Malia tersenyum, melihat Mentari membuka pintu rumah dengan wajah berseri-seri, semangat pagi yang memancar. "Udah siap shopping?" Tanyanya.
Mentari mengangguk antusias. "Tapi Kak Malia harus sarapan dulu. Tadi Mas Lang juga udah sarapan sebelum ke bengkel. Aku bikin nasi goreng spesial. Dan Kak Malia harus coba, karena ini kesukaannya Mas Lang."
"Wah, boleh, tuh!" Sahut Malia. Ia membiarkan Mentari menariknya ke ruang makan, di mana sepiring nasi goreng mengepul dengan telur ceplok mata sapi sempurna dan kerupuk renyah di atasnya.
"Enak kan, Kak?" Tanya Mentari dengan mata berbinar saat Malia menyuapkan sesendok nasi goreng itu ke dalam mulutnya.
Malia mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. "Iya, beneran enak! Kamu belajar dari siapa?" Tanyanya, terkesan.
"Dari Ibu. Waktu Ibu sakit aku belajar masak. Tapi kata Mas Lang masakanku yang enak cuma nasi goreng aja. Yang lainnya gagal," sahut Mentari, senyumnya malu-malu.
Malia tak kuasa menahan tawanya. "Ibu kamu pasti pintar masak?" Ucapnya.
Mentari mengangguk, matanya berbinar mengingat kenangan manis Sang Ibu. "Ibu bisa membuat apa pun jadi enak. Dari yang paling sederhana sampai yang susah."
"Kamu pasti sering kangen?" Malia bertanya lembut, merasakan simpati.
Mentari kembali mengangguk. "Banget...Tapi sekarang kalau kangen aku tinggal ke ruang tamu. Kemarin Mas Lang baru memasang lukisan keluarga kami di sana." Matanya berbinar lagi, ada kebanggaan dalam suaranya.
"Oh ya? Kenapa baru dipasang sekarang?" Malia sedikit terkejut.
"Mungkin kemarin-kemarin Mas Lang masih trauma. Karena lukisan itu adalah lukisan terakhir Ayah. Dan Ayah mengalami kecelakaan waktu membawa lukisan itu."
Seketika Malia menjatuhkan sendoknya di atas piring, menciptakan denting keras yang memecah keheningan. Darah serasa surut dari wajahnya. Ditatapnya Mentari dengan rasa yang bercampur aduk, antara kaget, takut, dan sebuah kebenaran yang mulai merayap di benaknya. "Maksud kamu... Ayahmu mengalami kecelakaan saat membawa lukisan itu?" Tanyanya dengan suara tercekat.
Mentari, tak menyadari badai yang tengah melanda Malia, mengangguk polos. "Iya, Kak. Waktu itu Ayah lagi di perjalanan pulang dari sanggar lukisnya malam-malam, terus ada yang nabrak. Tapi enggak tahu siapa yang nabraknya, karena orangnya kabur. Ayah jatuh dari motornya, terus lukisannya sampai sobek. Tapi udah dibenerin sama Mas Lang kemarin."
Malia merasa tiba-tiba jantungnya berhenti berdetak, napasnya tercekat di tenggorokan. Seluruh tubuhnya mendadak dingin. Tidak mungkin! "Apa... aku boleh melihat... lukisan itu?" Kini suaranya bergetar hebat
Dengan semangat Mentari beranjak dari kursinya. "Ayo aku tunjukkin, Kak!" Ucapnya seraya berjalan ke ruang tamu, sama sekali tidak menyadari kehancuran yang tengah terjadi di belakangnya.
Malia mengikuti, langkahnya terasa berat, kakinya lemas. Dan saat ia menatap lukisan itu, sebuah potret keluarga bahagia dengan seorang pria tua berdiri gagah, dunia di sekelilingnya seolah runtuh. Disentuhnya kanvas itu dengan tangan gemetar, jarinya meraba tekstur cat dan garis-garis familier. Ini dia. Wajah yang dulu selalu datang dalam mimpinya, menghantuinya dalam setiap bayangan, kini nyata di depannya. Ia lalu meraba bekas sobekan yang samar di kanvas itu. Sobekan yang berada tepat di wajah Langit, yang berdiri di samping ayahnya dalam lukisan itu. Seketika air matanya menetes deras, tak tertahankan. Tubuhnya bergetar hebat, lalu terhuyung jatuh ke lantai, lututnya tak mampu menopang beban kenyataan.
"Kak!? Kak Malia kenapa?!" Mentari pun berteriak histeris, panik melihat Malia yang tiba-tiba ambruk.
....
Langit menutup ponselnya dengan bingung, wajahnya dipenuhi keheranan. Dipandanginya Mentari yang menunggunya berbicara, mata gadis itu dipenuhi kekhawatiran.
"Jadi Kak Malia kenapa, Mas?" Tanya Mentari dengan panik.
Langit menggeleng, ragu. "Kata Papanya... dia sakit lagi." Nadanya terdengar tidak yakin.
"Sakit apa?"
Langit kembali menggeleng, bingung. "Sebenarnya kejadiannya gimana, sih? Masak karena lihat lukisan dia langsung jatuh?"
Mentari menatap Langit dengan wajah yang semakin bingung, tidak mengerti hubungannya. "Aku juga enggak ngerti, Mas. Tadinya kita lagi makan nasi goreng, terus aku ajak Kak Malia lihat lukisan keluarga kita di ruang tamu. Habis itu dia tiba-tiba jatuh, terus nangis. Dia minta dipanggilin supirnya, katanya mau pulang aja, belanjanya ditunda dulu. Untung aja gak sampai pingsan kayak Mas Lang waktu itu."
"Apa karena kecapekan, ya?" Gumam Langit, mencoba mencari alasan logis.
"Bisa jadi... Kata Mas Lang kan, Kak Malia habis sakit gara-gara jalan-jalan minggu lalu?"
Langit menghela napasnya. Lalu menghempaskan tubuhnya di atas kursi, berusaha mencari ketenangan. Ah, kasihan! Pasti sakitnya kambuh lagi karena kelelahan. Sejak sembuh dari sakit dia memang langsung sibuk di kantor, memforsir dirinya. Langit mengangguk-angguk sendiri, yakin ia telah menemukan penyebabnya.
....
Malia membiarkan air matanya kembali membasahi wajahnya. Ia tidak berusaha untuk menghapusnya. Percuma saja, ia tahu air matanya akan terus mengalir seperti dulu lagi, bahkan lebih deras. Kali ini air mata itu tidak akan berhenti lagi, mungkin sampai ia mati... Malia kembali terisak, tubuhnya bergetar hebat. Harusnya dulu Langit tak perlu menyelamatkannya. Harusnya dia membiarkannya mati saja. Buat apa ia hidup kalau hanya untuk menerima karma seberat ini? Apa yang akan dilakukan Langit padanya saat tahu bahwa Mario lah yang telah menabrak Ayahnya? Bahwa ia juga berada di dalam mobil itu, menyaksikan semuanya? Dan bahwa mereka meninggalkan Ayahnya sendirian di pinggir jalan hingga mati, tanpa pertolongan? Malia tersedu-sedu, dadanya terasa sesak. Ini terlalu berat baginya, ia tak sanggup lagi menanggungnya.
Perlahan Malia mengangkat kepalanya dari bantal yang sudah basah oleh air mata. Lalu berusaha membuka laci lemari kecil di samping tempat tidurnya, tangannya gemetar. Diambilnya sebuah botol dari dalamnya, namun kemudian ia melemparkan kembali botol yang ternyata sudah kosong itu ke sudut ruangan dengan frustrasi.
"Malia?!"
Sebuah suara yang sangat dikenalnya tiba-tiba saja terdengar begitu dekat, membuat jantungnya melonjak.
"Langit...?" Malia bergumam, tercekat oleh ketakutan, mengira Langit mengetahui rahasia itu.
Langit menerjang masuk, wajahnya panik, lalu memeluk Malia erat. "Kamu kenapa?" Tanyanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Diusap-usapnya rambut gadis itu dengan lembut, mencoba menenangkan.
Malia tak kuasa menjawab. Ia semakin tersedu di bahu Langit, air matanya membanjiri kemeja pria itu. Perhatian Langit membuat hatinya semakin tertusuk perih.
"Kamu panas!" Langit menyentuh kening Malia, merasakan suhu tubuhnya yang meningkat drastis. "Sakit kamu kambuh lagi?" Tanyanya, ada nada putus asa.
Dan akhirnya Malia memaksakan diri untuk mengangguk. Ia sudah tidak bisa berkata-kata lagi, tercekik oleh rasa bersalah dan ketakutan.
"Aku antar ke dokter, ya?"
Malia menggeleng lemah.
"Tapi kamu kesakitan. Kamu sampai menangis begini?" Langit menghapus air mata Malia dengan jemarinya, tatapannya penuh cinta dan ketulusan.
Malia menarik napasnya perlahan, berusaha untuk menenangkan dirinya, mencari sisa-sisa kekuatan. "Aku... cuma butuh istirahat," ucapnya dengan suara parau, hampir tak terdengar.
"Apa... kamu stres dengan pertunangan kita?" Langit bertanya, ragu, salah mengartikan penderitaan Malia.
Malia ingin sekali menggeleng, ingin membantah. Tapi entah kenapa ia malah mengangguk, seolah takdir menarik tangannya.
"Apa kamu mau kita menundanya?" Langit bertanya lagi, nadanya penuh pengertian.
Malia kembali tak kuasa menjawab. Ia tak tahu harus berkata apa. Perasaannya berkecamuk antara takut, sedih, dan putus asa. Kini ia merasa Langit begitu jauh, begitu tak tersentuh oleh rahasia kelamnya. Dia akan meninggalkannya sebentar lagi. Dia akan membencinya seumur hidupnya. Karena ia adalah lukanya, pedihnya, dan dendamnya selama ini. Bagaimana ia harus mengatakannya? Mengungkapkan kebenaran yang akan menghancurkan segalanya itu? Malia mengangkat wajahnya, basah oleh air mata, lalu memberanikan diri untuk menatapnya. "Apa kamu... benar-benar mencintaiku?" Lirihnya, suaranya gemetar.
"Kenapa harus menanyakan itu lagi? Kamu enggak percaya?" Langit menatap Malia dengan bingung, hatinya sakit melihat gadisnya begitu rapuh.
Dan Malia menatap kedua mata Langit yang tak lagi sekelam malam. Sekarang ada sinar yang menatapnya dengan hangat, penuh kasih sayang. Apakah sinar itu akan kembali hilang saat dia tahu kebenaran itu? Malia kembali terisak, sebuah gambaran kehancuran menari-nari di benaknya.
"Hei..." Dan Langit kembali memeluknya erat, menenangkan. "Maafkan aku. Mungkin lamaran ini terlalu cepat buatmu. Kamu terlalu lelah," ucapnya, mengira semua ini karena tekanan. Diusap-usapnya kembali rambut Malia, lalu diciumnya dengan lembut, berusaha memberikan semua kenyamanan yang ia miliki.
Dan Malia memejamkan kedua matanya. Ia ingin terus terpejam dalam pelukan Langit, membiarkan kehangatan ini meresap, dan tak ingin terbangun lagi. Biarkan saja ia memilikinya dalam mimpi, dalam ilusi kebahagiaan ini. Kalau pun ia harus mati, ia ingin mati dalam pelukan Langit. Itu lebih baik daripada harus menghadapi kenyataan yang tak akan sanggup ia jalani lagi. Ia tak akan sanggup melihat kedua mata itu kembali terluka, kembali menatapnya dengan kebencian. Ia tak akan sanggup melihatnya kembali meratap pilu karena kebenaran itu. Mengapa dia harus mencintainya sekarang? Mengapa dia tak membencinya saja seperti dulu? Itu akan lebih baik baginya. Harusnya ia memang tak memaksakan diri untuk mencintainya. Harusnya ia juga tak memaksa Langit untuk mencintainya. Dan harusnya ia menuruti kata Papa untuk memutuskan hubungan. Kini ia menyesali semuanya, menyesali setiap keputusan yang telah membawanya pada jurang ini.
"Jangan menangis lagi. Aku akan menemani kamu di sini." Langit kembali menghapus air mata Malia, tak tahu bahwa yang ia hapus bukan hanya air mata kesakitan, tapi air mata kehancuran.