Posesif

1480 Words
Dari kursinya, Langit mengamati Mentari dengan tatapan curiga. Sudah setengah jam, makanan di piring adiknya itu belum juga habis. Gadis itu sedari tadi sibuk berkirim pesan entah kepada siapa, ibu jarinya menari-nari di layar ponsel. Sesekali ia tersenyum-senyum sendiri, dan sesekali mencuri pandang ke arah Langit, seolah memastikan Langit tak memperhatikan. "Sini, Mas liat hape kamu. Dari tadi Mas perhatiin kamu main hape terus sampai enggak dimakan makanannya!" Omel Langit. Tangannya terulur, meminta paksa ponsel sang adik. Mentari mengangkat wajahnya dengan terkejut, matanya membulat. Lalu dengan refleks, ia menjauhkan ponsel dari jangkauan sang kakak. "Iiih, apaan sih Mas Lang. Enggak boleh! Itu namanya melanggar privasi!" Ucapnya, suaranya sedikit cempreng. "Oh ya? Bukannya kamu yang udah melanggar privasi Mas dari kemarin-kemarin?" Langit menatap Mentari sambil melotot, pandangannya mengintimidasi. Mentari memandang Langit sambil mengernyitkan keningnya, pura-pura tak mengerti, bibirnya sedikit mengerucut. "Enggak usah pura-pura, deh! Mas udah tahu kamu jadi mata-matanya Malia. Kamu pasti tadi lagi laporin Mas ke Malia, kan? Dia pasti tanya, makanan pesanan dia udah Mas makan apa belum? Ya, kan?" Tanya Langit lagi dengan gemas, ia sedikit mencondongkan tubuhnya. Kentara sekali Mentari menutupi rasa terkejutnya. Ia menelan ludah dengan susah payah. "Enggaaak, kok! Aku enggak bilang apa-apa!" Sahutnya membela diri. Diletakkannya ponsel di samping piringnya, lalu buru-buru menyuap makanannya, seolah ingin mengalihkan perhatian. Langit mengamati ponsel itu. Keningnya berkerut dalam. Ada yang aneh... kenapa ponsel Mentari kelihatan berbeda? Ia merebut dengan cepat ponsel itu sebelum Mentari sempat menyadarinya, lalu dikeluarkannya dari dalam casing yang menutupinya. "Ini baru?" Tanyanya, terkejut, matanya membelalak. Mentari pun mendadak gelagapan, pipinya merona. Ditelannya makanannya yang kini terasa serat, seperti pasir di tenggorokan. "Aku tukar tambah sama hape yang lama," sahutnya, suaranya pelan. Tapi Langit tak percaya. "Uang dari mana, De? Ini kan, hape mahal?" Tanyanya, nada suaranya menuntut penjelasan. "Dari..." Mentari menatap Langit dengan ragu, matanya melirik ke segala arah. Namun saat dilihatnya tatapan tajam sang kakak yang tak bisa dibantah, ia pun akhirnya menyerah. Ia memang tidak bisa membohonginya, karena akibatnya akan sangat fatal, bisa-bisa ia tidak diberi uang jajan selama satu bulan. "Iya... itu baru. Hadiah dari Kak Malia," sahutnya sambil tertunduk, suaranya nyaris berbisik. Langit mendorong punggungnya ke belakang, bersandar pada kursi. Digeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Kapan dikasihnya?" Tanyanya, suaranya tegas, menuntut penjelasan. "Seminggu yang lalu!" Langit mencoba mengingatnya. Itu tepat sehari setelah ia mengajak Devia nonton film. Pantas saja sekarang Mentari sudah tidak minta ditemani Devia lagi di rumah. Sebuah kepingan puzzle terpasang. Kini Langit membuka ponsel itu, menggeser layarnya dengan jari. Dibacanya percakapan dalam aplikasi perpesanan. Mata Langit membelalak lebih lebar. "Kamu sampai kasih tahu ukuran baju dan celana Mas ke Malia, buat apa, De?" Ditatapnya kembali sang adik dengan mata melotot, amarah mulai merayap naik. Pantas saja Malia tahu segala hal tentang dirinya. Malia keterlaluan sekali. Ternyata selama ini dia hanya berubah di depannya saja. Tapi di belakangnya diam-diam dia menggunakan cara lain untuk mengontrolnya. "Kamu tahu enggak, apa artinya ini buat, Mas?" Dengan kesal, Langit menunjukkan isi percakapan itu pada Mentari, layarnya dihadapkan pada sang adik. "Itu namanya Kak Malia perhatian! Berarti dia pacar yang baik," sahut Mentari dengan lugasnya, seolah itu adalah hal paling masuk akal di dunia. Langit memandang adiknya dengan putus asa. Ya, Tuhan! Malia sudah mencuci otak Mas Bima, dan sekarang dia mencuci otak adiknya juga? "Kalau kamu perlu hape baru, kamu bisa minta beliin sama Mas, De. Gaji Mas sekarang udah naik!" "Tapi itu kan, hasil kerjaku juga, Mas," sahut Mentari membela diri, cemberut. Dan Langit kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa seperti berdebat dengan Malia, bukan dengan adiknya sendiri. "Oke! Cukup kali ini aja. Kalau Mas tahu kamu terima barang-barang mahal lagi dari Malia, Mas akan balikin ke orangnya," ancamnya, suaranya penuh peringatan. "Aaah! Benar kata Kak Malia. Mas Langit orangnya ribet. Yang enak dibikin enggak enak. Yang gampang dibikin susah. Huh!" Mentari merengut, kesal. Dilahapnya sampai habis makanannya, sendoknya beradu dengan piring. "Kamu masih ingat kan, De? Pesan Ayah dan Ibu? Jangan sampai kita punya hutang budi. Susah untuk balasnya." "Mas Langit! Ini tuh bukan gratisan. Hape ini tuh imbalan dari kerjaku. Kan, Mas Langit juga kerja dapat imbalan? Mas Langit ngajar les lukis juga dapat imbalan. Kak Devia baik sama kita juga kan mengharap imbalan, biar Mas Langit mau jadi pacarnya. Iya, kan? Kalau Kak Malia baik sama kita terus dia minta imbalan yang bisa kita kasih, kenapa enggak? Kan, Mas Langit juga suka sama dia?" Mata Langit kembali terbelalak, tak percaya apa yang didengarnya barusan. Sejak kapan adiknya jadi pintar bicara seperti itu? "Tapi kamu mestinya ngomong dulu sama, Mas!" Geramnya. "Loh! Mana ada kerja jadi mata-mata pakai ngomong dulu? Mas Langit juga suka enggak jujur. Dikasih mobil sama Kak Malia bilangnya cuma dipinjamin?" Langit kembali memandang sang adik tak percaya. Ia tak bisa lagi berkata-kata. Ia merasa dikhianati oleh adiknya sendiri. Mentari memang mirip sekali dengan Malia. Selalu menganggap sesuatu bisa diselesaikan dengan materi. Langit melihat jam di ponselnya. Sudah hampir pukul sepuluh malam. Matanya sudah mengantuk, kelopak matanya terasa berat. Ia memang berniat akan tidur lebih awal. Dilihatnya Mentari sudah menghabiskan makanannya, piringnya bersih. Dan sudah kembali merebut ponselnya. Pasti sebentar lagi dia akan membuat laporan pada Malia. Dasar mata-mata! Rutuk Langit seraya beranjak bangun, lalu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. .... Kantin mulai ramai saat Langit tiba di sana keesokan harinya. Ia duduk sendirian di meja kosong, menunggu makanannya datang, matanya menyapu seluruh area kantin. Ia mencari-cari perempuan yang kemarin duduk makan bersamanya. Ia akan membalas Malia. Ia akan membuatnya kesal. Mulai hari ini ia akan melakukan apa yang tidak disukai Malia. Dan ia juga tak akan lagi menceritakan apa pun pada sekutunya, Mas Bima dan Mentari. Oh, itu dia! Aduh! Siapa namanya? Langit melambaikan tangan pada perempuan itu, senyum tipis di bibirnya, mengajaknya untuk makan bersamanya. Namun, perempuan itu malah mengibaskan tangan, menolak menghampirinya, wajahnya tampak menghindar. Dicobanya memanggil kembali, tapi dia malah pergi, cepat-cepat melangkah menjauh, membawa bungkusan makanan yang dipesannya. Meninggalkan Langit dengan pertanyaan di kepalanya. Langit kembali memperhatikan orang-orang di dalam kantin. Rasanya ada yang aneh? Ia tahu orang-orang sering membicarakannya, tapi kali ini mereka seperti tak ingin melihatnya. Tatapan mereka terpaku pada piring masing-masing. Bahkan mereka enggan untuk sekadar membalas sapa dan senyumnya. Ditatapnya dua kursi kosong di hadapannya. Ia bertambah heran karena tak ada satu pun orang yang mau duduk satu meja dengannya. Padahal mereka saling berhimpitan di meja lainnya, berebut tempat. Langit mengernyitkan kening. Kenapa orang-orang ini? Mereka bahkan berkasak-kusuk dan memandanginya seolah ia telah melakukan sebuah kesalahan besar? Langit memeriksa pakaiannya. Tidak ada yang salah. Ada apa dengan mereka? Tanyanya, kebingungan memenuhi benaknya. "Mas, Langit!" Sebuah suara mengagetkan Langit dari lamunannya. Pak Riswan tersenyum padanya, ramah. Di tangannya ada segelas kopi panas, asap tipis mengepul. Ia lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Langit, tanpa ragu. "Apa kabar, Pak Riswan! Kok, udah jarang ke kafe lagi?" Sapa Langit, mencoba bersikap santai. "Ah, enggak enak, Mas. Sekarang Mbak Malia kan, sering ke sana," sahut Pak Riswan sambil mengambil sebatang rokok yang disodorkan Langit. "Mas, Langit kok, tumben sering makan di sini lagi?" "Ya. Ganti suasana, Pak," sahut Langit sambil menyalakan rokoknya, asapnya mengepul tipis. "Kejadian kemarin itu benar toh, Mas?" Pak Riswan bertanya, suaranya sedikit berbisik. Langit mengernyitkan keningnya. "Kejadian apa, Pak?" "Itu, waktu Mas Langit bertengkar sama Mbak Malia di parkiran?" Langit tersenyum tipis, mengingat kejadian itu. "Ooh. Biasa lah, Pak! Udah baikan, kok. Cuma salah paham aja," sahutnya, mencoba meremehkan. "Apa itu yang membuat sikap mereka jadi aneh?" Tanyanya dalam hati. "Gara-gara Mbak Eva, ya Mas?" "Siapa?!" Langit menatap Pak Riswan dengan terkejut, namanya asing di telinganya. "Mbak Eva, Mas. Itu loh, cewek yang kemarin makan siang bareng Mas Langit?" Langit terdiam. Oh, jadi perempuan itu namanya Eva? Kini ia semakin kebingungan. "Hmm... kayaknya mereka salah paham. Saya sama Eva cuma ngobrol biasa aja. Saya malah enggak sempat tanya namanya," sahutnya, mencoba meluruskan. "Tapi Mbak Eva kelihatannya suka, tuh? Pakai cubit-cubit Mas Langit segala?" Seloroh Pak Riswan, senyum jahil di bibirnya. Kini Langit bertambah bingung. "Kok, Pak Riswan tahu?" Tanyanya, rasa tidak nyaman mulai menyelimutinya. "Loh, kan ada videonya, Mas. Ada yang merekam. Terus dikirimkan ke Mbak Malia. Mas Langit enggak tahu, toh?" Kini Pak Riswan yang menatap Langit keheranan, alisnya terangkat. Langit menggeleng, wajahnya memucat. Ditunggunya Pak Riswan bercerita kembali, hatinya mulai berdebar kencang. "Walah! Habis, Mas! Mbak Eva dimarahi sampai nangis. Sampai mau dipecat!" Sahut Pak Riswan dengan berapi-api, matanya membesar. "Ya, mungkin kalau tidak ditenangkan oleh Pak Bagja, Mbak Eva sudah dipecat beneran. Lha, dia kan, anak buahnya Mbak Malia. Anak baru lagi!" Langit menatap Pak Riswan tak percaya. Kini ia mengerti semuanya. Sikap mereka, tatapan mereka, kasak-kusuk mereka... Ya, Tuhan! Malia benar-benar sudah melampau batas. Sifat posesifnya sudah membuatnya tak waras. "Maaf, Mas. Saya harus balik ke pos. Terima kasih loh, ini rokoknya!" Suara Pak Riswan menyadarkan Langit. Ia lalu mengangguk, pikirannya berkecamuk. Dan sesaat kemudian ia pun beranjak pergi, meninggalkan kantin dengan hati yang berat dan amarah yang membara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD