Masa Lalu Sang Jagoan

1424 Words
Langit membuka mata, samar-samar terdengar gemericik air dan kicauan burung yang ramai. Tubuhnya terasa hangat, dan matanya menyipit terkena sorot matahari yang entah kenapa, seperti sengaja menarget wajahnya. Sesaat ia merasa asing, sampai sebuah suara menyentak kesadarannya. "Hei, jagoan!" Seketika ia sadar, ia berada di teras belakang rumah si pemilik suara. Tergeletak di sofa rotan yang nyaman. Malia, duduk di ujung kakinya, secangkir teh hangat mengepul di tangannya. Langit buru-buru beranjak, meraih ponsel, dan matanya membelalak. "Udah jam sembilan?!" pekiknya. Malia tertawa renyah melihat kepanikan Langit. "Tenang! Aku udah bilang Mas Bima supaya jangan pecat kamu. Kamu bisa tidur seharian di sini." "Aaargh! Kamu kok, gak bangunin aku?!" Langit mengacak rambutnya, merasa menyesal. "Kamu kan baru tidur jam tiga? Ketiduran di sini. Lagipula, siapa juga yang berani bangunin Naga tidur?" Malia menyeloroh, senyum jahil menghiasi bibirnya. Akhirnya Langit tersenyum. Ia ingat, semalam mereka mengobrol panjang, dari makan malam hingga lewat dini hari. "Mentari? Apa dia telepon kamu?" Tiba-tiba ia teringat adiknya. "Aku udah kabarin dia. Semalam dia ditemani teman-temannya di rumah. Nanti siang mau ke sini katanya, mau berenang." "Thanks! Terus kamu, gak kerja?" Langit memandangi Malia yang masih memakai baju rumahan yang nyaman. Malia menggeleng. "Itu enaknya jadi bos," sahutnya, bangga. Rona khawatir kembali menyelimuti wajah Langit. "Apa Papa dan Mama kamu udah lihat video itu?" Malia mengangguk santai. "Katanya bagus tatonya." "Argh!" Langit menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa, menutupi wajahnya dengan bantal. Malia tergelak. "Gak perlu malu. Video kita kan udah viral. Sekarang semua orang di Bagja Tower udah tahu siapa kamu." "Gara-gara kamu. Tutup pintu tapi gak tutup kaca!" gerutu Langit dari balik bantal. "Daripada aku tutup tirai mereka malah lebih curiga, disangka kita melakukan yang aneh-aneh," Malia membela diri. "Aku malu!" sergah Langit. "Aku mesti gimana? Pecat mereka semua? Nanti kamunya yang marah!" Langit menghela napas panjang. "Kamu gak malu?" Tanyanya, menatap Malia. Malia menggeleng, tatapan matanya berbinar. "Aku bangga punya pacar jagoan." Dikecupnya pipi Langit, cepat. Langit kembali panik, matanya membulat. "Mal..!" Malia kembali tertawa geli. "Tenang! Gak ada orang! Papa Mama udah pergi!" sahutnya. "Aku berangkat kerja deh. Kasihan Mas Bima." Malia mengangguk. "Oke, tapi kamu sarapan dulu." Langit meraih tangan gadis itu, menatapnya dalam-dalam. "Makasih, ya. Udah mau menerima masa laluku," ucapnya sungguh-sungguh, ada kelegaan di matanya. Malia mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Kalau aku tahu dari dulu kalau kamu adalah si Naga Langit yang hilang itu, mungkin aku udah datangin kafe dari tiga tahun yang lalu." Langit tertawa renyah. "Kamu gak takut?" Tanyanya. "Takut sama jagoan paling ganteng dan paling terkenal di kota ini?" Malia menggeleng. Langit tersenyum. Sejak semalam, sikap Malia sangat manis. Dia sama sekali tak memandang rendah dirinya. Dan itu sangat berarti baginya. Kini ia percaya Malia benar-benar mencintainya dengan tulus, dan ia menyesal pernah berprasangka buruk padanya. Langit memandang heran kafe yang sangat ramai siang itu. Ada apa ini? Padahal belum masuk jam makan siang puncak. Namun kemudian ia tersadar saat melihat mereka memandang dan menyapanya dengan cara yang berbeda. Ia hanya bisa tersenyum malu. Mulai saat ini ia harus terbiasa menghadapi perubahan sikap itu. Ia bahkan harus terbiasa melihat mereka mengambil gambarnya, bahkan mengajaknya berfoto bersama. Aneh rasanya. Selama ini ia berusaha menutupi identitasnya karena takut mereka akan memandangnya sebelah mata. Tapi ternyata dugaannya salah besar. Mereka malah menerimanya dengan senang hati. Sekarang ia tak perlu merasa malu lagi. .... "Makan dulu. Malia kirimin kita makan siang." Bima datang menghampirinya dengan sebuah kantong berisi makanan. "Mas Langit, boleh minta foto bareng, gak?" Tiba-tiba saja Danar datang menghampiri dengan ponsel di tangannya, matanya berbinar. "Memangnya kamu tahu, Nar?" Tanya Bima, heran. "Tahu, Pak. Geng Naga Langit itu terkenal sampai ke kampung saya di Jawa," jawab Danar dengan bangga. "Kamu dengar apa aja, Nar?" tanya Langit, penasaran. "Mas Langit itu kebal sama senjata tajam... Mas Langit bisa melawan dua belas orang sekaligus dengan tangan kosong... Mas Langit juga suka nolongin orang...!" Danar mengoceh antusias. Langit tak bisa menahan tawa mendengar ucapan Danar. "Kamu dibohongin! Itu bukan saya. Itu John Wick!" Selorohnya, mengundang tawa Bima. Dari kejauhan, Langit tersenyum memandangi Mentari yang tengah sibuk selfie di teras kafe. "Makasih, ya, udah bawa Mentari ke sini," ucap Langit pada Malia yang duduk di sampingnya. Malia tersenyum. "Mentari cerita kalau dia sangat bangga menjadi adikmu. Semua teman sekolahnya bahkan tahu semua cerita tentang kamu. Makanya enggak ada orang yang berani macam-macam sama dia. Meskipun akhirnya sampai sekarang dia enggak pernah punya pacar karena enggak ada cowok yang berani dekatin dia." Langit tertawa. "Cerita yang mereka dengar kebanyakan dilebih-lebihkan," ucapnya. "Dulu aku juga sering mendengar cerita tentang kamu dari teman-teman sekolah," Malia menimpali. "Apa kamu percaya semua cerita itu?" Langit menatapnya. Malia terdiam sejenak, memikirkan. "Hmm... ada yang aku percaya sepenuhnya. Cerita tentang kamu menyeret seorang cowok pakai motor ke kantor polisi karena dia sudah memperkosa seseorang yang kamu kenal." Sesaat Langit terdiam, mencoba mengingat kembali kisah itu. "Waktu itu Ibu perempuan itu datang menemuiku, menangis meminta tolong untuk menemukan orang yang sudah memperkosa anaknya. Karena laki-laki pengecut itu melarikan diri. Aku dan teman-teman berhasil menemukannya. Tapi aku gak menyeretnya. Aku mengikatnya di punggungku. Tapi dia lalu terjatuh. Dia bukan luka-luka karena terseret. Tapi karena aku memukulinya." Langit menghela napasnya, memandangi wajah Malia, seolah ingin memastikan ceritanya tidak membuatnya takut atau membencinya. Tapi Malia malah menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Andai saja aku bertemu kamu waktu itu," lirihnya. Langit mengernyitkan keningnya. "Maksud kamu?" Malia menggelengkan kepalanya, buru-buru mengusap air matanya yang akan jatuh. "Gak apa-apa. Aku kagum sama kamu," imbuhnya. "Cerita apa lagi yang kamu mau tahu? Sudah semalaman kamu dengerin ceritaku," tanya Langit. "Apa kamu benar-benar kebal senjata?" Malia bertanya, tatapan penasaran. Kini Langit tertawa geli. "Pertanyaan kamu sama kayak Danar. Aku gak kebal senjata. Aku hanya pintar mengelak. Aku belajar bela diri sejak usia lima tahun. Kakek yang mengajariku. Kata Ayah, Kakek dulu seorang jawara di kampungnya. Tapi Kakek melarangku berkelahi dengan senjata tajam. Dan Kakek juga yang memberiku nama Nagara Langit. Tapi orang-orang lebih suka memanggilku Naga Langit. Karena aku punya tato naga." "Kamu yang gambar sendiri naga itu?" Malia menunjuk ke punggung Langit. Langit mengangguk. "Waktu aku kecil Kakek sering menceritakan kisah tentang Naga raksasa jelmaan raja yang bijaksana, yang melindungi sebuah gunung agar tidak dirusak oleh orang-orang jahat. Aku suka sekali dengan cerita itu. Aku sering menggambarnya. Membayangkannya jadi naga itu. Dan saat aku masuk SMA, aku meminta orang untuk menggambarnya di punggungku." "Dan saat itulah Ibumu memukulimu?" Malia menebak, senyum tipis di bibirnya. Langit kembali tertawa. "Ibu sangat marah. Sapunya sampai patah dipakai buat memukuliku." "Untung Ayahmu gak ikutan mukulin kamu." "Ayah enggak pernah memukuliku. Dia takut dengan Kakek. Kalau Ayah memukuliku, Kakek akan memukuli Ayah juga. Aku kan, cucu kesayangan," Langit mengerlingkan sebelah matanya. Malia pun tergelak. "Sayang Kakek kamu udah enggak ada." Langit menghela napasnya dengan berat, mencoba mengingat-ingat kembali masa lalunya. "Sedari kecil aku selalu menyusahkan orang tuaku. Sejak usia dua belas tahun aku sudah sering berurusan dengan polisi. Aku selalu berkelahi dan sering membuat orang terluka. Entah kenapa mereka selalu saja menantangku berkelahi. Aku lulus SMA di usia dua puluh tahun. Karena aku sering membolos dan selalu membuat masalah dengan sekolah lain. Kata orang aku diluluskan karena aku menculik anak perempuan kepala sekolah. Padahal itu adalah ide anak perempuannya. Dia bertengkar dengan Ayahnya lalu mengajakku melarikan diri. Kami menghilang selama satu minggu, bersembunyi di rumah Kakek. Dan setelah kejadian itu akhirnya aku diluluskan. Mungkin dia takut aku akan membawa lari anaknya lagi." Malia kembali tertawa terbahak-bahak. "Waktu itu pasti semua anak perempuan di sekolah rela kamu culik." Langit tersenyum malu. "Dulu aku memang punya banyak teman perempuan. Mereka sering mengikutiku ke mana saja. Mereka bahkan sering datang ke rumah. Tapi, saat aku mulai kuliah Ibu memintaku untuk berhenti bermain-main dengan mereka. Kata Ibu, kalau aku enggak mau adik perempuanku disakiti oleh laki-laki, aku juga tidak boleh menyakiti mereka. Karena Ibu sangat percaya karma." "Kamu juga percaya?" Malia menatapnya serius. Langit mengangguk. "Itu sebabnya kamu selalu bingung mengambil sikap? Kamu takut menyakiti mereka," Malia menyimpulkan, seolah membaca pikirannya. Langit kembali mengangguk. Ditatapnya wajah Malia, disentuhnya lembut dengan tangannya. "Sulit sekali memahami perempuan. Dan kamu perempuan paling payah yang aku kenal." Malia mengangkat alisnya, menunggu penjelasan. "Payah memilih cowok!" Sahut Langit lagi, senyum jahil mengembang. Malia mengedikkan kedua bahunya, menatap Langit dengan mata geli. "Aku juga enggak ngerti kenapa aku bisa tertarik sama kamu. Mungkin... karena kita memang sama-sama payah?" Langit tertawa kencang. "Kamu jangan suka cemburuan lagi, ya?" Ucapnya dengan nada menggoda. Namun Malia tak lantas menjawab, hanya memutar mata. "Maaal...?!" Langit menatap tajam gadis itu, menuntut jawaban. "Iya... aku janji!" ucap Malia terpaksa, tapi senyumnya tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD