Malia mengetuk pintu ruangan itu perlahan. Ketika sahutan terdengar dari dalam, ia melangkah masuk, tatapannya langsung tertuju pada hidangan yang sudah tersaji apik di atas meja. "Kita makan siang di sini, Pah?" Tanyanya.
"Iya, di sini saja. Sekalian ada yang mau Papa bicarakan," sahut Pak Subagja, suaranya tenang tapi ada getaran lain yang tak bisa Malia tangkap.
"Tentang apa, Pah?" Malia bertanya, menarik kursi dan duduk di hadapan pria itu, firasat tak enak mulai merayapi benaknya.
"Kita makan dulu." Pak Subagja tersenyum kecil, meraih sendok.
Malia menatap sang Papa dengan curiga, mengabaikan hidangan di depannya. "Apa Papa mau memintaku untuk ikut terapi lagi?" Tanyanya, nada suaranya menipis.
Pak Subagja tersenyum tipis sambil menggeleng. "Kamu kan sudah sembuh?" sahutnya, menyendokkan nasi ke piringnya, seolah pertanyaan Malia tak berarti.
"Apa ini tentang Langit?" Malia tak bisa menahan diri, kegelisahan memuncak.
Kini Pak Subagja meletakkan kembali sendoknya di atas piring, tatapannya lurus ke Malia. Dia menggeleng pelan. "Ini tentang kamu. Kuliah kamu yang belum selesai di London."
Malia menatap Pak Subagja, bingung. "Loh, dari dulu kan, aku udah bilang enggak mau lanjutin lagi. Dan Papa kan, sudah setuju?" Suaranya naik satu oktaf.
"Iya, Papa tahu. Tapi Papa dan Mama tidak ingin kamu menyesal nantinya."
"Aku enggak akan menyesal, Pah!" Malia membantah keras.
"Tapi lebih baik kamu melanjutkannya. Dan menyelesaikannya sampai mendapat gelar Master." Nada suara Pak Subagja menjadi lebih tegas.
"Tapi buat apa, Pah? Memangnya gelar sarjana aku enggak cukup buat bekerja di perusahaan Papa?" Malia menatap tajam wajah sang Papa, matanya menyiratkan tantangan.
"Bukan begitu... Papa cuma merasa sayang dengan kuliahmu itu. Sejak dulu kan, kamu bercita-cita untuk mendapatkan gelar Master. Kamu enggak harus melanjutkannya di London. Kamu bisa ke Amerika dan tinggal bersama Kakak kamu." Pak Subagja mencoba merayu, suaranya melunak.
Malia mendorong punggungnya ke sandaran kursi, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tahu itu bukan alasan yang sebenarnya. Papa memintaku kuliah di luar negeri supaya aku bisa menjauh dari Langit, kan? Sejak Papa melihat video itu, sikap Papa jadi berubah." Malia menembak langsung, tak ada basa-basi.
"Kami cuma ingin yang terbaik buat kamu." Pak Subagja mencoba mempertahankan bentengnya.
"Bukan, Pah! Itu bukan yang terbaik buatku! Tapi buat Papa. Karena Papa malu aku berhubungan dengan mantan anak jalanan. Iya, kan?!" Suara Malia bergetar, emosinya memuncak.
Kini Pak Subagja menatap putri tercintanya itu sungguh-sungguh, raut wajahnya berubah serius. "Kamu adalah masa depan kami, Malia. Masa depan perusahaan ini. Kakekmu sudah membangun perusahaan ini dengan susah payah. Dan Papa sudah bekerja sangat keras untuk membuatnya menjadi sebesar ini. Setelah Mario tiada, cuma kamulah satu-satunya harapan kami. Sejak dulu Papa dan Mama tidak pernah melarangmu berhubungan dengan laki-laki manapun yang kamu suka. Tapi kamu juga harus ingat, jika yang membuatmu sampai depresi itu juga karena laki-laki pilihan kamu. Kami hanya tidak ingin kamu mengalami nasib serupa."
"Jadi, Papa mengira depresiku itu semata karena Demian?" Lirih Malia, suaranya bergetar menahan ledakan.
Namun Pak Subagja tak menjawab, hanya menatapnya dalam diam, tatapan matanya mengeras.
"Papa sudah melupakan kecelakaan itu?" Kedua mata Malia kini berkaca-kaca, kilatan luka masa lalu terlihat jelas.
Dan pria itu lalu menyandarkan punggungnya ke kursi sambil menghela napas dengan berat. "Tidak ada seorang pun yang tahu tentang kejadian itu..."
"Mereka tahu, Pah! Orang-orang di jalanan itu tahu!" Malia menukas, suaranya meninggi.
"Cukup, Malia! Jangan mengungkitnya lagi. Mario sudah membayarnya!!!" Suara Pak Subagja meninggi, ada keputusasaan yang kentara di sana.
Malia menatap sang Papa tak percaya. "Itu karena Papa tidak pernah berusaha untuk mencarinya... Andai saja Papa mencarinya... Dan tidak membohongi kami..." Malia membiarkan air matanya menetes, aliran kepedihan yang tak terbendung.
"Maafkan, Papa... Semua yang Papa lakukan adalah demi masa depan kalian." Suara Pak Subagja bergetar, penyesalan mulai terlihat di matanya.
Namun Malia menggeleng. "Bukan, Pah. Papa melakukannya bukan demi kami. Tapi demi nama baik Papa. Dan demi nama baik perusahaan ini," sahutnya, tatapan Malia penuh kekecewaan.
"Tidak ada satu pun orang tua yang ingin anaknya masuk penjara. Papa tidak bisa membiarkan Mario masuk penjara..." Pak Subagja menatap Malia dengan sorot mata tak berdaya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Dan Papa lebih memilih Mario menerima hukuman karma daripada di penjara. Karena karma tidak akan bicara kepada siapa pun. Orang-orang tidak akan pernah tahu. Papalah yang sudah membuat Mario mati..." Suara Malia menajam, menusuk.
Malia menahan isaknya. Ditatapnya kembali sang Papa dengan bibir bergetar. "Bukankah Papa menginginkan aku bahagia? Sejak bertemu Langit aku bahagia, Pah. Dia membuat aku hidup. Langit bukan Demian. Dia mungkin anak jalanan, tapi dia laki-laki terhormat. Dia tidak pernah menyentuhku. Dia menghormatiku seperti dia menghormati adik perempuannya. Dia menghormati Papa seperti dia menghormati Ayahnya. Dan mungkin dia orang tak mampu, tapi dia tidak pernah menjual harga dirinya. Biarkan aku terus bersamanya, Pah. Papa tidak perlu khawatir. Dia tidak akan mempermalukan Papa. Dan aku akan menjaga nama baik Papa." Malia mengusap air matanya, lalu melangkah pergi, meninggalkan sang Papa yang memandanginya dengan air mata yang sudah menetes, seolah baru tersadar akan kesalahannya.
....
Langit berdiri di depan cermin, memandangi pantulan dirinya dengan perasaan aneh. Kemeja lengan panjang putih, dasi, celana abu-abu, dan sepatu pantofel hitam mengkilap yang terasa menjepit kakinya—ia seperti melihat bayangan orang lain. Ia tidak tahu apa yang direncanakan Malia dengan memintanya berpenampilan seperti ini, tapi ia sudah berjanji untuk menuruti. Ia tidak ingin mengecewakannya, apalagi setelah Malia bersusah payah membelikan setelan pakaian dan sepatu baru. Langit menarik napas dalam, lalu melangkah menuju acara makan siang bersama seluruh karyawan Bagja Company.
Semua mata memandangi Langit saat ia membuka pintu Function Room Bagja Tower. Jantungnya berdebar kencang, ia mencoba menyapa dengan senyuman paksa. Sebenarnya ia mengenal hampir seluruh orang di ruangan itu karena mereka juga pelanggan Cafe Dewa. Tapi entah mengapa rasanya sangat berbeda saat menyapa mereka di sini. Ia merasa tak percaya diri. Apalagi saat menyadari jika sekarang mereka sudah tahu siapa dirinya: mantan ketua geng jalanan. Ah, memalukan sekali. Tapi seolah tahu kegelisahannya, Malia dengan cepat menyelamatkannya. Ia menariknya ke sebuah meja bundar yang besar. Di sana sudah ada Pak Subagja dengan dua orang lainnya.
"Langit, perkenalkan ini Pak Johan, General Manager Bagja Company. Dan Bu Shinta, Manager Operasional gedung ini," Pak Subagja memperkenalkan keduanya dengan senyuman tipis.
Langit memperkenalkan diri, bertanya-tanya dalam hati, apa maksud semua ini?
"Nanti kalau kuliah kamu sudah selesai, kamu bisa bergabung dengan beliau," imbuh Pak Subagja, membuat Langit semakin kebingungan. "Kata Malia kamu pernah kuliah di Arsitektur?" Tanyanya.
Langit mengangguk. "Iya, Pak, tapi belum selesai," sahutnya sambil melirik ke arah Malia yang tampak sengaja memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Langit.
Pak Subagja menepuk punggung Langit. "Kamu harus selesaikan kuliah secepatnya. Kalau terlalu lama ditunda nanti semakin malas. Iya, kan Pak Johan?"
Pak Johan menjawab dengan anggukan, senyum kaku.
Kini Langit mengerti semuanya. Malia sudah mengatur semuanya. Dia tahu ia tak akan berani menolak permintaan Ayahnya. Langit mencoba menenangkan hatinya yang kesal. Ditatapnya makanan di atas piringnya. Selera makannya mendadak menghilang.
Makan siang itu seperti neraka buat Langit. Apalagi saat kemudian ia diperkenalkan kepada seluruh orang yang hadir di sana. Ia merasa seperti tengah berada di dunia yang berbeda. Ia merasa asing. Ia tak terbiasa berhadapan dengan orang-orang berpenampilan rapi dan klimis yang berbicara dengan rasa segan. Tertawa dengan terpaksa, dan senyum yang dibuat-buat demi menyenangkan pemilik tempat mereka menggantungkan hidup. Ia tak bisa menjalani hidup seperti itu. Ia tak tahu caranya. Ini terlalu berlebihan baginya.
Dan saat akhirnya acara itu selesai, ia pun bergegas meninggalkan ruangan.
Namun Malia mengejarnya. "Tunggu aku!"
Langit lalu membalikkan tubuhnya. "Kalau kamu punya rencana buatku mestinya ngomong dulu!" Ucapnya dengan geram, kekesalannya meledak.
"Kalau aku kasih tahu, kamu gak bakal setuju!" Jawab Malia membela diri, nada suaranya meninggi.
"Makanya enggak usah kebanyakan rencana! Kamu selalu saja mengatur hidupku!" Langit membentak, suaranya bergetar.
"Karena aku ingin kamu lebih baik!" Malia berseru, tatapan matanya tajam.
"Baik buat kamu?!" Langit menatap dengan kesal, ada kepahitan di sana.
"Lalu? Apa itu gak baik buat kamu juga? Aku mikirin kamu. Bisa gak kamu mikirin aku? Mikirin perasaanku? Sekali aja kamu senang dengan rencanaku?" Malia bertanya balik, suaranya sarat kekecewaan, nyaris bergetar.
Langit terdiam, ia sudah tak bisa berkata-kata lagi. Ia pun kembali berbalik lalu pergi dari hadapan Malia, meninggalkan gadis itu sendirian.
Dan Malia memandangi punggung Langit dengan putus asa. Ia lelah sekali menghadapinya. Apa yang dilakukannya selalu saja salah di matanya. Andai saja Langit tahu ia tengah berusaha memperjuangkan cinta mereka, bukan hanya masa depannya.