Sesederhana Cinta Devia

1509 Words
Langit mengetuk pintu kamar Mentari. Setelah mendengar sahutan dari dalam, ia pun membukanya perlahan. "De, udah hampir dua minggu kok Devia enggak pernah ke sini lagi, ya?" Tanyanya, seraya duduk di samping sang adik yang tengah tenggelam dalam lautan novelnya. "Katanya sibuk mau skripsi," sahut Mentari tanpa menoleh, matanya terpaku pada halaman buku. "Kangeeeen, yaa?" Ledeknya, sebuah senyum jahil tersungging di bibirnya. Langit mengacak rambut sang adik dengan gemas. "Mas cuma penasaran aja. Kok, tumben banget udah lama enggak ke sini?" Kini Mentari menutup novelnya, menatap Langit dengan wajah serius yang tak biasa. "Dia juga udah enggak mau sepedaan lagi sama aku, Mas. Enggak tahu kenapa," tukasnya, nada suaranya sedikit kecewa. "Oh ya?" Langit mengernyitkan dahi. Mentari mengangguk. "Mas, sih Kak Via dicuekin teruuus. Aku kan sudah bilang, sekali-kali ajak jalan!" Sungutnya, menyalahkan Langit. Langit tersenyum, lalu kembali mengacak-acak rambut Mentari. "Sok tahu!" sahutnya. Namun kemudian hatinya bertanya-tanya. Apakah karena ia tak jadi melukisnya waktu itu? Langit kembali memandang Mentari. "De, tanyain, gih. Dia mau enggak dilukis sekarang?" Mentari kembali mengangkat wajah, memandang Langit sambil melotot. "Mas, jangan cari gara-gara lagi, deh. Nanti kalau Kak Malia tahu?" "Dia udah enggak marah, kok. Mumpung Mas ada waktu, nih! Kamu tanyain sekarang, ya?" Ujar Langit lagi, seraya berjalan keluar kamar dan masuk ke dalam studio lukisnya. Sesaat kemudian terdengar suara Mentari berbicara dengan Devia di telepon, disusul seruan girang. Tak menunggu waktu lama, gadis itu pun datang dengan wajah berseri. "Hai, Via! Udah siap dilukis?" Sapa Langit, senyum tipis terukir di bibirnya. Devia mengangguk dengan senyum malu-malu, pipinya merona tipis. Langit lalu memintanya untuk duduk di atas kursi khusus, mengatur posisinya dengan hati-hati. "Rileks saja, ya," ucapnya, mencoba menenangkan Devia yang mulai tampak gugup. Saat Langit mulai melukisnya, Devia berusaha keras untuk tidak menundukkan wajah. Berulang kali ia menarik napas dalam, mencoba menghilangkan kegugupannya yang melanda. Sesekali bola matanya berputar ke kanan dan ke kiri, berusaha menghindari tatapan Langit yang menusuk hatinya. Ia tampak tak tenang, gelisah di kursinya. "Sebentar lagi, ya?" Ujar Langit, tersenyum tipis. Ia sudah menduga Devia tak akan sanggup berlama-lama duduk di hadapannya. Tapi ia tak akan lama menahannya di sana. Ia hanya perlu sedikit saja menggambar sketsa wajahnya, lalu ia akan menyelesaikan sisanya tanpanya. Bentuk wajah Devia sangat berbeda dengan Malia. Wajahnya bulat seperti purnama, memancarkan kepolosan. Sorot matanya sangat jujur, siapa pun yang melihatnya tak akan tega menyakitinya. Dan kulitnya yang putih pucat membuat pipinya kemerahan saat ia tersipu, sebuah rona yang begitu murni. Beberapa saat kemudian, Devia akhirnya bisa bernapas lega saat Langit menyelesaikan sketsa wajahnya. Sebuah beban terangkat dari pundaknya. "Nanti kalau sudah selesai, Mas kabarin, ya?" Ucap Langit, seraya kembali menggoreskan kuas di atas kanvas, matanya fokus pada karyanya. Senyum Devia merekah lebar saat ia menatap lukisan wajahnya yang belum selesai itu, seolah melihat sebuah keajaiban. "Apa aku boleh menunggu di sini, Mas?" tanyanya, penuh harap. Langit menjawab dengan sebuah anggukan kecil. Devia lalu duduk di samping Langit, memandangi wajahnya yang fokus. Mulutnya bergerak ragu, ingin mengatakan sesuatu. "Mmm... waktu itu aku pernah melihat Mas Langit melukis perempuan... apa itu lukisan Malia?" tanyanya memberanikan diri, sebuah pertanyaan yang telah lama mengganjal. Langit terkejut mendengar pertanyaan itu. Tangannya berhenti bergerak, kuasnya menggantung di udara. Jadi itu yang membuatnya berhenti datang ke rumahnya? gumamnya dalam hati. Kini ia mengerti. Ia tak menyangka Devia akan cemburu. Langit pun lalu tersenyum, sebuah senyum yang penuh pengertian. "Iya. Dia minta dibuatkan untuk ulang tahunnya," sahutnya setengah berdusta, mencoba meringankan suasana. Devia kembali tersenyum, kali ini senyumnya lebih tulus. Ada kelegaan terpancar dari kedua matanya, seolah sebuah beban berat telah terangkat. Langit tahu, Devia pasti ingin sekali mengetahui hubungannya dengan Malia. Meski ia sendiri pun tak tahu pasti, ia berharap Devia tak perlu menunggu dan mengharapkannya. Ia percaya ada banyak laki-laki yang jauh lebih baik darinya yang akan mencintainya dengan tulus. Dan mempunyai masa depan yang jauh lebih indah darinya. Karena ia sendiri saja bahkan tak yakin dengan masa depannya. "Mas Langit..." Suara pelan Devia membuat jantung Langit berdegup kencang. Ya Tuhan! Apakah dia benar-benar akan menanyakannya sekarang? Pikirannya kalang kabut. Devia menatap Langit dengan ragu. "Kalau aku wisuda nanti... apakah Mas Langit mau menemani aku?" Tanyanya, suaranya nyaris berbisik. Langit tersenyum lega. Ia lalu mengangguk, tatapannya meyakinkan. "Terima kasih, Mas!" Devia berseru riang. "Nanti saja terima kasihnya. Kan, wisudanya belum?" Ucap Langit, membuat Devia akhirnya tertawa lepas, suara tawanya renyah. Sesaat Langit tertegun. Ia baru menyadari jika ia tak pernah melihat gadis itu tertawa selepas itu. "Mas! Nanti sore ikut kita, yuk?" Tiba-tiba suara nyaring Mentari di ambang pintu mengagetkan Langit dan Devia. "Aku sama Kak Via mau nonton film horor di bioskop nanti sore!" Serunya, penuh semangat. Langit mengangkat wajahnya lalu menggeleng. Ia tidak terlalu suka film horor. "Ayo, lah, Mas. Mas kan, sudah lama enggak pernah ngajak aku nonton lagi," rayu Mentari, bibirnya mengerucut. Tapi Langit tetap tak menanggapinya. Ia masih sibuk menggoreskan kuas lukisnya di atas kanvas, dunia lain yang lebih ia nikmati. "Maaaas!!" Kini Mentari memeluk punggung Langit. "Katanya mau ngajak Kak Via jalan-jalan?" "Hah!!" Seketika Langit menatap Mentari dengan mata melotot, nyaris mengomelinya. Namun kemudian, dilihatnya wajah Devia yang tersipu, malu-malu. Ah! Kan, jadi salah sangka. Dasar tukang fitnah! Rutuknya dalam hati. Dan akhirnya, dengan terpaksa, Langit pun mengangguk. Mentari pun berseru sambil melompat-lompat kecil, kegirangan. .... Langit tertegun memandangi Devia yang berdiri di hadapannya. Dengan baju terusan selutut berwarna pink pastel dan riasan wajah yang tipis, ia terlihat manis sekali. Sebuah kecantikan yang sederhana namun memikat. "Cieeee. Terpesonaaa!" Suara nyaring Mentari menyadarkan Langit dari lamunannya. "Berisik!" serunya sambil mencubit gemas pipi sang adik. "Tuh, taksinya udah datang! Ayo cepetan berangkat!" Ucapnya lagi saat melihat sebuah mobil hitam berhenti di depan pagar rumah. Di dalam mobil, dari cermin kecil di atasnya, Langit mencuri pandang ke arah Devia yang duduk di kursi belakang. Dilihatnya wajah gadis itu yang tak berhenti tersenyum, seperti gadis kecil yang sedang diajak berjalan-jalan. Ah! Mudah sekali membuatnya bahagia. Devia memang gadis yang sederhana. Dia sangat berbeda dari Malia. Devia tak pernah membuatnya kesal apalagi sampai meneteskan air mata. Ia tidak menyangkal bahwa ia menyukainya. Tapi rasa suka yang berbeda dengan yang ia rasakan pada Malia. Memang Malia selalu saja membuatnya jengkel. Tapi terkadang dia membuat hatinya bergetar. Dan terkadang dia juga membuatnya tak bisa tidur karena memikirkannya. Langit tersenyum. Sedang apa dia sekarang? Gumamnya, pikiran Malia tiba-tiba menyusup masuk. "Maas!" Suara Mentari membuat Langit menoleh. Ternyata mereka sudah sampai di depan lobi Mal. "Mas Langit sukanya nonton film apa?" Tanya Devia sesaat mereka masuk ke dalam gedung bioskop, matanya berbinar penasaran. "Apa aja yang kamu suka," sahut Langit, sebuah jawaban yang membuat Devia tersipu malu. "Mas Langit itu sukanya nonton film action. Karena dia suka beran..." Langit buru-buru menutup mulut Mentari dengan tangan sebelum sempat menyelesaikan ucapannya. Ditatapnya wajah sang adik sambil melotot, sebuah peringatan keras. Dan Devia pun tertawa melihatnya. Sepanjang film diputar, Mentari dan penonton lain di dalam gedung bioskop itu tak berhenti berteriak. Membuat Langit harus berulang kali menutup telinga dengan kedua tangannya. Ia heran dengan Mentari. Adiknya itu sangat penakut, tapi mengapa suka sekali menonton film horor? Sungguh ia gagal paham. Dan baru saja Langit akan menutup telinganya kembali, tiba-tiba Devia memegangi tangannya dengan kuat. Wajahnya menatap layar di hadapannya dengan ketakutan yang nyata. Dan Langit membiarkannya. Ia tak ingin membuatnya malu. Tapi saat tangan itu semakin kuat mencengkeramnya, akhirnya ia meringis kesakitan. "Maaf!" Devia mengangkat tangannya dengan wajah terkejut bercampur malu, segera melepaskan genggamannya. Langit tersenyum. "Enggak apa-apa. Mas cuma pura-pura aja, tadi," sahutnya, mencoba menenangkan. Ditariknya kembali tangan Devia, lalu digenggamnya. "Biar kamu enggak takut lagi!" Ucapnya, membuat Devia memandangnya dengan senyum yang tak lagi malu-malu, sebuah senyum yang kini terpancar jelas. Setelah menonton, Langit mengajak Mentari dan Devia menikmati makan malam di restoran favorit Mentari. Ia ingin membahagiakan adik semata wayangnya itu. Sudah lama sekali ia tak pernah mengajaknya jalan dan makan bersama. Sekaligus ini adalah waktu yang tepat untuk membalas kebaikan Devia. Sebuah rasa terima kasih yang tulus. Hampir tengah malam saat taksi yang mengantarkan mereka pulang tiba di depan rumah. Tapi Langit tak lantas masuk. Ia mengantarkan Devia pulang dengan berjalan kaki, memastikan gadis itu aman. "Aku berani kok, Mas, pulang sendiri. Kan, dekat," ucap Devia, merasa tak enak hati. "Jangan, dong! Ini udah tengah malam. Nanti kalau kenapa-napa?" sahut Langit, nada suaranya tegas. "Terima kasih, Mas! Jadi ngerepotin," ucap Devia. Langit menggeleng. "Sama sekali enggak repot." "Terima kasih juga atas makan malam dan nontonnya," imbuh Devia lagi, matanya berbinar. "Ini enggak seberapa dibandingkan kebaikan kamu sama Mas dan Mentari. Mas berutang banyak sama kamu dan keluarga kamu. Apalagi waktu Mas sakit kemarin," ucap Langit, tulus dari hati. "Ah, tetangga kan, harus saling menolong, Mas," sahut Devia, kini ia berani menatap Langit, senyumnya lembut. "Udah sampai. Mas tunggu sampai kamu masuk." Namun sebelum melangkah masuk ke dalam rumah, Devia kembali menatap Langit. "Aku senang malam ini kita bisa pergi bersama," ucapnya dengan mata berbinar penuh kebahagiaan. "Mas juga!" Sahut Langit, senyumnya mengembang. Dan gadis itu pun lalu melangkah masuk. Namun dari tirai jendela yang sedikit terbuka, ia memandangi punggung Langit yang berlalu pergi, hingga perlahan menghilang dalam gelapnya malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD