Bab. 67

1753 Words
        Sekarang masih pukul lima pagi, dan aku pun sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Ya, hari ini aku akan berangkat lebih pagi, aku tidak ingin bertemu dengan ayah maupun ibu pagi ini. Entahlah, sampai saat ini aku masih merasa marah dengan mereka. Dan juga aku pun masih merasa malu dengan Duma, aku yakin pasti kemarin Duma mendengar perdebatan antara aku, ayah, dan ibu. Hanya saja mungkin Duma menutupi keterkejutan nya itu. Buktinya kemarin aku merasa Duma pada saat di rumah ku, ia berubah menjadi pendiam dan juga kemarin pun ia seperti terburu-buru untuk pulang. Ya, aku merasakannya. Sungguh! Aku sangat malu sekali dengannya, tentu saja Duma akan terkejut jika mendengar perdebatan di antara aku, ayah, dan ibu kemarin. Di keluarga Duma, aku rasa om Jogi dan ibu Lamtiar tidak akan pernah berdebat di hadapan anaknya, beda sekali dengan ibu dan ayah ku yang selalu saja memperlihatkan keributan nya di hadapan ku.          Aku membuka pintu kamar ku. Dan di luar sepi sekali. Tidak ada ibu ataupun ayah. Kalau ayah, pastinya ia masih tertidur, namun ibu? Tidak mungkin jika ibu masih tertidur di jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi ini. Aku yang tidak ingin mencari tau pun, langsung saja berjalan menuju pintu depan untuk keluar dari rumah ini.          Aku berpikir untuk mengunjungi minimarket milik paman Bontor. Atau ke rumah paman Bontor. Entahlah, aku merasa kangen sekali. Aku pun langsung saja merogoh saku seragam ku, dan mengambil ponsel ku. Lalu, aku langsung saja menelpon paman Bontor, untuk menanyakan keberadaan nya. Cukup lama, pan Bontor ini mengangkat panggilan telepon ku. Namun, ketika panggilan ketiga, paman Bontor pun mengangkat panggilan telepon dari ku.         "Halo?" sapa nya di seberang sana. Aku tersenyum mendengar suara nya.          "Halo paman," balas ku. Paman Bontor pun terbatuk sebentar.         "Iya Aruna, ada apa nak? Maaf ya paman baru angkat telepon nya, paman baru selesai shalat subuh," ucap paman Bontor menjelaskan kepada ku. Aku pun paham apa yang diucapkan oleh paman Bontor.         "Iya paman tidak apa-apa. Paman Bontor sekarang ada dimana?" tanya ku. Paman Bontor pun terdiam sebentar sebelum menjawab.         "Paman lagi bersiap-siap mau ke minimarket, memangnya ada apa Aruna?" tanya paman Bontor.          "Aruna boleh ke minimarket?" tanya ku.          "Loh memangnya kau tidak sekolah?" tanya paman Bontor. Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan ku. Saat ini masih pukul lima lewat tiga puluh menit. Artinya, masih ada satu jam setengah lagi sebelum aku benar-benar berangkat ke sekolah.         "Nanti Aruna ke sekolah kok paman, cuman Aruna ini berangkat pagi-pagi dari rumah, dan Aruna bingung mau pergi kemana," ucap ku.          "Yaudah, ke minimarket aja Aruna, di sana mungkin sudah ada Dora," ucap paman Bontor. Aku pun mengangguk dengan senang.          "Baik paman, aku kesana ya," ucap ku. Paman Bontor pun berdehem dan langsung saja ia mematikan sambungan telepon dari ku. Aku pun menghampiri salah satu ojek yang sudah menangkring di depan gang rumah ku itu. Lantas, aku pun turun dari halte dan menghampiri nya. Aku pun dengan segera menaiki ojek tersebut untuk mengantarkan aku ke minimarket milik paman Bontor. ---          Setibanya aku di sana, tepat sekali ada kak Akbar yang sedang memarkirkan motornya. Aku pun langsung saja berjalan ke arahnya.          "Kak Akbar!" panggil ku. Kak Akbar pun menoleh ke arah ku dengan tatapan nya yang sangat gembira melihat ku ada di sini.           "Apa kabar?" tanya ku ketika aku sudah berada di dekatnya.           "Baik, Aruna gimana kabarnya? Kok jarang kesini sih, kak Akbar kan jadi bosen, tidak ada yang kak Akbar jahili lagi," ucap kak Akbar dengan raut wajah nya yang dibuat menjadi sedih. Aku pun terkekeh mendengar ucapannya. Memang, waktu aku bekerja di minimarket ini, orang yang lumayan dekat dengan ku selain kak Dora adalah kak Akbar. Kak Akbar juga sering sekali membantu ku ketika aku kesusahan, sering sekali kak Akbar menghibur ku ketika aku sedang sedih, ketika aku sedang pusing dengan keadaan di rumah. Kak Akbar lah menghibur ku dengan lelucon-lelucon lucu nya.           "Maaf ya, Aruna sibuk sekolah kak," ucap ku. Kak Akbar pun tersenyum memaklumi.          "Iya, terus gimana kok Aruna tidak berangkat sekolah? Itu udah pakai seragam nya, kenapa malah ke sini?" tanya kak Akbar yang bingung melihat ku yang datang ke minimarket dengan pakaian seragam sekolah ku. Sebenarnya, aku ingin sekali bolos hari ini. Entahlah, aku sedang tidak bersemangat sekali untuk datangn ke sekolah. Rasanya percuma saja jika ku masuk ke sekolah, tapi pikiran ku tidak terfokus dengan pelajaran.           "Kak Akbar, aku lagi pusing sekali sama keadaan di rumah. Aku capek," ucap ku sambil menundukkan kepala ku. Kak Akbar yang memang tau bagaimana kondisi keluarga ku pun paham dengan ucapan ku. Lantas, kak Akbar pun langsung saja memeluk diri ku. Tanpa terasa, air mata ku pun terjatuh.           "Sabar ya Aruna, saat ini Tuhan sedang menguji kesabaran Aruna. Tuhan pastinya tau kok kalau Aruna ini perempuan yang kuat, buktinya Aruna bisa bertahan sampai sejauh ini, Aruna melewati berbagai masalah yang pastinya itu tidak akan mudah untuk dilewati sendirian. Aruna cukup bersabar, sedikit lagi. Sedikit lagi tuhan akan memberikan kebahagiaan yang tidak Aruna sangka-sangka," ucap kak Akbar sambil mengusap belakang kepala ku pelan. Aku menganggukkan kepala ku yang berada di dekapannya. Kak Akbar pun melepaskan pelukannya dari ku. Dan ia mengusap air mata ku di kedua pipi ku.           "Yaudah, sekarang ayo kak Akbar antar Aruna ke sekolah," ucap kak Akbar. Aku pun menggelengkan kepala ku, menolak tawaran nya.          "Tak usah kak," ucap ku.          "Tidak, ayo kak Akbar antar. Sebentar, kak Akbar ijin ke kak Dora dulu," ucap kak Akbar sambil berjalan masuk ke dalam minimarket. Aku pun berdiri menunggu kak Akbar di samping motor nya ini. Tak lama kak Akbar pun keluar dari minimarket dan langsung menaiki motor nya.           "Ayo naik, nanti kau telat ke sekolah nya," ucap kak Akbar. Aku menimang-nimang untuk menaiki motor kak Akbar yang memang model motornya ini motor gede. Kak Akbar yang paham dengan isi pikiran ku pun langsung turun kembali dan melepaskan jaket yang ia kenakan. Kemudian, ia lingkarkan jaket tersebut di pinggang ku.          "Nah sekarang beres, ayo naik," aku pun langsung mengangguk. Dan menaiki motor kak Akbar. Dekat dengan kak Akbar aku merasa memiliki seorang kakak yang selalu melindungi diri ku. Aku merasa aman jika dekat dengan kak Akbar.          "Udah sarapan belum?" tanya kak Akbar dengan suara nya yang sedikit keras.           "Sudah kak," ucap ku berbohong, karena jika aku menjawab jujur kak Akbar pasti akan memaksa ku untuk menyempatkan sarapan terlebih dahulu. Dan aku tidak ingin merepotkan kak Akbar lagi. Sudah banyak sekali kak Akbar menolong ku.  ---          "Hey kalian! Cepat kalian mau makan apa hari ini? Ambil saja apa yang kalian mau. Hari ini saya akan membayar semuanya, saya mentraktir kalian," ucap Abraham yang sudah duduk di salah satu kursi panjang yang tersedia di depan warung. Semua bapak-bapak yang berkumpul di sana pun langsung saja berhamburan memesan apa yang mereka inginkan. Abraham dengan senyum bangga nya mengeluarkan semua uang yang ia bawa, dan uang tersebut adalah hasil dari kemenangan nya ketika bermain judi semalam. Iya, Abraham semalam bermain judi dengan salah seorang pria yang baru saja pindah ke daerah tempat tinggal Abraham. Awalnya Abraham sempat kewalahan, karena Abraham ragu sekali jika ia akan memenangkan permainan judinya semalam. Soalnya lawan main nya itu tidak kalah jago nya dengan Abraham. Tapi, akhirnya pun Abraham lah yang memenangkan permainan judi semalam. Dan ya, Abraham mendapatkan banyak sekali uang. Makanya, hari ini Abraham dengan angkuh nya ingin mentraktir smeua teman-temannya yang berada di warung biasa tempat ia bermain judi.          "Memang Abang Abraham ini yang paling jago di kampung kita dah, kalau urusan main judi," ucap salah satu bapak-bapak yang sedang memakan soto ayam. Abraham lagi-lagi tersenyum angkuh menanggapi nya.          "Ajarin kita-kita Abraham, kita juga mau menang nih kalau bermain judi. Capek kami ini kalah terus kalau main judi," saut bapak-bapak lainnya. Abraham pun berdehem sebentar, lalu ia menaikkan kaki sebelah kanan nya ke atas kursi. Tak lupa ia menghidupkan pemantik rokok nya tersebut. Sebelum menjawab ucapan temannya itu, Abraham menghisap rokok terlebih dahulu, kemudian, ia menghembuskan asap rokok yang ia hisap tadi.          "Kunci nya itu adalah otak," ucap Abraham sambil mengetuk-ngetuk pelan kepala nya. "Kalau ingin menang kalian harus bisa memainkan otak kalian. Lihatlah semalam saya bermain dengan banyak pertimbangan, nah itu karena saya sedang memikirkan bagaimana cara yang pas untuk bisa mengalahkan lawan main saya itu," ucap Abraham lagi. "Ngomong-ngomong Bonar mana? Kok tidak kesini?" tanya Abraham. Mereka semua yang ditanya pun menggelengkan kepala nya, tidak tau. Abraham berdecak. Kemudian, Abraham pun merogoh saku celana jeans nya untuk mengambil ponsel nya.          "Halo, kau dimana Bonar? Kau tidak ke tempat biasa?" tanya Abraham langsung ketika Bonar menjawab sambungan telepon darinya.          "Iya bang, Bonar lagi menemani istri Bonar ke rumah sakit, hari ini istri Bonar melahirkan," jawab Bonar di seberang sana.          "Oh lahiran hari ini? Yaudah, saya doain semoga lancar semuanya ya," ucap Abraham.          "Iya bang, terima kasih," kemudian, Abraham pun langsung memutuskan sambungan telepon nya. Abraham melihat jam yang ada di ponsel nya itu. Sekarang masih pukul satu siang. Abraham pun memutuskan untuk kembali ke rumah nya, karena di warung tempat biasa ia menongkrong tidak ada kegiatan, jadi Abraham lebih baik tidur siang di rumah nya.          "Nih uang nya saya taruh sini ya, saya mau pulang dulu," ucap Abraham sambil berdiri dan memakai topi ke kepala nya.          "Cepet amat Abraham, sini aja dulu,"          "Ngantuk saya, mau tidur dulu lah di rumah. Nanti malam saya ke sini lagi," ucap Abraham, lalu ia pun berjalan menuju motor nya yang terparkir. Abraham pun melajukan motornya meninggalkan warung tersebut. --- Aruna           Entahlah, hari ini aku merasa Duma menjauhi ku. Aku pun tak tahu sebab nya kenapa. Sedari tadi, aku mengajak Duma untuk berbicara, namun Duma pun seharian ini hanya menjawab singkat jika aku bertanya dengan nya. Ia tidak seperti biasanya. Hari ini aku merasa Duma sangat cuek dengan ku, ketika istirahat pun tadi Duma meninggalkan ku sendirian di kelas. Biasanya ia akan mengajak ku untuk ke kantin bersama.           Dan sekarang pun, bel pulang telah berbunyi. Aku melihat Duma yang dengan cepat membereskan peralatan sekolah nya ke dalam tas nya itu.            "Buru-buru sekali Duma, kau mau kemana? Ayah kau udah menjemput?" tanya ku. Duma hanya melirik ku, kemudian ia pun menjawab pertanyaan ku dengan singkat.           "Iya, aku duluan ya," jawab nya. Lalu, setelah itu ia pun langsung pegi meninggalkan ku di kelas sendirian. Aneh, itulah yang kurasakan. Ada apa dengannya? Kenapa seolah-olah ia sedang menjauhi ku? Apakah aku ada salah dengannya? Tapi apa? Seingat ku aku tidak pernah berbuat kesalahan dengannya selama berteman ini. Nanti, aku akan menelpon nya ketika di rumah, aku harus meminta penjelasan dengannya tentang kenapa hari ini ia tiba-tiba menjauhi ku. Aku pun dengan segera beranjak meninggalkan kelas dan pulang ke rumah. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD