Sinar matahari hangat menembus jendela kamar, membangunkan Langit perlahan. Tubuhnya terasa berat, seolah tertambat di ranjang. Kelelahan setelah seharian melayani pelanggan kafe tanpa henti kemarin, baru benar-benar terasa hari ini. Ia melirik jam di atas meja—hampir pukul sembilan pagi. Perutnya mulai keroncongan.
Dengan sedikit paksaan, Langit bangkit dan melangkah keluar kamar. Di pintu, selembar kertas menempel dengan tulisan tangan yang dikenalnya.
“Lagi sepedaan sama Kak Via. Kalau mau titip sarapan, WA aja!”
Langit tersenyum. Ia mengambil ponsel dan mengirim pesan singkat pada Mentari.
Beberapa notifikasi dari Malia muncul di layar—menanyakan kabarnya sejak pagi. Langit hanya membacanya sekilas, lalu mengabaikannya. Ia ingin membuat Malia kesal. Sebagai balasan atas kejadian kemarin. Dengan senyum kecil, Langit mematikan ponselnya.
Hari ini ia ingin beristirahat total. Tak ingin diganggu siapa pun—termasuk Malia.
Ia melangkah ke ruang tamu dan menghempaskan tubuh ke atas sofa, lalu memejamkan mata.
Baru sekejap matanya terpejam, suara nyaring memanggilnya.
“Mas! Ini sarapannya!”
Langit membuka mata dan terkejut mendapati wajah Mentari tepat di hadapannya.
“Mas Lang sakit?” tanyanya panik.
Langit cepat menggeleng.
“Kok anget? Mukanya pucat!” Mentari meraba pipinya.
Langit menyentuh keningnya sendiri. “Cuma kecapekan, De,” sahutnya pelan, lalu bangkit dan membuka bungkusan sarapan.
“Mau aku panggilin tukang pijit langganan?” wajah Mentari semakin khawatir.
“Nggak usah. Mas mau tidur aja. Nanti siang juga mendingan,” jawab Langit.
Mentari bergegas ke dapur dan kembali dengan segelas teh hangat. Langit tersenyum melihat adiknya yang mendadak begitu cemas. Mentari memang selalu takut melihatnya sakit—takut ia mengalami hal yang sama seperti Ibu mereka dulu.
“Mas nggak apa-apa. Beneran. Cuma capek. Kemarin kafe rame banget,” Langit mencoba menenangkan.
“Kalau sampai sore masih panas, Mas harus mau aku antar ke dokter!” ancam Mentari.
Langit mengangguk, demi menenangkannya.
Setelah sarapan, ia kembali ke kamar. Karbohidrat yang masuk ke tubuhnya membuat rasa kantuk menyerang lagi.
Entah berapa lama ia tertidur, sampai sebuah sentuhan lembut mengusap wajahnya. Langit memicingkan mata.
“Malia?!” serunya kaget.
Malia menatapnya dengan wajah cemas. “Kamu nggak balas pesan. Hape kamu mati. Aku tanya Mentari… katanya kamu sakit.”
Langit mengusap wajahnya. Kepalanya kini ikut berdenyut. Ia melihat sekeranjang buah di atas meja dan menghela napas panjang.
“Aku nggak apa-apa. Cuma butuh istirahat. Nanti sore juga sembuh.”
“Tapi kamu panas. Aku antar ke dokter, ya?” Malia menyentuh keningnya lagi.
“Mal… aku cuma kecapekan.” Langit memaksa bangun, berjalan ke ruang tamu, lalu kembali menjatuhkan diri ke sofa. “Lihat, aku baik-baik aja.”
“Hari ini kamu nggak usah ngapa-ngapain. Aku sama Mentari aja yang beresin rumah,” ujar Malia tegas.
“Nggak perlu. Biar Mentari aja. Kamu kan—”
Belum sempat kalimatnya selesai, telunjuk Malia sudah menempel di bibirnya. “Jangan membantah.”
Langit terdiam. Terlalu lelah untuk berdebat. Dasar Bossy! Batinnya, lelah.
Ia memejamkan mata, sampai tiba-tiba teringat sesuatu.
Mobil!
Dengan cepat Langit bangkit dan keluar rumah. Tak lama, ia kembali dan memarkirkan mobil di depan pagar. Namun Malia sudah berdiri di ambang pintu. Mentari di belakangnya memberi isyarat agar ia berbohong.
“Habis parkir di mana?” tanya Malia.
“Di rumah tetangga,” jawab Langit setenang mungkin. “Kalau malam rawan. Jalannya sempit. Takut keserempet."
Langit menarik lega saat Malia tak bertanya lagi. Namun pikirannya kini melayang. Sampai kapan ia harus berbohong?
Ia menatap Malia yang sedang merapikan kamar. Meski sering membuatnya kesal, gadis itu selalu berniat baik—meski caranya kerap merepotkan.
Langit mendekat dan membantu melipat selimut. “Kamu nggak harus melakukan semua ini cuma buat bikin aku cinta sama kamu,” ucapnya lirih.
Malia berhenti, menatapnya dalam.
“Aku nggak melakukan ini supaya kamu mencintaiku. Aku melakukannya karena aku mencintaimu.”
Malia lalu keluar kamar.
Langit terpaku. Ucapan itu seperti siraman air dingin—menyadarkannya. Selama ini ia berusaha menyangkal, menganggap perasaan Malia hanya keterikatan sesaat karena ia pernah menolongnya.
“Mas Langiiit! Aku bikinin wedang jahe!”
Langit tersentak, lalu keluar kamar. Di atas meja makan segelas wedang jahe mengepul, dan dilihatnya Malia mengiris apel untuknya. Dadanya menghangat. Hatinya meleleh. Perhatian Malia terasa berlebihan buatnya. Ia mengambil pisau dari tangan gadis itu, meletakkannya di meja, lalu memeluknya, hangat.
“Terima kasih,” bisiknya.
Malia terkejut. Tatapannya tak percaya. Ia membalas pelukan itu, menyandarkan wajah di d**a Langit. Tubuhnya sedikit bergetar.
“Ehm!”
Batuk Mentari memecah romantisme itu. Mereka buru-buru melepaskan pelukan dengan canggung. Wajah Malia bahkan bersemu merah.
“Udah jadian, nih?” seru Mentari ceria.
Langit terbatuk, lalu mengacak rambut adiknya. “Anak kecil, ganggu aja.”
“O ya, Mas, aku boleh main ke rumah Kak Malia gak?” suara Mentari terdengar ceria. “Kak Malia ngajak berenang di rumahnya.”
"Berenang?" Langit melirik Malia. Gadis itu tersenyum mengiyakan. "Kapan?” tanyanya, kembali menatap Sang Adik.
“Besok. Hari Minggu. Aku ke sana duluan. Nanti kalau Mas selesai melukis Kak Via, baru deh, nyusul.”
Hening.
Malia yang duduk sambil memotong apel, perlahan menghentikan gerakannya. Pisau kecil di tangannya terdiam di udara, lalu turun pelan ke atas meja. Tatapannya beralih ke Mentari—lalu ke Langit di seberangnya.
Tak ada kemarahan di sana. Tak ada teriakan. Hanya sepasang mata yang membesar perlahan, seolah berusaha mencerna kata-kata barusan. Senyum tipis yang sempat tersisa di bibirnya lenyap begitu saja, digantikan ekspresi kosong yang sulit diartikan. Matanya berkaca-kaca. Rahangnya mengeras, seakan ia sedang menahan sesuatu yang ingin runtuh di dadanya.
Seketika Mentari tersadar. Tangannya refleks menutup mulutnya sendiri.
“Maaf…” suaranya bergetar. “Aku—aku nggak maksud—”
Malia menatap Langit, lama. Terlalu lama. Ada harapan yang patah di sana. Seolah ia baru disadarkan pada kenyataan pahit yang selama ini ia coba abaikan.
Malia menarik napas dalam-dalam. Mendorong kursi hingga berderit. Memecah keheningan yang menyayat. Ia lalu melangkah pergi, tanpa sepatah kata. Langkahnya cepat, nyaris berlari. Ia tak menoleh saat Mentari dengan panik memanggilnya, bahkan berlari mengejarnya. Ia sudah tak peduli.
Beberapa detik kemudian, suara mesin mobil meraung dan menjauh.
Langit membeku di tempatnya. Tak mampu bergerak. Pandangannya kosong, seolah baru saja kehilangan sesuatu yang terlambat ia sadari.
"Maafin aku, Mas!" Isak Mentari. Air matanya jatuh membasahi bahu Langit.
Langit memejamkan kedua matanya. Ia tidak mengerti dengan semua yang terjadi di hadapannya dengan begitu cepat. Baru saja ia memeluknya dan melihat wajahnya tersipu. Tapi tiba-tiba saja ia melihatnya berurai air mata. Ia tak mengerti mengapa hatinya begitu pilu melihatnya menangis. Dan mengapa dadanya terasa sesak melihatnya pergi meninggalkannya