Jatuh Karena Cinta

956 Words
Mentari mengintip dari pintu yang sedikit terbuka. Langit masih di sana, di studio kecilnya, mengguratkan kuas di atas kanvas. Entah siapa yang sedang dilukisnya; ia tak berani bertanya. Ia hanya tahu, Langit sudah berada di sana sejak ia terbangun subuh tadi, setelah semalaman tak tidur. Makan malamnya pun tak tersentuh. Berkali-kali Mentari menawarinya makan, tapi Langit tak pernah menggubris. Ketakutan perlahan merayap di benak Mentari. Ia takut tubuh Langit semakin melemah. Takut sakitnya bertambah parah. Dengan ragu, Mentari memberanikan diri membuka pintu. Di tangannya ada segelas kopi hitam dan sepiring omelet kesukaan Langit yang ia buat sendiri—harapannya sederhana: semoga kali ini Langit mau menyentuhnya. Perlahan, nampan itu ia letakkan di atas meja. Langit tetap tak menoleh, terlalu larut dengan kuasnya. Di kanvas itu, Mentari sempat menangkap sekilas guratan mata seorang perempuan. Dadanya mengencang. Ia tahu siapa yang dilukis Langit. Mentari melangkah keluar tanpa suara, menutup pintu seperti semula. Tak ada lagi kata yang bisa ia ucapkan. Hanya rasa bersalah yang kian menghimpit d**a. Ia kembali ke kamarnya. Layar ponsel dibuka lagi, berharap ada balasan dari Malia. Ia sudah menelepon berkali-kali, tapi tak satu pun dijawab. Jam di layar menunjukkan hampir pukul sepuluh pagi. Janji melukis dengan Devia dan teman-temannya sudah ia batalkan. Hatinya makin cemas. Ia tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Mentari terisak. Pikirannya dipenuhi bayangan-bayangan menakutkan. Ia takut—jika Langit sampai meninggalkannya, ia tak akan sanggup hidup sendiri. Tiba-tiba, langkah pelan terdengar. Pintu kamar terbuka. Langit, dengan wajah pucat, berjalan limbung menghampirinya, dan— jatuh. Tubuh itu terkulai tak sadarkan diri. Mentari berteriak histeris. … Langit membuka matanya perlahan. Pandangannya menyapu ruangan serba putih yang asing, dengan bau obat-obatan menusuk hidung. Tangan kirinya terasa nyeri—sebuah jarum infus tertancap di sana. Samar-samar, ia melihat wajah berkacamata yang familiar. “Akhirnya lu bangun juga!” ujar Bima dengan napas lega. Belum sempat Langit merespons, sebuah tubuh kecil memeluknya erat, diiringi isak yang pecah. “Mas… jangan sakit, Mas. Jangan mati…” Isakan Mentari membuat d**a Langit menghangat sekaligus perih. Ia mengusap rambut adiknya perlahan. “Makanya jangan bikin ulah,” bisiknya, sedikit bercanda. Seorang dokter datang memeriksa keadaannya. Langit memohon untuk diizinkan pulang, tapi dokter memintanya bertahan satu hari lagi. “Lu di sini dulu sampai benar-benar pulih. Kafe enggak usah dipikirin. Kan udah ada Danar,” kata Bima. “Makasih, ya, Mas,” ucap Langit tulus. Bima adalah nomor darurat ia dan Mentari. Bima adalah penyelamat yang selalu ada setiap kali mereka membutuhkan. “Gue enggak tahu lu sakit dari kemarin,” ujar Bima sambil duduk di sampingnya. “Cuma kecapekan,” sahut Langit sambil menegakkan posisi sandaran tempat tidurnya. “Maaf, Mas. Gue ngerepotin lagi.” “Apaan sih,” Bima mengibaskan tangan. “Untung gue lagi di supermarket dekat rumah lu. Mentari nelpon sambil nangis histeris. Jantungan gue.” Bima tertawa kecil, membuat Mentari tersenyum malu. “Tolong jangan bilang Malia, ya, Mas?” pinta Langit pelan. Bima mengangguk mengerti. Namun, ia tak bisa lama-lama. Setelah berpamitan, ia berjanji akan kembali malam nanti untuk bergantian menjaga. “Enggak usah dijagain,” protes Langit lemah. “Gue udah mendingan.” “Udah, nurut aja. Lu sakit gara-gara bandel enggak mau makan,” sahut Bima, diamini Mentari dengan anggukan. Langit akhirnya menyerah. “Makasih, Mas.” Kini ia menatap Mentari yang bersandar di bahunya. “Maafin Mas ya, Dek. Kamu pasti ketakutan.” Mentari mengangguk pelan. “Aku takut Mas mati kayak Ibu.” Langit memejamkan mata, menahan air mata yang nyaris jatuh. “Mas, aku suapin makan, ya?” Mentari meraih nampan. “Mas makan sendiri aja,” Langit mengambilnya lembut. Lalu ia bertanya pelan, “Kamu enggak bilang Malia, kan?” Mentari menggeleng. “Cuma Kak Devia sama Ibunya. Mereka bantu angkat Mas ke tempat tidur." “Oh…” “Soalnya Mas Bima masih di jalan. Aku takut banget,” jelas Mentari ragu. “Enggak apa-apa, kan?” “Enggak apa-apa,” jawab Langit tersenyum. “Mas… aku udah minta maaf ke Kak Malia. Aku jelasin semuanya. Tapi dia enggak balas.” Langit menghela napas. “Enggak usah dipikirin. Bukan salah kamu. Semua salah Mas.” “Tapi—” “Udah,” potong Langit lembut namun tegas. “Jangan hubungi dia lagi. Oke?” Mentari mengangguk. … Bima membantu Langit turun dari mobil. Dari dalam rumah, Devia berlari menyambut. “Makasih ya, Mas!” ucap Langit saat Bima kembali ke mobilnya. “Inget, masuk kerja kalau udah fit. Gue enggak mau gotong-gotong lu lagi. Berat,” seloroh Bima, sebelum kemudian berlalu pergi. Langit tertawa kecil. "Aku bantu, Mas." Devia meraih tangan Langit, memegangnya erat-erat, seolah takut Langit terjatuh. “Makasih ya, Vi. Udah nolongin Mas. Udah nemenin Mentari juga.” Devia tersenyum malu. “Kita tetangga dekat, Mas. Harus saling bantu.” Ia lalu membantu Langit duduk di sofa. “Aku ambilin minum dulu ya, Mas.” “Enggak usah,” Langit menahan gadis itu. “Temenin Mas aja sampai Mentari pulang sekolah.” Devia mengangguk. Dadanya berdebar kencang. Tanpa berkata, ia membiarkan Langit memejamkan mata, hingga kemudian kepalanya terjatuh di bahunya. Dengkuran halus terdengar dari mulut Langit, perlahan Devia menggeser posisi, memindahkan kepala Langit ke pangkuannya. Jantungnya berdegup lebih kencang saat merasakan berat itu. Ini momen terdekat yang pernah ia miliki. Ia mengusap rambut Langit dengan jemari gemetar. Wajah pucat itu, napasnya yang teratur, bulu mata yang teduh—semuanya terasa begitu dekat, begitu salah, namun terlalu berarti untuk dihindari. Dalam benaknya, sebuah bayangan melintas. Lukisan yang tadi pagi ia lihat di kamar itu. Seharusnya itu gambar dirinya. Tapi ia sadar diri. Itu tak mungkin. Akhirnya, Devia ikut memejamkan mata, membiarkan keheningan membungkus mereka. Dari pintu depan yang setengah terbuka, Mentari memandangi keduanya sambil tersenyum tipis. Ia menutup pintu perlahan, lalu melangkah pergi tanpa suara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD