Untung Ada Devia

968 Words
Langit selalu menyukai hari Jumat. Bukan semata karena Jumat adalah penutup pekan sebelum libur, melainkan karena Jumat adalah hari tersibuk di kafe. Bahkan, tak jarang kafe harus tutup lebih larut dari biasanya. Itulah yang membuatnya selalu datang lebih awal setiap Jumat pagi—seperti hari ini. Kafe sudah ia siapkan sejak tadi. Mesin kopi dipanaskan, meja-meja dirapikan, dan aroma kopi segar yang baru digiling memenuhi ruangan, memberi rasa akrab yang menenangkan. Hari ini semangatnya bahkan terasa berlipat. Semalam, saat makan malam bersama kedua orang tua Malia, ia sudah memaksa gadis itu berjanji, meminta dengan tegas: Malia tidak boleh lagi mengintervensi pekerjaannya, atau ia akan mengembalikan mobil pemberiannya. Dan ia yakin, kali ini Malia tak akan berani macam-macam. Langit melirik jam tangannya. Masih ada lima belas menit untuk menikmati bubur ayam yang dibelinya tadi di jalan. Baru saja sendokan pertama masuk ke mulut, pintu kafe terbuka. Bima masuk dengan— Malia? Senyum Langit lenyap seketika. Tubuhnya terasa melemas. Sendok di tangannya terhenti di udara. Dan… siapa laki-laki itu? Seorang pria muda berpakaian hitam-putih berdiri canggung di samping Bima. “Lang, kenalin ini Danar!” Bima melambaikan tangan, memanggil Langit mendekat dengan antusiasme yang terasa janggal. “Danar ini karyawan baru. Dia baru dua minggu training jadi Office Boy di kantor Pak Subagja. Tapi beliau minta Danar buat incharge di sini, sebagai bagian dari fasilitas gedung untuk tenant,” jelas Bima panjang lebar, nyaris seperti membaca teks yang sudah disiapkan. “Oh… ya?” Kening Langit mengernyit. Sejak kapan gedung ini menyediakan OB untuk penyewa? Ia melirik Malia, menuntut penjelasan. Namun gadis itu malah sibuk memeriksa kukunya, pura-pura tak terlibat. “Iya!” sahut Bima cepat. Terlalu cepat. Terlalu yakin. Dan sejak kapan Mas Bima jadi sekutunya Malia? Kecurigaan mulai merayapi Langit. “Danar bakal bantuin kita di sini. Apa aja. Tapi utamanya urusan kebersihan. Jadi lu nggak perlu lagi bersih-bersih. Fokus aja jadi barista,” lanjut Bima. Langit menatap Malia, menahan geram. Seharusnya ia memang tidak usah mempercayainya. Malia selalu punya rencana cadangan—dan selalu menemukan cara untuk mengganggu hidupnya. Kali ini, lewat Bima. Ia tahu persis maksud Malia. Dengan adanya Danar, ia akan punya lebih banyak waktu untuk menemaninya. Langit menarik napas panjang, berusaha menahan emosi. Entah bagaimana caranya Malia membujuk Pak Subagja sampai sejauh ini. Kepalanya mulai berdenyut. “Oke, Mas Bima. Nanti job desk Danar tolong kirimin ke HRD aja, ya,” ujar Malia ringan. Ia lalu menoleh ke Langit dan—dengan gerakan cepat—mengecup pipinya. Sebelum Langit sempat bereaksi, Malia sudah melenggang keluar dengan senyum lebar. Langit terpaku. Bima dan Danar tampak sama terkejutnya. “Ehm… Danar, isi formulir ini dulu, ya." Bima buru-buru mengalihkan perhatian. Ia mengulurkan selembar kertas dan mengarahkan Danar ke ruangnya. Langit mengusap pipinya dengan kesal, membersihkan noda lipstik yang tertinggal. Ia menatap Bima tajam. “Kok lu terima, Mas?” tanyanya, dagunya menunjuk ke arah Danar. Bima terkekeh. “Rezeki masa ditolak? Gratis pula. Lumayan, kan, meringankan kerjaan lu.” “Lu tahu tujuan dia sebenernya, kan?” desak Langit. “Lu tuh selalu aja mikir negatif ke Malia,” bantah Bima. “Niat dia baik. Nolongin kita. Nolongin lu biar nggak capek. Dia nggak suka lihat lu bersih-bersih.” Langit melotot. “Dia bilang begitu?” Bima mengangguk sambil tertawa kecil. “Ya wajar, sih. Masa pacar pemilik Bagja Company kerjanya ngepel lantai?” Tambah Bima dengan nada menggoda. Langit menatap Bima tak percaya. Jelas sudah sekarang, Mas Bima sudah menjadi sekutu Malia. “Terserah lu aja, Mas,” gumam Langit pasrah. Ia kembali ke mejanya, melanjutkan sarapan yang sudah dingin, meski selera makannya telah lenyap. --- Jam sudah menunjukkan lewat pukul sembilan malam ketika Langit tiba di rumah. Dari dalam kamar terdengar suara Mentari yang sedang mengobrol dengan seseorang. Langit mengetuk pelan. Pintu terbuka. Devia berdiri di ambang pintu. “Oh, ada Devia?” sapa Langit, sedikit terkejut. “Iya, Mas,” jawab Devia tersenyum malu. “Aku udah minta izin Kak Via buat titip mobil!” Mentari muncul dengan wajah antusias. “Oh ya?” Langit tersenyum lega. “Nanti Mas ke rumah Via deh, ngomong sama Ibu." “Boleh, Mas. Tadi aku udah tanya Ibu juga,” sahut Devia. “Makasih ya,” ucap Langit tulus. “Udah makan? Kalau belum, makan bareng Mas.” “Udah, Mas. Tadi sama Mentari.” “Aku masak sama Kak Via!” Mentari menimpali bangga. “Cobain deh. Aku baru belajar resep baru—telur balado!” Langit mengacak rambut adiknya. “Telur balado aja pakai belajar.” “Sama sayur lodeh kesukaan Mas Langit. Kak Via yang masak. Dijamin enak!” “Oh ya?” Langit tersenyum lebar. Perutnya langsung merespons. "Makasih ya, Via. Kamu baik banget," ucapnya tulus. Devia kembali mengangguk malu-malu. "Aku pulang dulu ya, Mas. Kalau mau titip mobil, datang aja." Setelah Devia pergi, Langit menarik nafas lega. “Untung ada Devia,” gumamnya. Hatinya terasa hangat. Ia benar-benar berhutang budi. “Mas…” Mentari memandang ragu. “Kenapa? Minta uang jajan lagi?” Tanya Langit sambil berjalan ke meja makan. Matanya berbinar melihat hidangan di atas meja. “Ih, bukan! Hmm... Kak Via… katanya pengin dilukis.” Langit mengangkat alis. “Dilukis? Sama Mas?” Mentari mengangguk. “Dia kan, liat lukisanku di kamar, yang dibuat Mas Lang itu. Katanya dia juga pengin dilukis.” Langit terdiam. Ia sudah lama tak melukis orang. Terakhir hanya Mentari. Melukis wajah butuh fokus… dan perasaan yang pas. “Ayo, Mas. Anggap aja balas budi,” rayu Mentari. “Kapan?” “Terserah Mas.” “Minggu pagi aja,” putus Langit. “Siip!” Mentari langsung bersorak dan berlari ke kamar, menelepon Devia dengan suara riang. Langit tersenyum kecil, menggeleng pelan. Ia tak bisa membayangkan Devia duduk diam berjam-jam di depannya. Dia pasti gugup setengah mati. Dan entah kenapa bayangan itu membuat Langit tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD