Langit melangkah ke teras kafe, dan napasnya tertahan. Ia tak bisa menyembunyikan wajah terkejut sekaligus kekagumannya. Teras itu telah berubah menjadi sebuah taman rooftop yang indah, asri, dan romantis. Deretan tanaman hijau rimbun dalam pot-pot besar, sofa-sofa empuk berwarna tanah yang mengundang, serta meja-meja kecil berlapis kayu jati berpadu harmonis dengan untaian lampu gantung cantik yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang di senja hari, menciptakan suasana damai yang membuat siapa pun betah berlama-lama berada di sana.
Langit memandang Bima yang tengah sibuk mengatur meja dan kursi bersama Danar. "Kapan dikerjainnya, Mas? Kok udah jadi aja?" Tanyanya, masih kebingungan.
Bima terkekeh. "Akhir pekan kemarin. Pas libur," sahutnya, melipat kedua tangan di d**a.
"Kok, lu enggak ngasih tahu gue? Tahu gitu kan, gue bisa bantuin?" Langit merasakan tak enak hati karena tidak dilibatkan.
"Udah ada Pak Tommy sama anak buahnya yang kerjain. Gue cuma datang ngawasin aja. Bagus, kan?" Bima tersenyum bangga
Langit mengangguk, mengagumi setiap detailnya. "Keren, Mas!" Sahutnya, lalu menjatuhkan diri ke salah satu sofa, merasakan keempukannya yang membuai. "Nyaman banget."
Bima tertawa kecil. "Lu bisa pacaran di sini sama Malia. Biar enggak ada yang ganggu. Kalau malam, lampunya itu romantis banget."
"Apaan sih lu, Mas!" Sungut Langit, wajahnya sedikit memerah.
"Loh, beneran kok. Ini kan, sengaja dibikin konsep romantis sama Ma—" Tiba-tiba Bima terdiam, berpura-pura terbatuk, menghindari tatapan mata Langit.
Langit menatapnya curiga. "Malia?" Tanyanya, instingnya langsung menyala.
"Maunya gue, maksudnya!" Sahut Bima, berusaha terdengar meyakinkan.
Tapi Langit tak percaya. Ia sudah yakin ini adalah ide Malia. Keyakinan itu tumbuh kuat, bahkan ia merasa Malia sudah bekerja sama dengan Mas Bima untuk menjadi investor Cafe Dewa. Dan ia percaya Malia mengubah tempat ini bukan untuk pelanggan semata, melainkan untuk dirinya sendiri, agar Malia lebih nyaman saat berada di sini. Bahkan mungkin sebentar lagi Malia akan mengadakan meeting di teras ini.
"Oh ya, Lang. Tempat ini mau dipakai meeting nanti sore. Jam empat sampai jam enam. List-nya udah gue tempel di konter," ujar Bima, lalu melangkah masuk ke dalam kafe, meninggalkan Langit dengan pemikirannya.
Langit tersenyum kecut. Benar saja dugaannya. Percuma saja ia berusaha menjaga jarak kalau pada akhirnya mereka akan sering bertemu kembali. Takdir seolah punya rencana sendiri untuk mereka.
"Hai!" Sebuah suara lembut membuat Langit menoleh. Malia sudah berdiri di hadapannya, secangkir kopi mengepul hangat di tangannya. Aroma kopi s**u samar-samar tercium. "Kamu udah sarapan?" Tanyanya seraya duduk di samping Langit, sofa empuk sedikit bergoyang.
Langit mengangguk, sorot matanya bertemu dengan Malia. "Kamu?" Tanyanya balik.
Malia menggeleng, rambutnya yang panjang tergerai ke bahu. "Belum sempat," sahutnya, menghela napas ringan.
"Mau aku ambilin roti?" Langit mencoba mencairkan kekakuan.
Malia menggeleng lagi. "Nanti aja," sahutnya, lalu memandangi sekeliling teras dengan kekaguman yang tulus di matanya.
"Kamu suka?" Tanya Langit, mencoba terdengar netral. Ia benci sekali harus berpura-pura tidak tahu apa-apa.
Malia menyesap kopinya, lalu mengangguk pelan. "Nanti sore aku ada meeting di sini," sahutnya, tatapannya beralih pada Langit.
Langit tersenyum tipis. Ya, tentu saja. Sekarang dia akan mengadakan meeting setiap hari di sini, karena ini miliknya. Sebenarnya ia ingin sekali mempertanyakan tentang renovasi itu, tentang keterlibatan Malia. Tapi ia takut dianggap terlalu ikut campur. Bagaimanapun ia hanyalah seorang pekerja yang tak punya hak untuk melarang Mas Bima melakukan apa saja yang dia mau, termasuk bekerja sama dengan Malia. Lagipula sepertinya Malia memang tak ingin ia mengetahuinya.
"Gimana liburan kamu kemarin?" Tanya Malia dengan wajah yang tiba-tiba berubah datar, suaranya sedikit lebih dingin.
Langit sejenak terdiam, mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu Mentari pasti sudah mem-posting foto-foto mereka semalam di media sosialnya, dan ia tak mau berbohong lagi. "Hmm, Mentari dan Devia ngajak aku jalan ke mal. Kita makan malam dan nonton," sahutnya kemudian, menjaga nada bicaranya tetap tenang.
"Oh!" Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Malia. Ia lalu memalingkan wajah, menatap deretan gedung di kejauhan.
Langit tahu gadis itu sedang menyembunyikan kecemburuannya. Tapi ia membiarkannya. Malia harus belajar dewasa. "Kalau kamu?" Tanyanya kemudian.
"Di rumah aja," sahut Malia, masih dengan nada datar, seolah enggan membahasnya.
Langit tak bertanya lagi. Dan keduanya lalu terdiam, hanya suara riuh kota yang terdengar samar. Malia menyapu pandang ke deretan gedung-gedung pencakar langit di hadapannya, bibirnya terkatup rapat. Dan Langit mengamatinya dari samping, menerka-nerka apa yang akan dilakukannya setelah tahu ia menghabiskan waktu malam minggunya bersama gadis lain. Kalau dia sampai berulah lagi, ia bersumpah akan meninggalkannya. Ia sudah lelah dengan semua dramanya.
"Hmm... apa kamu masih suka mengajar lukis?"
Pertanyaan itu memecah keheningan di antara mereka, sedikit mengejutkan Langit. Langit lalu mengangguk. "Hanya ke teman-teman Mentari aja," sahutnya.
"Apa aku boleh ikutan?"
Sejenak Langit terkejut. Mana bisa Malia ikutan les lukis dengan para ABG centil itu? Bisa-bisa dia membuat drama lagi di rumahnya. "Hmm, studio lukisku tuh, kecil. Sesak sama mereka. Belum lagi ributnya. Kamu pasti enggak akan betah. Mendingan aku aja yang ke rumah kamu," sahutnya, menawarkan solusi yang lebih masuk akal. Namun Malia menatapnya tak percaya, alisnya terangkat. "Terserah kalau enggak percaya," imbuhnya kemudian.
Dan Malia pun akhirnya menyerah, mungkin menyadari kebenaran ucapan Langit. "Oke! Nanti kamu kasih tahu aja kapan waktunya. Aku ke kantor dulu," sahutnya seraya menghabiskan tegukan terakhir kopinya lalu pergi meninggalkan Langit tanpa senyuman.
Bayangan Malia menghilang di balik pintu kafe, meninggalkan Langit dengan segudang pikiran.
....
Langit tertegun menatap deretan angka di layar ponselnya. Angka yang tertera membuat dahinya berkerut dalam. Dengan wajah bingung, ia lalu menghampiri Bima yang tengah sibuk di depan layar komputernya. "Mas, kayaknya lu salah transfer gaji gue." Langit menunjukkan layar ponselnya, mutasi gajinya yang baru saja masuk.
"Oh, ya! Gue lupa bilang. Mulai bulan ini gaji lu naik," sahut Bima dengan santai, tanpa mengalihkan pandangan dari monitor.
Langit mengangkat kedua alisnya, kebingungannya semakin menjadi. "Seratus persen? Ini kenaikannya dua kali lipat, Mas!" Sahutnya, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Bima mendorong kursinya ke belakang, lalu memandang Langit dengan kedua tangan terlipat di dadanya, senyum tipis di bibirnya. "Gaji lu gue naikin dua kali lipat, mestinya lu senang. Kalau kurang baru komplain," sahutnya, nadanya tegas.
"Tapi..." Langit tak jadi meneruskan kalimatnya saat melihat wajah Bima yang tak ingin dibantah. Ada sorot mata yang sulit diartikan di sana. "Makasih, Mas!" Ucapnya, lalu keluar dari dalam ruangan, masih dengan pertanyaan di benaknya.
Dan Bima pun lalu mengusap wajahnya, menghembuskan napas dengan lega. Seolah ada beban berat yang baru saja terangkat dari pundaknya.
Namun di sudut konter, Langit kembali memikirkannya. Ia semakin tak mengerti dengan Bima. Kenapa sekarang dia jadi royal sekali? Ia lalu kembali mengingat-ingat pengunjung yang datang ke kafe. Ia yakin penjualan tak meningkat banyak. Dan ia juga ingat pendapatan rata-rata kafe setiap harinya. Tak ada perubahan yang berarti. Hampir sama saja setiap bulan. Lalu Mas Bima dapat uang dari mana untuk membayar gajinya sebanyak itu? Apakah ini campur tangan Malia juga? Langit mengerutkan keningnya, semakin yakin. Tapi buat apa dia berinvestasi di kafe kecil mereka? Kalau mau, dia bisa membuat kafe sendiri di setiap mal di kota ini. Atau dia memang sengaja melakukan ini agar bisa kembali mengintervensi hidupnya? Ah! Langit meremas rambutnya dengan kesal. Malia memang selalu saja punya rencana tersembunyi.
Tepat pukul empat sore, Malia datang bersama rombongannya. Enam orang yang sama yang pernah mengikuti meeting-nya minggu lalu. Dan seorang pria muda yang belum pernah dilihatnya. Siapa dia? Kenapa mereka berdua sangat akrab? Langit mengamatinya dari kejauhan. Pria itu sangat tampan, dengan rambut gelap yang tertata rapi dan senyum menawan. Seperti seorang model. Dan penampilannya sangat rapi, dengan setelan jas yang pas di tubuhnya. Dia pasti seorang eksekutif muda, batin Langit, perasaan tidak nyaman mulai merayap.
Dibantu Danar, Langit menyiapkan seluruh pesanan kopi dan snack, lalu mengantarkannya ke teras belakang.
Tampak orang-orang itu sibuk mengambil foto masing-masing. Suara decak kagum terdengar di sana-sini. Mereka terkagum-kagum dengan teras yang berubah menjadi indah.
Langit melihat Malia berbincang akrab dengan pria itu. Keduanya saling tertawa, suara tawa Malia terdengar lebih lepas dari biasanya, dan duduk saling berdekatan. Malia bahkan membiarkan pria itu menyentuh wajahnya, mengusap lembut pipinya. Terlihat sekali jika dia menyukainya. Apakah dia kekasih barunya? Tiba-tiba saja Langit merasakan api cemburu membakar hatinya, panas dan menyakitkan.
Tak tahan berlama-lama melihatnya, Langit bergegas meninggalkan tempat itu. Namun suara Malia yang tiba-tiba memanggilnya memaksanya untuk berbalik dan menghampirinya.
"Kenalin ini Langit. Dia Barista di sini," ucap Malia pada pria itu, senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Bryan!" Pria itu menjulurkan tangannya.
Dan pria bernama Bryan itu pun menjabat tangan Langit dengan erat dan lama, tatapannya tajam dan menilai. Dia bahkan berani memandanginya dari ujung rambut sampai kaki, seolah menelanjangi dirinya. Langit menahan emosinya. Untuk apa dia memandanginya seperti itu? Mengejeknya? Mungkin Malia sudah menceritakan segala hal tentang dirinya.
"Oke, udah ya!" Malia menarik tangan Bryan, sedikit memisahkan mereka. Tapi Bryan masih terus memandangi Langit, senyum simpul di bibirnya.
Langit hampir saja tak bisa menahan emosinya lagi jika saja ia tak melihat Bima muncul dari balik pintu membawa senampan makanan kecil.
Bergegas Langit masuk ke dalam kafe. Lalu membanting nampan yang dipegangnya ke atas meja konter dengan keras. Suara dentuman itu memecah keheningan kafe. Napasnya tersengal. Dadanya turun naik menahan amarah. Tatapan Bryan padanya terasa sangat menghina. Dan bahkan Malia tak ingin melihatnya berlama-lama menjabat tangannya. Langit menghembuskan napas dengan kesal. Sudah lama sekali ia tak pernah semarah ini. Mengapa Malia melakukan ini padanya? Untuk membuatnya cemburu? Atau inikah caranya membalas dendam untuk apa yang telah dilakukannya pada Devia?
Langit meremas rambutnya, frustrasi. Rasanya ia tak akan bisa menahan diri lagi jika harus melihat mereka kembali di sana. Apa yang harus dilakukannya kini? Memandangi mereka bermesraan selama dua jam? Langit lalu melepas apronnya, melemparnya ke atas meja, dan keluar meninggalkan kafe. Ia harus menenangkan dirinya, sebelum amarah ini mengambil alih segalanya.