin. Semua terasa mengalir begitu saja. Dan semuanya kini terasa masuk akal baginya. Pertemuan mereka yang tak terduga, drama-drama yang menguji kesabaran dan kedewasaannya. Orang-orang yang tak pernah terpikirkan akan menjadi bagian penting dalam hidupnya, kini nyata di depan mata. Ia tak menyangka semua yang terjadi begitu cepat dalam hidupnya ternyata mengantarkannya pada satu takdir, Malia. .... Bima menatap Langit dengan sungguh-sungguh, keningnya berkerut. "Lu serius?" Tanyanya, masih tidak percaya. "Tuh, gue serius lu gak percaya," sahut Langit, mengangkat bahu. Bima tertawa renyah. "Gue cuma gak nyangka aja lu bakal secepat ini ngambil keputusan." "Kata lu gue harus jalanin apa kata hati gue?" Langit menatap Bima. "Dan lu udah bener-bener yakin?" Langit mengangguk, keyakinan terpancar dari sorot matanya. Bima lalu tersenyum, bangga. "Oke, gue tersanjung lu minta gue ngelamarin Malia. Hari Minggu depan, kan?" Langit kembali mengangguk, mengiyakan. "Terus urusan Sandra udah beres?" Bima bertanya, sedikit was-was. Sebenarnya Langit ragu. Ada sedikit firasat tak nyaman yang mengganggu. Tapi ia tak ingin berprasangka buruk pada Malia, yang baru saja ia yakinkan. "Malia percaya sama gue. Ya, paling gue minta tolong aja, Mas, kalau Sandra ke sini lagi, lu bilang aja gue gak bisa temuin dia." "Nanti gue akan bilang kalau lu udah mau tunangan," sahut Bima seraya terus memandangi Langit dengan sorot mata tak percaya. "Gue gak nyangka hidup lu bakal berubah sedrastis ini. Jadi calon menantu Prawira Subagja. Nasib lu memang bener-bener bagus," ucapnya. Ditepuk-tepuknya bahu Langit dengan bangga. "Bagus juga buat bisnis lu, kan?" Seloroh Langit, membuat Bima kembali tertawa. Dan Langit kembali tersenyum, memandang gelang Malia di pergelangan tangannya. Ah, ternyata benar yang dikatakan Mas Bima, jika sebenarnya Malia-lah yang telah dikirimkan Tuhan untuk menyelamatkan hidupnya. Segalanya kini terasa sempurna, atau setidaknya, mendekati sempurna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD