Bab. 68

1767 Words
        Aku membuka pintu rumah ku. Tumben sekali tidak terkunci, berarti di dalam ada ayah. Aku pun masuk ke dalam rumah dengan menjinjing sepatu sekolah ku. Namun, di dalam rumah sangat sepi. Sepertinya ayah sedang tidur di dalam kamar. Aku pun bergegas masuk ke dalam kamar ku dan mengunci pintu kamar ku. Aku menaruh tas sekolah ku di dekat meja belajar. Karena, siang ini cuaca sangat panas dan tubuhku juga sudah sangat lengket, jadi aku memutuskan untuk mandi di terlebih dahulu sebelum aku kembali belajar untuk mempersiapkan ujian masuk ke perguruan tinggi negeri, walaupun nantinya Aku pun tidak tahu apakah aku akan melanjutkan pendidikanku atau tidak.         Aku mengambil handuk yang tergantung di pintu kamarku, tak lupa aku pun mengambil baju rumahan ku. Lalu aku pun langsung saja bergegas keluar menuju ke kamar mandi. Namun, ketika aku membuka pintu kamarku, tepat nya di samping kamarku, tepatnya kamar ibu, pintunya tiba-tiba saja terbuka dan menampilkan sosok Ayah dengan wajahnya yang sangat khas habis bangun tidur dan dan hanya menggunakan celana training tanpa baju atasan. Ayah menatapku dengan sebelah alisnya yang terangkat.          "Sejak kapan kau pulang?" tanya ayah.          "Barusan saja, dan ayah tumben sekali ada di rumah jam segini, biasanya ayah pergi keluar kan, apa ayah tidak ada pekerjaan?" tanya ku kepadanya. Namun, ayah bukannya menjawab pertanyaanku, melainkan ia melangkah pergi meninggalkanku. Aku yang tidak ingin ambil pusing, lantas aku kembali melanjutkan langkahku menuju kamar mandi untuk segera membersihkan tubuhku yang lengket ini karena keringat. ---         Saat ini Duma sedang berada di dalam kamarnya dengan posisinya yang sedang berbaring menyandarkan tubuhnya di sandaran kasurnya itu dan memikirkan kejadian tadi di sekolah.          Hari ini di sekolah, Duma memang menjauhi Aruna, sahabat dekatnya itu. Bukan tanpa alasan Duma menjauhi Aruna. Alasan Duma menjauhi Aruna yaitu, karena Duma diberitahu oleh teman kelasnya tentang keluarga Aruna yang memang sangat berantakan. Duma mengetahui pekerjaan ayah Aruna. Saat itu, Duma datang ke sekolah dan di kelasnya pun hanya baru beberapa orang saja yang datang. Ketika Duma duduk bangku nya, ada dua orang siswi, teman kelasnya menghampiri Duma. Kemudian dua orang siswi itu menanyakan, "kenapa Duma berteman dekat dengan Aruna, Apa kau tidak tahu tentang keluarga Aruna itu?"          Karena, memang Duma tidak tahu apa-apa tentang keluarga Aruna, dan Duma pun hanya mengetahui Ibu Aruna saja yang memang berteman dekat dengan ibu Duma sendiri. Akhirnya Duma pun menanyakan tentang keluarga Aruna untuk pertama kalinya dengan teman sekelasnya itu. Kemudian dua orang siswi itupun menceritakan kan tentang keluarga Aruna kepada Duma. Duma yang mendengarkan cerita keluarga Aruna dari dua orang siswi itu pun sangat terkejut mendengarnya. Apalagi ketika domba mendengarkan kan tentang ayah Aruna. Duma pikir Aruna ini berasal dari keluarga yang baik-baik, namun tidak. Duma baru mengetahui bahwa ayah Aruna itu seorang penjudi dan suka mabuk-mabukan. Sebab itulah Duma mencoba untuk menjauhi Aruna. Dan dan dua orang siswi itu pun sempat bertanya dengan Duma, "Apa kau tidak berpikir jika Aruna hanya memanfaatkan uang kau saja selama berteman dengannya?"          Pertanyaan itulah yang selalu ada di pikiran Duma sampai saat ini. "Apa benar Aruna berteman dengannya itu hanya memanfaatkan uang nya saja?" Itulah yang sekarang yang Duma pikirkan. Akhirnya Duma pun mencoba untuk menjaga jarak dengan Aruna. Awalnya Duma juga sedikit sulit untuk menjaga jarak dengan Aruna, karena memang selama di sekolah dan di luar sekolah, Duma berteman hanya dengan Aruna saja.         Tapi, rasanya aneh sekali, entah kenapa Duma pun merasa bersalah karena menjauhi Aruna hari ini di sekolah. Kemudian, Duma mengubah posisinya menjadi tiduran dengan meletakkan kepalanya di atas bantal tidurnya itu. Rumah memiringkan badannya ke kanan, lalu ke kiri lagi. Duma tidak tenang.          Duma berpikir, "Apa aku harus minta maaf saja dengan Aruna sekarang, tentang sikap ku tadi di sekolah?" tanya Duma kepada dirinya sendiri.          Cukup lama Duma berpikir, dan akhirnya Duma memutuskan untuk menelepon Aruna dengan tujuan untuk meminta maaf atas sikapnya tadi di sekolah yang mencoba menjauhi Aruna. Duma pun beranjak dari tempat tidurnya, berjalan menuju ponselnya yang sedang di charger di dekat meja belajarnya itu. Duma menarik kursi belajarnya. Kemudian, ia pun mengusap layar kunci ponselnya agar terbuka dan segera mencari kontak Aruna untuk segera ia hubungi. --- Aruna          Ketika aku sudah mengganti baju aku dengan pakaian rumah ku, aku pun langsung saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang ku lilitkan di atas kepalaku. Aku pun berjalan untuk menuju kamar ku, namun tiba-tiba saja Ayah memanggil nama ku, "Aruna, tolong bawakan kopi hitam untuk saya, dan belikan gorengan di warung untuk saya, cepat ya!" ucap ayah memerintahku.           Aku pun dengan segera menganggukkan kepala ku menuruti perintahnya tanpa bantahan. Aku bergegas ke kamar ku untuk menyisir rambutku. Setelah itu, aku langsung ke dapur untuk membuatkan kopi hitam untuk ayah yang duduk di kursi depan televisi, yang sedang menonton pertandingan bola.           Setelah aku membuatkan kopi hitam untuk ayah, aku pun langsung saja kembali melakukan perintahnya yang lainnya yang ia ucapkan tadi, yaitu membeli gorengan di warung Bu Wati untuk menemaninya menonton pertandingan bola di televisi. Aku melihatnya yang duduk dengan santai, gayanya yang sudah seperti raja saja. Setelah aku menaruh segelas kopi hitam di atas meja hadapan ayah, aku pun menadahkan telapak tangan ku dihadapannya untuk meminta uang.           "Mau apa kau?" tanya ayah menatapku sambil mengerutkan keningnya. Aku menghela nafas kasar.           "Tadi ayah menyuruh ku untuk membeli gorengan kan, lantas uang nya mana aku tidak punya uang untuk membelikan gorengan untuk ayah," ucap ku.          "Dasar anak durhaka! Masa membelikan gorengan untuk saya saja kau tidak mampu, gimana kau nanti menghidupi saya dan ibu kau ketika kami sudah tua?!" ucap Ayah sambil membuka dompetnya. Aku yang melihat gerakan tangan Ayah yang membuka dompet dan aku pun tak sengaja melihat isi dompet ayah yang penuh sekali lembaran uang yang berwarna merah. Aku tidak terkejut lagi melihatnya, pastinya ayah habis memenangkan permainan judi nya itu.           Setelah ayah menaruh uang uang selembar lima puluh ribuan di atas telapak tanganku, aku pun langsung saja pergi dari hadapan ayah tanpa menggubris ucapan ucapan ayah yang menyakitkan itu. Jika aku meladeni ucapan ayah itu, tentunya nanti aku dan ayah akan kembali ribut dan aku pun tidak ingin itu terjadi, ku sudah pusing dengan masalah yang ada di kehidupanku ini, aku tidak ingin menambah masalah lagi di kehidupan ku dengan meladeni ucapan ayah yang tidak jelas itu. ---           "Bu Wati beli gorengan nya ya dua puluh ribu aja," ucapku kepada bu Wati. Bu Wati pun langsung saja melayani pesananku itu, setelahnya aku memberikan uang yang diberikan oleh Ayah tadi.           "Eh Aruna, kok Bu Wati sering sekali lihat ibu kau pulang kerja dengan diantar pakai mobil memang nya ibu kau diantar sama siapa?" tanya Bu Wati.            Aku rasa Bu Wati melihat ketika ibu ku pulang kerja waktu malam-malam dengan diantar oleh om Jogi, Ayah Duma. Huh! Gitu aja ditanyain, apa tidak ada pertanyaan yang lain. Capek sekali meladeni tetangga yang selalu ingin tahu tentang kehidupan orang.            "Itu temen Ibu Aruna kok. Gorengannya udah ya Bu? ini uangnya," ucap ku sambil memberikan uangnya kepada Bu Wati.            "Ini sekalian bayar utang rokok ayah kau tidak?" tanya Bu Wati lagi. Aku yang tidak tahu apa-apa pun mengangguk saja. Setelah itu, Bu Wati langsung saja memberikan kembalian uangnya kepada ku. Aku yang tidak ingin berlama-lama lagi di warung Bu Wati langsung saja pergi pulang ke rumah.           Aku membuka pintu rumah ku, dan langsung saja memberikan gorengan yang ku beli tadi di warung Bu Wati ke ayah yang sedang tiduran di kursi panjang depan televisi.            "Ayah kalau punya utang di warung itu langsung bayar dong, coba biasain hidup Ayah itu bebas dari utang. Jangan jadiin utang itu sebagai kebiasaan ayah dong! malu tau tidak sih punya utang di warung," ucap ku sambil menaruh gorengan dengan kasar di atas meja.            "Yaudah sih tinggal kau bayar saja! tidak usah dibuat ribet hidup itu," ucap Ayah dengan santainya sambil mengambil satu gorengan di dalam plastik itu.            Aku pun langsung meninggalkan ayah, dan segera masuk ke dalam kamar ku. Bukannya mikir malah ngomong seperti itu, gimana sih pikiran Ayah itu. Aku pun membanting pintu kamarku sampai menimbulkan suara sedikit keras. Aku tidak peduli dengan ayah yang sedang duduk menonton televisi.            Aku menarik napas ku dan menghembuskan napas ku pelan-pelan mengurangi emosi yang ada di dalam tubuhku akibat perbuatan ayah. Aku teringat dengan ponselku yang ada di dalam tas. Aku pun dengan segera membuka tas sekolah aku dan mengambil ponselku. Karena, ponselku juga baterainya sudah habis lantas aku langsung saja men-charger nya.            Sembari menunggu baterai ponselku penuh, Aku duduk di kursi belajarku dan membuka buku SBMPTN yang pernah aku beli di toko buku. aku mencoba untuk mengerjakan beberapa soal yang ada di dalam buku SBMPTN itu. Aku berpikir bagaimana pun caranya aku harus bisa kuliah. Aku harus bisa menyandang gelar sarjana, agar keluargaku ini tidak diremehkan oleh orang-orang lagi.  ---           Cukup lama aku belajar, aku melirik ke arah jam dinding. Sekarang yang sudah pukul lima sore. Aku berjalan kearah ponselku yang sedang di charger. nanti aku pun langsung saja mencabutnya, karena baterainya sudah penuh. Aku mengingat tentang Duma, tentang sikapnya tadi di sekolah yang seperti mencoba untuk menjaga jarak dengan ku. Aku menyalakan ponsel ku. Dan aku pun terkejut ketika banyak sekali panggilan tidak terjawab dari Duma.            "Ada apa ini? Mengapa ponsel ku banyak sekali notif panggilan tidak terjawab dari Duma?" gumam ku.            Aku pun berinisiatif untuk menelepon balik. Ketika aku ingin menelponnya, tiba-tiba saja pintu kamarku pun di ketuk. Aku langsung saja mengurungkan niatku untuk menelpon Duma saat ini. Aku menaruh ponsel ku kembali di atas meja kecil di samping ranjang tidur ku. kemudian, aku langsung berjalan ke arah pintu dan segera membuka pintu kamarku untuk melihat siapa yang mengetuk pintu kamarku itu. Aku pikir yang mengetuk pintu kamarku itu adalah ibu. Namun, ternyata itu adalah ayah. Aku menatapnya bingung, kenapa ia mengetuk pintu kamarku?           "Sekarang sudah sore, kau tidak masak?" tanya ayah menatap ku tajam. Aku menaikkan salah satu alis ku.            "Kenapa kau menatap saya seperti itu? Kau tidak suka dengan ucapan saya?! Cepat sana masak!! Kau ini anak perempuan di kamar aja! Apa yang kau lakukan daritadi di kamar aja hah?! Sana cepetan! Saya mau makan!" ucap ayah membentakku.            setelah itu Ayah pun pergi dari hadapanku dan berlalu masuk ke dalam kamarnya. Pun aku langsung saja bergegas menuju dapur untuk segera menyiapkan makanan untuk ayah. Ketika aku melewati meja depan televisi, di atas meja berantakan sekali bekas gelas kopi dan sampah gorengan bekas ayah makan tadi. Rasanya aku ingin teriak saja! Lama-lama bisa stres aku menghadapi ayah yang seperti ini. Pun aku tanpa banyak omong langsung membereskan semuanya yang diatas meja tersebut. Aku bersihkan kembali semuanya. Setelahnya aku langsung memasak makanan untuk ayah, agar ia bisa langsung mengisi perut nya itu. Jika aku memasak lama-lama bisa-bisa ayah nanti akan memarahi ku lagi. []           
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD