Chapter 6

1549 Words
Satu tahun berlalu dan aku benar-benar memegang kata-kataku. Aku tak pernah lagi menghubungi atau mengikuti Mike secara diam-diam ataupun terang-terangan. Sesekali kami bertemu di mansion saat dia pulang dan aku hanya mencoba untuk bersikap biasa saja. Mike juga tampak biasa saja, seperti sebelumnya, sangat cuek. Hari ini kami makan malam sekeluarga. Kak Tian datang dari Singapura, Gio juga sudah pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya. Kami makan malam di sebuah restoran mewah. Kami berkumpul karena besok aku akan diwisuda. Semua orang membawa hadiah, kecuali Mike. Yah, aku juga tak berharap banyak. Papa sampai menceramahinya karena tak membawa apapun untukku. Karena itu Mike menarik sebuah kartu dari dompetnya.  “Aku tak sempat membeli hadiah. Pilih hadiahmu sendiri, dan kamu boleh memakai kartu itu selamanya. Pinnya ulang tahun…” Mike sedikit menjeda ucapannya. Entah kenapa pikiran gilaku mulai berharap jika pinnya adalah tanggal ulang tahunku.  “Pinnya ulang tahun pernikahan Papa dan Mama.”  Aku menelan ludah, astaga kenapa aku sejauh ini berharap. Bukankah aku sudah meyakinkan diri untuk melupakannya. Setahun belakangan ini aku juga sengaja menyibukkan diri agar tak terus-terusan mengharapkannya. Namun, kali ini aku kembali berharap dengan begitu bodohnya. Kuraih kartu pemberiannya dan memasukkannya ke dalam tasku. Makan malam berlangsung dengan suasana yang menyenangkan, kecuali satu orang itu. Kecuali si b******k Mike yang rasanya sengaja memisahkan diri dan memasang benteng pemisah dengan kami. Setelah wisuda, aku melanjutkan kuliah S2 di jurusan yang sama, yah masih hukum. Aku makin ngebet untuk menjadi hakim. Menurutku aku akan tampil cantik dengan jubah hakim. Ah, akan kubuat si b******k Mike jatuh cinta kepadaku dalam balutan jubah kebesaranku. Sial, kenapa aku menggila lagi sih. Sadarlah, sadarlah Tiara. Di suatu malam tanpa sengaja aku bertemu dengan Mike di sebuah restoran. Aku makan malam dengan seorang pria yang diperkenalkan oleh seorang temanku. Pria itu adalah seorang pengacara yang telah bekerja cukup lama di sebuah firma hukum. Usianya sudah sangat matang, pekerjaannya mapan. Kalau tidak salah, waktu itu usianya sudah 30 tahun sementara aku berusia 23 tahun. Benar-benar tanpa sengaja, entah kenapa aku dipertemukan lagi dengan Mike setelah sekian lama tak bertemu dengannya. Terakhir aku bertemu dengannya mungkin 3 bulan yang lalu saat ia berkunjung di mansion. Mike sepertinya makan malam untuk urusan bisnis karena aku melihatnya bersama asistennya. Yah, aku cukup mengetahui orang-orang di sekitarnya saat dulu aku sibuk menguntitnya. Mike terlihat biasa saja saat melihatku, karena itu aku juga mencoba bersikap biasa saja. Pria di hadapanku, kuakui dia tampan. Namun, sayang sekali mataku tak bisa berbohong jika pria yang duduk di sudut restoran itu lebih menarik, lebih hot. Siapa lagi kalau bukan si b******k Mike. Hati kecilku berharap dia membuat keributan karena cemburu. Namun, tak terjadi apapun hingga aku tiba di mansion. Aku diantar pulang oleh pria yang baru kukenal sementara Mike entahlah dia kemana. Sepanjang malam aku merenung, kenapa perasaanku tak pernah bisa meninggalkan pria b******k itu. Sebenarnya apa yang kuharapkan darinya, dia jelas-jelas mengabaikanku. Keesokan harinya aku masuk kuliah dan digoda habis-habisan oleh teman sekelasku karena habis berkencan dengan pengacara muda itu. Ponselku tiba-tiba berbunyi dan aku mengernyit heran dengan nama yang muncul di layar ponselku. Mike meneleponku, kesambet setan apa dia atau ada badai apa yang terjadi sampai dia menghubungiku. Tanganku gemetaran mengusap layar ponselku untuk menjawab panggilannya.  “Iya” Suaraku sedikit bergetar.  Jampi-jampi macam apa sebenarnya yang dipakai Mike sampai aku sebegini gilanya.  “Di kampus, eh…jam 12. Iya. Huh?…oh oke.”  Sambungan telepon terputus. Sepertinya Mike kesambet setan deh, kenapa tiba-tiba dia mengatakan akan menjemputku. “Siapa?” tanya seorang teman sekelasku saat melihatku pucat.  Aku menelan ludah dengan kasar, bencana apa yang menanti di hadapanku. Sungguh, aku takut sekali. Aku tak bisa memprediksi apa maksud dan tujuannya menjemputku. Seingatku tidak ada masalah di mansion. Perusahaannya juga baik-baik saja. Jam 11.50 siang, aku sudah gelisah. Jari-jariku saling bertautan. Kuliah yang disampaikan oleh dosenku sama sekali tak masuk di otakku. Aku tak bisa tenang, juga tak bisa fokus. Aku menunggu dengan perasaan aneh di parkiran kampus. Sebuah mobil mewah yang begitu kukenali memasuki area parkiran. Aku menghembuskan nafas perlahan agar lebih tenang. Mike menurunkan kaca mobilnya, dari arah matanya aku mengerti jika dia menyuruhku masuk. Aku tak perlu berharap jika Mike akan turun dari mobilnya lalu membuka pintu untukku. Tidak, Mike masih waras. Aku masuk dan duduk di sampingnya. Mobil melaju dengan kencang, sepanjang jalan Mike hanya diam. Entah kemana ia membawaku sekarang ini. Ini bukan arah ke apartemennya, juga bukan arah ke mansion. Tunggu, apa dia akan membawaku ke hotel. Pikiran gila macam apa lagi ini. Aku masih berperang dengan pikiran gilaku saat tiba-tiba mobil Mike berhenti di depan sebuah restoran. Sepertinya aku akan ditraktir makan siang. Tapi, ada angin apa. Apa Mike benar-benar kesambet setan penunggu kantornya. Mungkin saja. Aku turun dari mobil setelah melihat Mike turun. Aku mengikut seperti anak ayam di belakangnya. Mike masuk ke sebuah private room dan aku ikut masuk. Tiba-tiba tanganku tertarik dan aku dipojokkan ke dinding. Hal yang terjadi selanjutnya adalah bibir Mike menempel di bibirku. Kegilaan macam apa ini. Mike melumat bibirku dengan ganas, lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku. Aku hanya diam, tak tahu cara membalasnya. Lebih tepatnya, aku masih shock. Karena tak mendapatkan balasan dariku, Mike melepas ciumannya.  “Balas aku” ucapnya dengan nada kesal.  “A…kuu… gak tau cara…nya.”  Mike menyeringai lalu kembali melumat bibirku. Hanya lumatan bukan seperti ciuman ganasnya sebelumnya. Mike menyesap lembut bibirku hingga aksi kami terhenti oleh ketukan di pintu. Mike melepaskanku dan mempersilahkan sang pengetuk pintu untuk masuk. Aku merapikan rambutku lalu duduk di kursi sambil menetralkan detak jantungku. Pelayan masuk dan mencatat pesanan kami, lebih tepatnya pesanan Mike. Aku bahkan tak bisa bicara dengan benar karena masih shock. “Putuskan pacarmu.”  Aku mendongak tak mengerti ucapannya.  “Pacar?” Aku membeo.  “Pria yang semalam, jika dia pacarmu, putuskan. Aku tidak suka.”  Deg…deg…deg…jantungku kembali menggila. Mike mendekatiku, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.  “Apa pacarmu tak pernah mengajarimu caranya berciuman?” Aku menggeleng perlahan.  “Pria itu bukan pacarku.”  Mike menyeringai lebar.  “Kemarilah” ucap Mike setelah ia kembali ke kursinya.  Mike menepuk-nepuk pahanya. Karena aku terlalu lamban, Mike menarikku hingga aku jatuh di pangkuannya. Tangannya bergerak perlahan melingkari pinggangku. “Mau berpacaran denganku?”  Glek, apa aku bermimpi.  “Ke…napa?” tanyaku terbata-bata.  Mike sedikit tertawa.  “Karena aku mencintaimu, puas?”  Wow, mimpi apa aku semalam. Aku menelan ludahku dengan susah payah.  “Jadi apa jawabanmu huh?”  Aku mengangguk dengan semangat. Aku mengangguk berkali-kali seperti orang bodoh. “Tapi, kau harus menurut padaku.”  Aku kembali mengangguk. Benar-benar bodoh aku waktu itu, aku mengiyakannya begitu saja.  “Sekarang aku akan mengajarimu caranya berciuman.”  Mataku membulat.  “Kau hanya perlu mengikuti gerakanku, mengerti?”  Aku lagi-lagi mengangguk dan pembelajaran dimulai. Cukup lama kami saling berciuman dengan posisi aku duduk di atas paha Mike. Tangannya menahan tengkukku dan aku mengikuti gerakannya seperti yang ia katakan tadi. Sesekali Mike melepaskan ciumannya untuk membiarkanku mengambil nafas. Ciumannya sangat lembut hingga membuat seluruh tubuhku meremang. Aku merinding. Ciuman kami terhenti saat pintu lagi-lagi terketuk. Pelayan membawa makanan pesanan kami. Kami makan dalam diam dan begitu canggung. Aku berkali-kali meliriknya sementara Mike makan dengan santainya. Kupikir dia setidaknya akan menyuapiku seperti adegan-adegan romantis di film. Nyatanya tidak. Usai makan siang dalam diam, Mike membawaku ke apartemennya. Sejak aku memasuki lift, kegugupanku semakin tak terkendali. Apa yang akan kami lakukan di dalam, apa dia akan melakukan itu lagi? Atau kami hanya… entahlah. Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri saat tangan Mike menarikku keluar dari lift. Tangannya tidak melepaskanku hingga kami masuk ke apartemennya. Oke, apa aku harus menolak jika dia memintanya. Atau haruskah kulakukan saja, toh kami juga sudah pernah. Tapi bagaimana jika dia membuatku kesakitan lagi seperti dulu.  “Mau mandi dulu?”  Aku menelan ludahku mendengar nada suaranya yang begitu lembut. “Apa aku harus mandi?” tanyaku dengan polos. “Aku tidak memiliki baju ganti.”  Aku menautkan jari-jariku untuk mengusir rasa gugupku. Mike mendekatiku, jarak kami sangat dekat.  “Aku membawamu kesini bukan untuk berganti baju.”  Oke, aku mulai mengerti. Aku mengangguk dan masuk ke kamar mandi. Setiap bulir air yang mengenai tubuhku membuat jantungku semakin berdetak kencang. Aku merasa seperti pengantin baru yang akan melakukan malam pertama dengan suaminya. Malam pertama apaan, Mike sudah dua kali meniduriku. Bahkan dia melakukannya seenaknya, tanpa permisi, tanpa mengucapkan maaf, juga tidak berterima kasih setelah dia puas. Aku keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe kebesaran milik Mike. Mike sedang duduk di sofa dengan kemeja tergulung dan dua kancing kemejanya sudah terbuka. Sexy dan hot, membuat otakku makin tak waras. Mike langsung menggendongku ke tempat tidur, aku sampai senyam-senyum karena malu saat Mike menarik bathrobeku dan menjatuhkannya ke lantai. Tak perlu ditanya apa yang Mike lakukan, yah Mike kembali mencari kepuasannya di tubuhku. Kali ini Mike cukup berbeda, jika saat pertama kali Mike melakukannya dengan lembut, kedua kalinya Mike melakukannya dengan brutal dan dengan durasi yang lama karena sedang marah besar. Sementara kali ini Mike melakukannya dengan tidak begitu lembut tapi juga tidak kasar. Mike terkesan terburu-buru dengan gerakannya kali ini. Setelah Mike puas dan menyemprotkan spermanya ke dalam rahimku, Mike bangkit ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak begitu lama, Mike keluar dengan celana boxer dan bertelanjang d**a. Arah pandanganku terus mengikuti pergerakannya.  “Apa kau mau terus disitu?” tanya Mike saat ia mengancing kemejanya. "Aku akan ke California untuk urusan bisnis.”  Aku langsung duduk seketika.  “Sekarang?”  Mike menggeleng. “Pesawatku berangkat nanti malam.”  Mike kini memasang dasinya lalu memasang jasnya.  “Oh ya mulai sekarang minumlah pil KB.”  Aku hanya mengangguk tanda mengerti.  “Mau pergi sekarang?” tanyaku dan langsung diangguki oleh Mike. "Tidak mengantarku pulang?”  Aku menarik selimut dan bangkit mengikutinya.  “Aku memiliki banyak pekerjaan di kantor.”  Aku mengangguk kecewa.  “Mike” panggilku lagi sebelum Mike keluar dari apartemen.  Mike berbalik menatapku.  “Ah, lupakan saja. Pergilah”  Aku berbalik masuk ke dalam kamar. “Aku akan menghubungimu saat aku kembali” ucap Mike lalu keluar dari apartemen.  Apa-apaan ini, setelah dia puas dia pergi begitu saja. Kurang ajar sekali b******k ini, tapi aku masih mencintainya. Yah, Mike mungkin benar-benar sibuk. Baiklah, sebagai pacar yang baik aku akan mendukung pekerjaan kekasihku. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD