Menjaga Hati

1093 Words
Langit mengemasi tiga roti terakhir dari etalase ke dalam kantong yang akan dibawa Danar. Meja konter sudah rapi dan bersih. Sejak ada Danar, beban kerjanya memang jauh lebih ringan. Ia memandang Danar yang masih sibuk membersihkan lantai. Kafe sudah tutup setengah jam lalu, dan Mas Bima pun sudah pulang. Kini saatnya Langit beristirahat sejenak sebelum pulang ke rumah. Dari tembok pembatas teras kafe, pandangannya menyapu jalan raya di bawah yang padat dan bising oleh lalu-lalang kendaraan. Dihisapnya rokoknya perlahan, lalu dihembuskan asapnya ke udara. Ia akan menunggu sebentar lagi hingga langit benar-benar gelap. Tiga hari beristirahat di rumah sudah mengembalikan energinya. Dan selama tiga hari itu pula, ia banyak merenung. Kejadian kecil kemarin tak boleh terulang. Ia sudah merepotkan banyak orang, membuat Mentari panik dan ketakutan. Ia tak akan lagi menghabiskan energinya untuk hal sia-sia. Ia tak mau lagi hidupnya diatur orang lain, terutama perasaannya. Ia ingin kembali hidup seperti dulu, sebelum mengenal Malia. Suara pintu yang tiba-tiba terbuka membuyarkan lamunan Langit. "Sudah selesai, Nar?" Tanyanya tanpa menoleh. Namun, suara langkah sepatu yang familiar menyadarkannya bahwa itu bukanlah Danar. Ia menoleh sejenak, melihat Malia sudah berdiri di sampingnya, mengenakan setelan kerja dan tas tersampir di bahu. Langit mematikan rokoknya, kembali memandangi jalanan yang semakin padat dan riuh. "Kamu benar-benar sudah menganggapku enggak penting lagi?" Suara Malia terdengar lirih, nyaris berbisik. Langit hanya terdiam. "Aku sampai harus memaksa Mas Bima untuk cerita. Aku enggak tahu kamu masuk rumah sakit." Ada nada terluka dalam ucapannya. Langit menghembuskan napas panjang. "Buatku yang terpenting saat ini cuma Mentari," sahutnya pelan, suaranya sarat kelelahan. Malia menghela napas perlahan. "Maafkan aku..." lirihnya. "Kamu enggak salah," sahut Langit datar. "Aku salah! Aku tahu, aku enggak seharusnya memaksa kamu..." Malia membalikkan tubuhnya, bersandar di pagar tembok pembatas. Matanya menatap Langit, menyiratkan penyesalan yang dalam. Langit menggelengkan kepala, lalu menatap Malia. "Kamu hanya terlalu keras pada dirimu," ujarnya lembut. Malia tertunduk diam. "Jangan paksakan diri untuk mencintaiku, nanti kamu akan kecewa," bisik Langit, seolah memberikan peringatan pada dirinya sendiri. Kini Malia mengangkat wajahnya, kembali memandang Langit. "Kamu tahu kenapa aku mencintai kamu? Karena hanya kamu, laki-laki satu-satunya yang menganggapku sebagai Malia, bukan sebagai anak Prawira Subagja. Aku tahu... aku sudah banyak menyusahkanmu. Mungkin buatmu aku hanyalah anak manja yang butuh perhatian. Yang suka mengatur hidup orang lain dan memaksakan kehendak..." Malia kembali tertunduk, suaranya bergetar. "Karena aku enggak tahu banyak hal sepertimu. Aku hanya tahu duniaku seperti itu. Aku enggak tahu bagaimana caranya harus bersikap supaya kamu mau menerima aku. Aku enggak mengerti..." Kepedihan terpancar jelas di setiap kata. Langit memalingkan wajah. Ia benci situasi seperti itu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan dikatakan. Karena seperti Malia, ia juga tak tahu bagaimana cara untuk bisa mencintainya. Karena ia juga belum pernah bertemu dengan seseorang sepertinya. "Ini bukan tentang kamu. Ini tentang aku yang enggak mengerti caranya menerima cinta. Karena kalau kita saling mencintai, kita enggak perlu berubah. Dan aku percaya cinta punya caranya sendiri untuk menyatukan kita." Langit menarik napas lega. Akhirnya ia bisa mengeluarkan kata-kata itu dari mulutnya. Ia lalu menunggu gadis itu mengeluarkan kata lagi. Tapi dia hanya terdiam. Langit lalu memandangi angkasa. Matahari baru saja terbenam, sebentar lagi hari akan gelap. Tak ada lagi kalimat yang keluar dari bibir keduanya. Mereka hanya terdiam dalam pikiran masing-masing, membiarkan suara bising lalu lintas dan hembusan angin dingin mengisi keheningan yang menyesakkan itu. Malia memeluk tubuhnya, berusaha melindungi diri dari dinginnya angin yang menerpa. Langit melirik jam tangannya. "Aku harus pulang," ucapnya seraya membalikkan badan. Lalu seperti teringat sesuatu, dikeluarkannya sebuah kunci dari saku celananya, dan diulurkannya pada Malia. "Mobil kamu ada di parkiran basemen. Aku enggak punya tempat parkir di rumah. Waktu itu aku titip di rumah Devia," ujarnya. Malia menatap Langit bingung, lalu menggeleng. Tapi Langit tetap memaksa. "Please, Mal!" Ucapnya, meraih tangan Malia dan meletakkan kunci itu ke dalam genggamannya. Lalu ia melangkah pergi. "Boleh aku mengantarmu pulang?" Pertanyaan Malia membuat Langit menghentikan langkah. "Sudah malam. Aku bawa motor," sahutnya sambil menyunggingkan senyum tipis. Tak ada kesedihan, rasa kesal atau marah. Ia berusaha melupakannya. Malia menatap punggung Langit hingga menghilang di balik pintu, lalu mengusap air matanya yang menetes. .... Langit masuk ke dalam studio lukisnya. Dibukanya lukisan yang tertutup kain putih itu. Sebuah lukisan yang belum selesai. Tangannya menyentuh wajah dalam lukisan itu. Entah kenapa, ia ingin sekali melukis wajahnya. Wajah yang tak pernah berhenti mengganggunya. Ia mengingat setiap lekuk wajahnya. Ia juga mengingat dengan jelas setiap ekspresi yang tergambar di wajahnya saat ia tertawa dan tersenyum. Saat ia sedih dan marah. Saat ia menatapnya dengan cinta, dan saat ia menatapnya dengan air mata... Langit menghela napasnya. Disentuhnya kedua mata yang tergambar di sana. Lalu ia mulai menggoreskan kembali kuasnya, seolah setiap sapuan adalah upaya untuk memahami dan mengabadikan sosok itu. Dari pintu yang sedikit terbuka, Devia mengintip Langit. Matanya berkaca-kaca. Sejak Langit di rumah sakit, ia sudah tahu yang dilukis Langit itu bukanlah dirinya. Itu adalah Malia. Sebuah kenyataan yang menyakitkan, namun ia pendam dalam diam. Ia masih berharap Langit tak akan menyelesaikannya. Tapi kini, setelah satu minggu berlalu, Langit kembali ke sana dan mengguratkan kembali kuasnya di wajah itu. Harapan Devia yang rapuh perlahan hancur berkeping-keping. Ia menghela napasnya dengan berat. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban tak kasat mata yang menghimpit. Kini ia merasa semua pengorbanan yang sudah dilakukannya selama ini hanyalah sia-sia. Pengabdiannya, perhatiannya, semua cinta yang ia simpan dalam hati, terasa tak berarti di hadapan obsesi Langit pada wajah lain. Tanpa suara, ia meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja makan, lalu kembali pulang, langkahnya terasa berat, menyeret patahan hati yang baru saja ia rasakan. Entah sudah berapa lama Langit berada di sana, di dalam studio kecilnya, ketika Mentari mengetuk pintu, dan mengingatkannya untuk makan malam. Langit menyapukan kuas untuk terakhir kali di kanvasnya, memberi sentuhan akhir pada wajah yang begitu ia kenal. Lalu ditutupnya lukisan itu dengan kain putih, sembunyi dari pandangan. Ia baru merasakan perutnya kelaparan. Malam sudah hampir berada di puncaknya, namun Langit belum juga memejamkan mata. Pikirannya menerawang, memandangi langit-langit kamarnya. Sudah hampir satu minggu ia dan Malia tak bertemu sejak pertemuan terakhir mereka di teras kafe. Bahkan mereka juga sudah tak saling berkomunikasi lewat telepon. Bukankah itu yang diharapkannya selama ini? Menjauh darinya, karena tugasnya sudah selesai. Meski sekarang ia merasa ada sesuatu yang hilang dari hari-harinya, sebuah kekosongan yang samar, tapi ia percaya rasa itu akan hilang bersama waktu. Ini adalah jalan terbaik bagi mereka berdua. Untuk menjaga hati agar tak lagi saling menyakiti. Ia percaya, jika cinta itu memang ada, dia akan datang begitu saja. Bukan karena paksaan atau kasihan, apalagi karena balas budi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD