Langit sudah bersiap menunggu kedatangan Malia untuk makan siang bersama di kantin saat tiba-tiba saja gadis itu malah mengirimkan pesan singkat yang memintanya untuk datang menjemputnya. Bukankah kantin itu jaraknya lebih dekat dari cafe? Langit menggeleng-gelengkan kepalanya. Dasar manja, keluhnya. Bukan masalah jarak yang tidak disukainya. Tapi ia tak suka menjadi pusat perhatian orang-orang di kantor itu. Ia risih dengan tatapan mereka yang membuatnya merasa terintimidasi.
Dengan malas Langit akhirnya melangkahkan kakinya ke kantor Malia. Dan ternyata benar yang dikatakan Eva. Sekarang tak ada lagi yang berani menyapanya seperti biasa. Mereka hanya memandangnya dengan senyum yang kaku. Bahkan Eva pun tak berani menatapnya. Atmosfer ini mencekiknya.
"Hai!" Suara Malia mengagetkannya. Gadis itu muncul dari balik pintu, menarik Langit masuk ke dalam ruangan yang nyaman itu, lalu menutup pintu dengan cepat.
"Kita makan di sini?" Langit bertanya, melihat Malia mengeluarkan boks-boks makanan dari kantong besar bertuliskan nama restoran Jepang favoritnya. Malia mengangguk. Langit menghela napas panjang, kekesalan sedikit melunak digantikan aroma sushi yang menguar. Ia lalu menyandarkan diri di sofa empuk, matanya menyapu sekeliling ruangan kerja Malia. Luas, nyaman, dan seakan mengundang siapa saja untuk berlama-lama. "Kamu pasti betah seharian di sini?" Ucapnya, tiba-tiba merasa ingin memejamkan mata.
Malia tersenyum tipis. "Kadang bosan," sahutnya, mengulurkan sepiring sushi pada Langit.
"Kamu enggak tahu betapa beruntungnya hidup kamu," Langit menatap Malia, ada nada pahit dalam suaranya.
"Beruntung?" Malia mengangkat kedua alisnya.
"Kamu punya segalanya," Langit menambahkan, pandangannya lurus ke mata Malia.
"Maksud kamu materi?"
Langit mengangguk. "Paling tidak kalau mau tidur seharian pun kamu gak takut akan dipecat."
Malia tertawa renyah. "Memangnya kamu takut dipecat?" Tanyanya.
Langit mengedikkan kedua bahunya. "Banyak orang-orang yang menggantungkan hidup di sini. Mungkin banyak juga yang menjadi tulang punggung keluarga seperti aku," sahutnya, menyuapkan sepotong sushi ke dalam mulutnya.
"Maksud kamu seperti Eva?"
Langit berhenti mengunyah, menatap Malia dengan bingung. Ia bahkan tidak tahu Eva adalah tulang punggung keluarga.
"Aku tahu semua latar belakang anak buahku," Malia membalas, matanya menajam. "Dia pasti sudah cerita banyak sama kamu, kan? Kalau ayahnya sudah meninggal dunia, dan dia harus menghidupi ibu dan adiknya?" Ada nada cemburu yang tak bisa disembunyikan dalam suaranya.
Langit menggeleng, kebingungan menyelimutinya. "Aku gak tahu. Dia gak cerita apa-apa," jawabnya jujur.
Tapi Malia seolah tak percaya. Tatapannya menembus, seolah ingin memastikan Langit tidak berdusta.
"Kamu masih mau bahas soal dia?" Langit bertanya malas. Ia sudah lelah dengan pertengkaran ini.
Malia menggeleng pelan. "Kamu tahu gak apa makanan kesukaanku?" Tanyanya tiba-tiba, mengalihkan topik secara drastis.
Langit menggeleng, bingung. Ia memang tidak tahu. Yang ia tahu, Malia selalu menyantap makanan berbeda setiap hari.
"Kamu ingat apa yang dimakan Eva waktu itu?"
Ada apa ini? Langit semakin gusar. Tentu saja ia masih ingat. Tapi apa maksudnya? Ia pun mengangguk.
Malia meletakkan piringnya. "Kamu gak tahu apa-apa tentang aku. Tapi kamu ingat makanan perempuan yang baru saja makan sekali denganmu?"
"Apa maksud kamu, Mal?" Langit semakin kebingungan, firasat buruk mulai merayapi benaknya.
"Aku enggak mau jadi Sandra. Aku enggak mau cuma jadi bayangan kamu!" Suara Malia mulai meninggi, menggema di ruangan itu.
Langit menatapnya tak percaya. Sandra? Kenapa nama itu disebut? Dari mana Malia tahu?
Malia menarik napas berat. "Aku enggak mau setelah dua tahun menunggu, aku baru sadar kalau ternyata kamu enggak pernah mencintaiku karena kamu enggak pernah berusaha."
Sejenak Langit terpaku. Piring dan sumpitnya diletakkan di atas meja. Ia menarik napas dalam-dalam. "Sandra meninggalkanku saat aku sedang dalam masa sulit. Orang tuaku baru meninggal dunia. Dan saat itu aku benar-benar dalam kondisi terpuruk. Hidupku hancur. Mungkin dia merasa aku udah enggak peduli sama dia. Tapi pada saat itu aku bahkan enggak peduli sama diriku sendiri." Kata-kata itu keluar begitu saja, getir, kenangan yang Langit benci.
"Mungkin dia hanya ingin mempertanyakan kehadirannya. Karena kamu enggak pernah membagi rasa padanya. Kamu seperti hidup dalam duniamu sendiri. Kamu enggak pernah menanyakan kabarnya, lelahnya, makanan favoritnya, ulang tahunnya..."
Langit kembali menatap Malia, bingung. Jadi ini maksudnya? Jadi semua ini tentang dia? Gumamnya dalam hati.
"Kalau aku enggak ada. Kamu juga enggak akan merasa kehilangan, kan? Aku sampai harus menanyakan segala hal tentang kamu pada Mentari dan Mas Bima. Karena kamu bahkan enggak memberitahu aku waktu kamu sakit. Kamu enggak pernah mau berbagi."
Langit mengusap wajah dengan kedua tangan. "Karena aku takut... Kamu enggak tahu siapa aku..."
"Bagaimana aku bisa mengenalmu kalau kamu tidak mengizinkanku masuk ke dalam hidupmu?"
"Kamu akan membenciku kalau tahu masa laluku," lirih Langit, menunduk.
"Apa yang kamu sembunyikan?" Malia mendekatkan wajahnya, matanya menuntut jawaban.
Kini Langit mengangkat wajahnya. "Aku... enggak seperti yang kamu bayangkan. Yang orang-orang kira selama ini. Orang melihatku sebagai kakak yang baik dan bertanggung jawab. Berjuang menafkahi adiknya dan menyekolahkannya. Mereka gak tahu apa yang aku lakukan saat ini enggak sebanding dengan apa yang udah aku lakukan dulu. Sewaktu orang tuaku masih hidup." Langit menghembuskan napasnya dengan berat. "Enggak ada yang bisa dibanggakan dariku... Masa laluku sangat kelam. Kasar. Aku bukan orang baik. Dunia kita sangat jauh berbeda. Kamu enggak akan bisa menerimanya. Kamu salah pilih aku... Aku bukan orang yang pantas!"
Langit beranjak dari duduknya, ingin segera pergi. Tapi tangan Malia menahannya, mencengkeram kuat bahunya. Cengkeraman itu semakin kuat saat Langit berusaha melepaskan diri. Saat itulah, Malia melihat sesuatu di balik kausnya yang sedikit tersingkap. "Maal!" Dengan refleks Langit membalikkan tubuhnya, melangkah mundur.
"Apa yang kamu sembunyikan?" Perlahan Malia mendekat, tatapannya tak berkedip.
Langit menggeleng, terus melangkah mundur.
Tapi Malia tak menyerah, ia terus mendekat, hingga langkah Langit terhenti, punggungnya menyentuh dinding kaca.
"Apa yang kamu sembunyikan di punggungmu?" Malia meraba punggung Langit.
Langit menggeleng. "Kamu gak akan suka melihatnya," ucapnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
"Buka..." pinta Malia lirih.
"Mal..."
"AKU BILANG BUKA!" Jerit Malia, suaranya membelah keheningan.
Melihat sorot matanya yang begitu tajam, Langit akhirnya menyerah. Perlahan ia membuka kausnya, memperlihatkan apa yang selama ini disembunyikan di balik punggungnya.
Malia menatap gambar besar itu. Sebuah gambar naga hijau bersayap. Taring-taringnya panjang. Mulutnya berapi, dan kedua sayapnya mengepak hingga ke bahu. Perlahan ia menyentuhnya, tangannya bergetar menelusuri tato itu. Napasnya tertahan. Ia mengenalinya. Ia tahu cerita di balik gambar itu. Naga Langit! Nama yang lama menghilang. Nama yang dulu pernah ia sebut di dalam doanya. Nama yang pernah sangat ia harapkan untuk datang menolongnya. Nama yang tanpa ia sadari akhirnya benar-benar datang menyelamatkannya. Tidak, ia tidak salah pilih. Ia tahu Langit adalah jawaban dari doanya. Ia hanya tidak menyadari bahwa Langit yang selama ini berada begitu dekat dengannya adalah Naga Langit yang melegenda dalam ingatannya.
Langit tertunduk, matanya terpejam. Ia tidak malu. Ia tidak takut Malia akan meninggalkannya. Ia hanya takut untuk mengulang kembali cerita itu. Cerita yang tak dibanggakannya. Cerita yang membuat orang tuanya selalu menangisinya setiap malam. Cerita yang susah payah disembunyikannya selama tiga tahun. Dan kini harus terungkap kembali di hadapan Malia.
"Maaal..." Langit memanggilnya lirih. Tapi Malia tak menyahut. Tiba-tiba saja, ia merasakan punggungnya hangat dan basah. Tak ada suara, hanya isakan lirih yang keluar dari mulut Malia. Kepalanya bersandar di punggungnya. Kedua tangannya melingkari dadanya dengan kuat.
Langit membiarkan air mata Malia membasahi seluruh punggungnya. Didekapnya kedua tangan gadis itu dalam dadanya. Tubuhnya bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ia merasa lega, kini ia tak perlu takut lagi. Rahasia terbesarnya telah terungkap, dan Malia ada di sini, di sampingnya.
Tanpa mereka sadari. Dari dinding kaca dengan tirai yang tak tertutup sempurna, orang-orang itu menatap mereka. Ada yang menitikkan air mata, ada yang terperangah, tapi banyak yang mengabadikan momen itu dalam kamera ponselnya.