Part 2 : Harus Apa?

959 Words
Damian merapihkan kembali celananya, setiap peluh yang menetes di dahi dan hampir seluruh tubuhnya menggambarkan betapa puasnya ia menggagahi seorang anak SMA yang selama ini mengejar cintanya, dan kini terbujur lemah tak berdaya di sofa panjang yang menjadi saksi perbuatan bejatnya. Namun setitik pun, Damian tidak merasa bersalah. Yang ada hanya rasa puas! Puas karena telah memberi pelajaran pada anak kemarin sore yang berani-beraninya menaruh obat perangsang di makanannya. "Bangun!" seru Damian kasar, gadis, tunggu! Masih pantaskah ia disebut gadis? Mulan yang nampak terkulai lemas itu pun membuka kedua kelopak matanya perlahan, ia meringis merasakan rasa nyeri luar biasa di darah intimnya yang mengeluarkan darah bercampur cairan kental. "Pulang lah!" Ucap Damian dingin tanpa menatap Mulan yang masih nampak menyesuaikan diri dengan rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya. Rasanya Mulan ingin mati saja, ia merasa sakit! Sakit yang merambah di sekujur raganya, belum lagi dengan sakit di hatinya, ucapan-ucapan kotor dan menyakitkan Damian menggema ditelinganya sejak tadi, seolah tak ingin pergi. Ia tau dirinya salah, tapi bukankah tadi ia sudah memohon agar Damian tidak macam-macam? Namun nampaknya Tuhan sedang memberinya pelajaran hingga ia harus melalui semua ini. "Cepat pakai bajumu! Dan segera pergi! 15 menit lagi calon istriku datang." Titah Damian dengan dingin, tegas dan angkuh, tanpa  ada niatan sedikitpun untuk menaruh rasa kasihan pada Mulan. Hati Mulan mencelos, Tidak kah Damian merasa sedikit iba dengan dirinya, bahkan rasanya terlalu sakit untuk bergeser se senti pun. Tak terasa air mata Mulan merembes. "Sakit kak." lirih Mulan mengiba, dengan suara serak dan tenggorokan yang terasa kering. Ia berharap sedikit belas kasihan dari Damie untuk sekedar membantunya. Ia bersumpah tak akan meminta Damie bertanggung jawab atas semua yang telah terjadi, karena ia akui ia yang salah Damie mendengus kecil, "Kamu yang memberiku obat perangsang. Jadi aku anggap kamu paham dan siap dengan segala konsekuensinya." ucap Damie dingin. Lelaki itu nampak merogoh saku celananya. Mulan terlonjak kaget saat Damie melempar dua lembar uang seratus ribu di wajahnya. "Itu bayaran untuk cup cakes mu! Aku harap ini yang terakhir kamu datang kemari." Damie segera keluar dari ruangannya, meninggalkan Mulan yang masih nampak mengenaskan. Tiba-tiba langkah Damian terhenti kala lelaki itu berada diambang pintu “Bereskan semua kekacauan ini, jangan tinggalkan jejak sedikitpu. Aku tidak mau Aisyah tau.” Final Damian sebelum lelaki itu benar-benar pergi. Tangis Mulan pecah seketika, Bodoh! Ia memukuli kepalanya berulang kali, berharap semua ini hanya mimpi! Namun sayangnya ini nyata! Sangat nyata! Menyesal! Hanya itu yang Mulan rasakan. Ia menyesali tindakan bodohnya dengan mencampur obat sialan itu! Menyesal karena terbuai dengan cara bodoh yang diajarkan temannya. Hancur sudah semuanya! Dan ia hanya bisa menangisi semuanya! Menangisi kebodohannya! Menangisi nasib buruk yang ia bawa sendiri kedalam hidupnya! Semoga saja tak ada hal buruk yang menanti dirinya setelah ini, ia ingin menutup rapat-rapat semua kenangan buruknya bersama Damian. Ia cukupkan cintanya disini. Dengan langkah tertatih Mulan keluar dari ruang kerja Damie, lantai teratas gedung ini nampak kosong. Tak ada satupun orang yang ia lihat. Dengan langkah terseok, Mulan masuk ke dalam lift. Ia tak akan lagi menginjakan kakinya kemari! Ia bersumpah untuk itu! 1 Bulan Kemudian. Langit sore menampakan indah jingganya, burung-burung nampak berterbangan pulang ke sarangnya dengan kicauan bahagia. Nampaknya alam sedang sangat bahagi, berbanding terbalik dengan seorang wanita muda yang nampak lusuh, dengan kantung mata yabg begitu kentara, mata sayu, dan bibir yang nampak pucat. Hari ini tepat sebulan sudah kejadian naas itu berlalu, hari-hari kemarin yang Mulan jalani dengan berpura-pura baik-baik saja dan tersenyum seolah tak ada beban nampaknya tak berlaku untuk saat ini. Tiga hari yang lalu, Mulan dengan tangannya sendiri menerima undangan pernikahan Damie dan Aisyah yang akan diselenggarakan 2 hari lagi. Mendengar hal itu seoalah ada ribuan ton baja yang menghimpit dadanya, entahalah, padahal ia berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan Damie dan segala kenangan buruk yang ia alami. Namun nyatanya hal itu sangat sulit dilakukan. "Lan, gue anter ke dokter ya? Komuk lu pucet banget." Mulan menggeleng, menolak tawaran sahabatnya yang kini nampak gusar duduk di depannya. Arinda menajamkan tatapannya "Lu nggak stes gara-gara Kak Damie mau kewong kan?" Mulan diam. Arinda mengehela nafasnya kasar sambil memutar bola matanya malas, semua laki-laki disekolah mereka begitu menggilai Mulan, namun kenapa justru gadis itu seolah menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mengejar cinta Damian yang jelas-jelas tak akan ia dapatkan? Ia bodoh atau bagaimana sih? "Lan! Dengerin gue! Move on! Ikhasin Kak Damie, Gue yakin kelak lu bakal dapetin laki-laki yang lebih baik buat lu daripada Kak Damei.. Lu cantik, lu sukses, lu pinter. Gue yakin dan gue tau diluaran sana banyak laki-lak-- "Gue hamil" Potong Mulan cepat, ia terlalu lelah fisik dan lelah hati untuk mendengar omelan sahabatnya. Arinda terlonjak kaget. "Gimana bisa?!!" Mulan diam "Siapa yang hamilin elu??!! Siapa?!!" Arinda mencengkram kuat bahu Mulan, sorot matanya nampak syok dan terluka. "Kak Damie." Sedetik kemudian Arinda tertawa terbahak-bahak, "Halu mbak???" "Haduhh haduhh.. Ada-ada aja lu! Gimana ceritanya?? Pliss dah lan, patah hati boleh, bego jangan!" ucap Arinda terkekeh. Mulan berusaha menahan tangisnya, apakah ia terlihat seperti bercanda? Apakah Arinda buta? Hingga tak dapat melihat betapa kacaunya Mulan? Wanita itu nampak berdiri dari sofa lembut kebesarannya dan meraih satu kotak sepatu di etalase kamarnya dan menumpahkan semua isinya di hadapan sahabatnya yang masih asyik tertawa. Belasan merk test pack dan lima amolop coklat berlogo rumah sakit itu nampaknya ampuh membungkam tawa Arinda, dengan teliti gadis itu mengambil kelima amplop itu dan membacanya. Tangan lentik Arinda meremas kuat kelima kertas amplop itu. Gadis itu seolah kehilangan kata-kata. Arinda tau betul bagaimana sikap dan watak sahabatnya, Mulan adalah gadis baik, dan jujur. Mana mungkin Mulan berbohong dengan masalah sebesar ini? "Terserah lu mau ngatain gue pelakor, murahan atau jalang sekalipun! Gue nggak peduli! Lu tenang aja, gue nggak akan ngerusak kebahagiaan kakak lu dan kak Aisyah. Ini semua salah gue! Gue memang pantes nerima semua ini!" Tangsi Mulan pecah, ia bersimpuh di hadapan Arinda. Arinda diam membisu, ia masih tak tau reaksi apa yang harus ia keluarkan. Kedua gadis itu sama-sama diam, Arinda sibuk dengan pemikirannya sedangkan Mulan sibuk menghentikan laju airmatanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD