Dari ruang kecilnya yang terbuka, Bima mengamati Langit dengan alis bertaut. Sikap Langit pagi ini tidak seperti biasanya. Ada kegelisahan yang kentara, seolah menyembunyikan sesuatu yang membebaninya. Bima pun lalu berjalan menghampirinya, langkahnya pelan namun pasti. "Lu kenapa? Dari pagi gue liat uring-uringan terus?" Tanyanya, suaranya mengandung nada khawatir.
Langit terkejut, bahunya sedikit terlonjak, namun buru-buru ia menutupinya dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Enggak papa, Mas," jawabnya, berusaha terdengar santai.
Tapi Bima tak percaya. Ia menatap Langit lebih dekat, mencoba membaca ekspresi di balik topeng ketenangan itu. "Lu berantem lagi sama Malia?" Tanyanya lagi, langsung ke inti permasalahan.
Langit menggeleng cepat. "Enggak," sahutnya, tatapannya sedikit menghindari Bima.
"Terus kenapa kemarin sore tiba-tiba lu menghilang begitu aja? Ada apa?" Kejar Bima, nada suaranya sedikit mendesak.
"Enggak ada apa-apa, Mas! Enggak penting!" Elak Langit lagi, sedikit meninggikan suaranya.
"Enggak penting tapi lu pikirin! Enggak biasanya lu kayak gini?" Bima tak menyerah, matanya menelisik wajah Langit.
Namun Langit tetap tak ingin menjawabnya. Ia malah pamit untuk keluar makan siang, demi menghindari interogasi Bima yang terasa seperti rentetan peluru. Kenapa sekarang Mas Bima cerewet sekali? Dan selalu mau tahu urusannya, gerutunya dalam hati, sembari melangkah menjauh. Padahal saat ini ia benar-benar tak ingin diganggu oleh siapa pun. Ia sangat lelah dan mengantuk. Semalaman ia tak bisa tidur memikirkan Malia dan kekasih barunya itu, bayangan Bryan terus menari-nari di benaknya.
Sesampainya di kantin, Langit malah menyalakan rokoknya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya perlahan ke udara, matanya menerawang. Pagi ini Malia bahkan tak datang ke kafe. Dia pasti sibuk menemani laki-laki itu sejak pagi. Atau mungkin dari semalam? Langit menghembuskan asap rokoknya dengan kesal, bara rokoknya terlihat memerah.
"Mas Langit... aku boleh duduk di sini, ya?" Sebuah suara perempuan yang manis tiba-tiba saja menyapa Langit di mejanya. Ia membawa sepiring gado-gado di tangannya, aroma gurihnya menguar.
Langit mengangguk sambil tersenyum tipis, menggeser sedikit kursinya. "Silakan."
"Tumben, Mas, makan di kantin?" Tanya perempuan itu sambil menarik kursi di hadapan Langit.
Langit mematikan rokoknya di asbak. "Ah, sering, kok. Kamu kali yang jarang lihat saya? Kalau saya sih, sering lihat kamu," goda Langit, senyum iseng terlukis di bibirnya. Ia memang jarang sekali makan siang di luar. Ia lebih sering memesan delivery dan menikmatinya sendirian di teras belakang. Meski sekarang ia tak bisa benar-benar sendirian lagi sejak teras beralih fungsi menjadi pusat perhatian.
Perempuan itu mengernyitkan keningnya, sedikit bingung. "Masak, sih?" Sahutnya, tawa kecil keluar dari bibirnya.
Dan akhirnya Langit tak bisa lagi menyembunyikan kebohongannya. Ia pun lalu tertawa lepas.
"Tuh, kan... Mas Langit bohong!" Perempuan itu pun dengan gemas mencubit lengan Langit.
Namun, tanpa diketahui Langit, dari kejauhan, Malia memandanginya dengan wajah memerah menahan amarah. Rahangnya mengeras, matanya menyala. Tak lama kemudian ia berbalik pergi, bayangannya lenyap di antara keramaian kantin.
Langit cepat-cepat membereskan pekerjaannya, tangannya bergerak gesit. Ia harus segera pulang. Langit mendung sedari tadi membuatnya khawatir, guntur terdengar samar di kejauhan. Ia tak ingin menerobos hujan. Kondisinya sedang tidak fit saat ini karena kurang tidur. Ia tak mau jatuh sakit lagi. Ia ingin secepatnya tiba di rumah dan tidur sampai pagi, memeluk gulingnya erat.
Tapi tiba-tiba pintu terbuka. Malia masuk dengan wajah masam, auranya gelap. "Aku mau bicara!" Ucapnya dengan galak, suaranya tegas dan dingin.
Langit menarik napasnya, menghela dalam. Ada apa lagi ini? Kenapa dia selalu saja membuat drama saat ia akan pulang? Namun akhirnya ia mengikuti langkah gadis itu berjalan ke teras kafe. Udara di teras terasa dingin dan tegang.
Malia menghela napasnya dalam-dalam sebelum kemudian mengeluarkan kata-kata. "Aku tahu, kamu masih menganggap hubungan kita ini enggak jelas. Tapi tolong hargai aku... kalau kamu mau menggoda perempuan lain, jangan di sini! Dan jangan dengan anak buahku!" Jeritnya, suaranya meninggi, menahan gejolak emosi.
Langit menatap Malia dengan mata terbelalak. Apa lagi ini? Dicobanya mengingat-ingat kesalahannya, otaknya berputar cepat. Ya, Tuhan! Apakah perempuan di kantin itu? Gumamnya dalam hati. Apakah Malia juga berada di sana tadi siang? "Aku enggak menggoda dia. Kebetulan dia lagi cari meja untuk makan," sahutnya, mencoba tetap tenang di tengah badai amarah Malia.
Tapi seperti biasanya, Malia tak percaya begitu saja. "Dari sekian banyak meja kosong di sana dia memilih meja kamu?" Tanyanya, nada suaranya penuh keraguan.
"Ya, Tuhan, Malia! Aku enggak kenal dia. Aku bahkan enggak tahu namanya! Dan aku sama sekali enggak berniat menggodanya. Itu hanya bercanda!" Langit mulai kehilangan kesabarannya.
"Tapi kamu menanggapinya, kan?" Suara Malia sedikit gemetar.
Langit menghembuskan napasnya dengan kesal. Ia sudah terlalu lelah untuk bertengkar dengannya lagi. Ia harus segera pergi dari hadapannya. "Jangan samakan aku sama kamu!" Tukasnya seraya mengenakan jaket dan melangkah pergi, membelakangi Malia.
"Maksud kamu?" Malia beranjak mengikuti Langit, langkahnya cepat.
Tapi Langit tak mau menjawabnya lagi. Ia malah semakin mempercepat langkah dan tak mempedulikan Malia yang terus mengejarnya hingga ke area parkir. Gerimis mulai turun, membasahi aspal.
"Maksud kamu apa?" Tanya Malia dengan napas terengah, berhasil mengejar Langit di samping motornya.
Dan akhirnya Langit menyerah, berbalik menghadap Malia. "Aku bukan kamu yang gampang pindah ke lain hati," sahutnya, tatapannya tajam menusuk. Ia lalu bergegas naik ke atas motor dan menyalakannya, mesin motor meraung pelan.
Malia mengernyitkan keningnya, kebingungan melintas di wajahnya, lalu ditariknya Langit turun dari motor. "Apa maksud kamu?" Tanyanya dengan bingung, mencengkeram lengan Langit.
Langit mendekatkan wajahnya, mata melotot, menahan amarah yang membuncah. "Bryan itu pacar baru kamu, kan?!" Sahutnya lagi dengan kesal.
Dan tiba-tiba saja Malia tertawa dengan keras. Tawanya pecah, menggema di area parkir, membuat semua orang yang berada di sana sontak menoleh ke arahnya, penasaran.
Langit cepat-cepat menutup mulut Malia dengan tangannya, merasa malu. "Jangan berisik!" Omelnya.
Malia menarik tangan Langit dari mulutnya, tawanya masih tersisa di matanya. "Jadi itu yang bikin kamu bersikap aneh dari kemarin? Marah-marah enggak jelas. Terus menghilang entah ke mana? Sampai enggak mau makan? Enggak bisa tidur?" Sahutnya di tengah-tengah tawa.
Ucapan Malia membuat Langit terkejut. Dari mana dia tahu? Tapi ia lalu teringat dengan Sang Adik. Ah! Pasti Mentari. Kenapa sekarang dia ikut-ikutan jadi sekutu Malia? Gerutunya dalam hati. Pantas saja sekarang Malia tahu segala hal kecil tentangnya.
"Kamu cemburu sama Bryan?" Malia berusaha menyembunyikan sisa tawanya, pipinya sedikit memerah. Dicubitnya dengan gemas pipi Langit dengan kedua tangannya, cubitannya terasa hangat. "Aku suka kamu cemburu," ucapnya, membuat Langit bertambah kesal dan salah tingkah.
"Jadi benar?!" Langit kehilangan kesabarannya, pertanyaan itu meluncur begitu saja.
Malia menggeleng, senyumnya semakin lebar. "Dia naksirnya sama kamu!"
Langit menatap Malia dengan bingung, otaknya mencoba memproses informasi baru ini. "Maksud kamu?"
"Ya, dia sukanya sama kamu, bukan aku..." Sahut Malia lagi dengan sorot mata penuh arti, menggoda.
"Jadi, dia...?" Langit masih terbata-bata.
Malia mengangguk seraya berusaha menahan tawa melihat ekspresi terkejut dan sedikit syok di wajah Langit. "Bryan itu mantannya Kak Leon. Dia baru balik dari Amerika. Dia bawain aku oleh-oleh titipan Kak Leon."
Kini Langit menatap Malia dengan malu. Aah, Sialan! Dari semalam dia tak bisa tidur karena memikirkannya, ternyata dia gay? Gerutunya. Pantas saja cara dia memandang dan menjabat tangannya terasa aneh. Langit menggeleng-gelengkan kepalanya, senyum kecut terukir di bibirnya. "Maafin aku!" Ucapnya dengan salah tingkah.
Malia melipat kedua tangannya di d**a sambil mencebikkan bibir, ekspresi pura-pura kesal. "Padahal kamu enggak harus menyiksa diri seharian. Kamu kan, bisa langsung tanya aku? Atau Mas Bima?" Sindirnya, tatapannya penuh arti.
Langit mengangguk, mengakui kesalahannya. "Iya... Aku..."
"Sekarang kamu tahu rasanya cemburu, kan? Itu yang sering aku rasakan!" Malia menatapnya serius, namun ada kelegaan di matanya.
"Sorry..." Sesal Langit. "Kalau gitu aku pulang duluan, ya. Takut hujannya jadi deras," imbuhnya saat melihat gerimis mulai turun, bulir-bulir air membasahi rambutnya.
"Aku antar, ya?" Malia menawarkan.
Langit menggeleng. "Enggak usah!"
Tapi tiba-tiba saja Malia sudah berdiri di depan motornya, menghadapnya sambil bertolak pinggang. Tatapannya menantang.
Langit menatap Malia tak percaya. Astaga! Kenapa dia jadi kumat lagi? Gerutunya. Sambil menahan kesal akhirnya ia mematikan mesin motor lalu mengikutinya masuk ke dalam mobilnya. Pupus sudah harapannya untuk dapat memeluk gulingnya lebih cepat.
"Sampai di rumah kamu harus langsung makan. Aku udah pesenin makan malam buat kamu dan Mentari. Habis itu langsung tidur," ujar Malia sambil menutup ponselnya, mengabaikan protes di wajah Langit.
Langit menatap gadis itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dasar bossy, gerutunya dalam hati.
"Kamu mau sakit lagi?" Tanya Malia seolah tahu apa yang dipikirkan Langit, tatapannya menyelidik.
Dan Langit pun hanya bisa kembali pasrah. Ia sudah membiarkan Malia kembali masuk dalam hidupnya. Dan itu artinya ia harus menerima segala konsekuensinya. Entah kenapa semakin keras ia berusaha untuk menjauh darinya, mereka malah semakin dekat. Padahal saat bersama pun mereka lebih banyak bertengkar, bersitegang. Terkadang ia berpikir bahwa Tuhan sengaja mengirimkan Malia sebagai ujian dalam hidupnya. Mungkin Tuhan menganggap hidupnya terlalu membosankan, karena ia tak pernah sepusing ini berhadapan dengan seseorang seperti Malia. Bahkan lebih mudah baginya menghadapi musuh-musuh gank-nya dulu ketimbang menghadapinya. Tapi sekarang ia sudah terlalu lelah untuk terus menghindar. Ia akan berusaha saja untuk bersabar menghadapinya. Bukankah ia sendiri yang telah memilih takdirnya, saat ia menyelamatkannya di malam itu.