Bab. 42

1871 Words
      Di kamar aku masih termenung, mengingat kejadian tadi di sekolah. Mela. Memang aku akui Mela adalah salah satu siswi di kelas yang memiliki otak yang cerdas. Di kelas, dia selalu mendapatkan peringkat 2 ketika setiap pembagian raport. Aku tak tau, jika ia ternyata di kehidupan bersama keluarganya, kalau ia sering sekali mendapatkan perlakuan yang buruk di kedua orang tua nya. Memang, pernah sekali aku mengingat di suatu hari, ketika pengumuman tentang nilai-nilai hasil ujian semester, aku melihat nilai Mela tidak berbeda jauh dengan nilai ku. Namun, ketika keesokan hari nya, aku cukup menyadari ada sesuatu yang aneh sama Mela hari itu. Di lihat dari penampilan nya, Mela yang menggunakan seragam dengan rok yang panjang nya mencapai mata kaki nya. Padahal, Mela itu tidak pernah sama sekali menggunakan rok sepanjang itu. Lalu, aku pun pernah melihat Mela ketika di kamar mandi, pada saat mengganti baju seragam olahraga, karena pada hari itu kelas ku ada pelajaran olahraga, kemudian, saat itu aku melihat di bagian leher Mela terdapat lebam yang warnanya itu ungu gelap sekali. Kebetulan, saat itu Mela mengikat rambut nya menjadi satu. Dan lembam yang berada di lehernya itu seperti baru saja di pukul menggunakan sebuah benda oleh seseorang. Aku pun terus saja memikirkan Mela. Dan aku juga penasaran tadi pak Bagus dan guru lainnya membawa Mela kemana ya?          Aku pun terkejut ketika tiba-tiba saja dering ponsel ku berbunyi dengan nyaring. Aku yang sedang duduk di dekat jendela untuk menikmati angin malam yang berhembus pun langsung berdiri dan beranjak mengambil ponsel ku yang ku taruh di atas kasur. Aku melihat siapa penelpon tersebut. Ternyata itu Duma yang menelpon ku kembali. Aku pun langsung saja segera menggeser tombol berwarna hijau di layar ponsel ku.        "Halo Duma" sapa ku terlebih dahulu sambil berjalan kembali menuju kursi yang aku taruh di dekat jendela kamar ku.        "Hai Aruna," balas Duma di seberang sana. Aku tau pasti Duma akan bertanya tentang masalah ku di sekolah hari ini.        "Bagaimana acara pindahan rumah kau hari ini?" tanya ku basa basi.        "Ya seperti itu, sedikit melelahkan sih karena aku harus membereskan banyak barang-barang yang aku miliki di kamar baru ku ini," jawab nya. Seperti biasa Duma selalu saja mengeluh tentang kegiatan yang telah ia lakukan.        "Ya namanya juga pindahan rumah Duma, tentunya itu cukup melelahkan," ucap ku sambil menatap pohon besar yang berada di seberang rumah ku.        "Iya kau benar, nanti kapan-kapan kau berkunjung ya ke rumah ku," ucap Duma.        "He'em, nanti aku pasti akan berkunjung," ucap ku. Aku mendengar Duma berdehem kecil, sebelum bertanya kepada ku.        "Ehm! Aruna, aku ingin tanya tentang di sekolah tadi pagi ... Itu ... Bagaimana sih kronologi nya? Kok bisa begitu?" tanya Duma. Ya, benar sekali dugaan ku, Duma pasti akan menanyakan masalah ku di sekolah tadi. Aku pun mulai menceritakan kronologis nya.        "Ya, begitu seperti yang aku ceritakan tadi di chat kita. Pelaku nya adalah Mela. Dia bilang kalau dia itu iri dengan ku, karena aku selalu lebih unggul dari dia," ucap ku yang seperti sudah malas sekali menceritakan masalah ini.        "Maksudnya? Kok bisa sampai segitunya? Jatuhnya malah kau itu di adu domba kan dengan Tiwi tau, kok Mela jahat ya?" tanya Duma yang masih belum paham.        "Tidak Duma, Mela tidak berniat untuk mengadu domba kan aku dengan Tiwi, tapi Mela merasa kesal dengan diri ku," ucap ku membantah omongan Duma.        "Kesal? Kesal kenapa? Perasaan aku, kau itu kan tidak sering berinteraksi dengan anak-anak kelas, apalagi dengan Mela," ucap Duma. Ketika aku ingin menjawab pertanyaan Duma. Tiba-tiba saja pintu kamar ku di ketuk oleh seseorang.        "Aruna??" panggil seseorang dari balik pintu kamar ku. Itu adalah suara ibu.        "Duma, sebentar ya. Ibu memanggil aku," ucap ku terlebih dahulu kepada Duma. Setelah itu, aku langsung menaruh ponsel ku di meja belajar ku dan aku melangkahkan kaki ku menuju pintu untuk membukakan pintu buat ibu.        "Iya ibu? Ada apa?" tanya ku kepada ibu.        "Waktunya makan malam, ayo keluar. Makanan sudah ibu siapkan di meja," ucap ibu memberitahu. Aku pun mengangguk.        "Oh oke ibu," ibu pun menganggukkan kepala nya. Lalu, ibu berjalan kembali ke dapur. Aku pun masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. Lalu, aku mengambil ponsel ku dengan sambungan telepon ku dengan Duma yang masih tersambung.        "Halo Duma?" ucap ku.        "Iya Aruna, bagaimana?" tanya nya.        "Nanti akan aku telpon lagi ya, aku di suruh makan malam dulu oleh ibu," ucap ku.        "Baiklah ..." ucap nya. Lalu, sambungan telepon pun terputus. Aku menaruh kembali ponsel ku di atas meja belajar tersebut. Lalu, aku berjalan keluar kamar menuju meja makan.        "Ayo Aruna, cepat duduk," ucap ibu ketika melihat ku sedang berjalan menuju ke arah nya. Aku pun langsung saja menarik kursi dan langsung aku duduki. Kemudian, ibu memberikan aku piring yang sudah terisi oleh nasi putih yang asap nya masih mengebul itu.         "Itu, ibu menggoreng ikan mas, kesukaan diri kau bukan? Nah ini sayur sop nya," ucap ibu sambil menyodorkan mangkuk yang sudah terisi sayur ke arah ku.         "Terimakasih Bu," ucap ku. Lalu, ibu pun menarik kursi yang berada di hadapan ku. Kemudian, ibu duduk di sana.         "Ayah mana?" tanya ku. Tidak biasanya ayah melewatkan makan malam nya. Biasanya ayah akan pulang untuk makan malam, setelah itu terkadang ayah keluar lagi, entah pergi kemana. Dan pulang nya nanti ketika dini hari, waktunya orang-orang sedang tertidur lelap.        "Tak tau, nanti juga pulang. Ibu juga udah memisahkan makan malam untuk nya," jawab ibu ketika ingin memasukkan daging ikan ke mulut nya. Setelah itu, kami pun makan dengan diam.        "Ehm, Aruna gimana tadi di sekolah kau? Baik-baik aja kan?" tanya ibu. Aku perlahan mendongakkan kepala ku menatap ke arah ibu. Aku pun tersenyum kecil.        "Iya Bu, semuanya baik-baik aja," jawab ku dengan berbohong. Lalu, aku melanjutkan kembali makan malam ku.        "Baguslah, ibu takut di sekolah kau ada punya masalah. Baik-baik ya nak sekolah nya, jangan macam-macam. Itu aja pesan dari ibu," ucap nya. Aku terdiam sebentar. Tentang masalah tadi, apa aku harus menceritakan kepada ibu? Tapi ... Aku tidak ingin ibu khawatir dengan ku. Baiklah, sepertinya untuk masalah ini aku tidak usah menceritakan kepada ibu. Biarkan, masalah ini aku simpan sendiri saja.        "Iya Bu, aku tau. Aku janji, aku tidak akan membuat suatu kesalahan yang akan merugikan diri ku dan keluarga ini, apalagi sampai beasiswa ku di sekolah itu di cabut. Aku tidak akan membuat masalah Bu," ucap ku meyakinkan kepada ibu.        "Bagus, beasiswa itu adalah jalan satu-satunya kau bisa bersekolah di SMA favorit di kota ini. Jika kau tidak mendapatkan beasiswa, entahlah mungkin kau akan mendapatkan pendidikan di sekolah yang memiliki akreditasi nya rendah," ucap ibu.        "Tapi, sebenarnya semua sekolah sama aja Bu, tergantung dari diri kita masing-masing, mau belajar yang benar atau tidak nya," ucap ku.        "Iya, kau benar. Hanya saja lebih baik bersekolah yang memiliki akreditasi nya bagus bukan? Dan otomatis kualitas dalam mengajar di sekolah tersebut juga terjamin," ucap ibu. Aku pun mengangguk paham.          "Aku selesai," ucap ku. Lalu, aku bangun dan membawa piring bekas makan ku ke dalam wastafel. Lalu, aku pun langsung mencuci piring tersebut beserta alat-alat masak yang telah di gunakan oleh ibu tadi.         "Ini Aruna," ucap ibu sambil menaruh piring bekas nya. Selagi, aku masih mencuci piring, ibu mengelap-elap meja makan itu.          "Aruna, kalau udah selesai jangan lupa matikan lampu dapur nya ya, dan pintu depan juga langsung kunci aja. Ayah kau mungkin bawa kunci cadangan rumah ini," ucap ibu berpesan. Aku menoleh sebentar, lalu mengangguk. Setelah itu, aku melanjutkan kegiatan ku lagi.         "Ibu ke kamar ya," pamit ibu.         "Iya ibu," jawab ku. Setelah, aku membilas dengan air di semua piring-piring dan alat-alat masak yang ku cuci. Aku pun langsung menaruh semua peralatan itu di tempat nya. Setelah selesai semua, aku membuka kulkas untuk mengambil makanan cemilan yang akan ku bawa ke dalam kamar untuk menemaniku belajar untuk mempersiapkan ujian semester nanti. Sebelum ku pergi, tak lupa aku mematikan lampu dapur dan mengunci pintu rumah sesuai apa yang ibu perintahkan tadi. Setelah itu, aku langsung melangkahkan kaki ku menuju kamar ku. Aku membuka pintu kamar ku dan menutup nya kembali. Aku berjala ke meja belajar dan menaruh cemilan yang aku bawa tadi di atas meja belajar tersebut. Aku membuka layar ponsel ku dan ada 3 panggilan tak terjawab dari Duma. Astaga! Orang itu, sepertinya sudah sangat tidak sabar untuk mendengarkan cerita dari ku. Ketika aku ingin menekan tombol untuk menelpon nya, tiba-tiba saja ponsel ku berdering dan itu Duma yang menelpon ku. Aku pun langsung saja menjawab nya. Sepertinya malam ini aku akan di ajak bergadang oleh Duma untuk membicarakan masalah ini.          "Halo Aruna?" sapa Duma.         "Iya Duma, ya ampun kau sampai menelpon ku tiga kali? Kau sudah sangat penasaran ya?" tanya ku sambil membawa cemilan ke lantai dekat kasur. Aku duduk di sana sambil menyandarkan badan ku ke kasur.         "Hehehe, kok tau sih?" tanya Duma. Pasti Duma sedang cengengesan sekarang.         "Tau lah, ketara sekali soalnya,"          "Yaudah, ayo lanjutkan ceritanya bagaimana?" tanya nya dengan tidak sabaran.         "Iya, jadi, Mela iri karena aku lebih unggul dari nya, dan karena itu orang tua Mela tau kalau ada anak yang nilai nya lebih bagus dari Mela, dan orang tua nya marah sama Mela tentang itu. Sampai-sampai Mela itu sering sekali mendapatkan perlakuan yang buruk dari orang tua nya, ini aku dapat cerita dari Tiwi," ucap ku hanya menceritakan inti nya saja.         "Loh kok orang tua nya gitu? Aneh sekali deh,"          "Ya aku tak tau, yang jelas kata Tiwi kalau orang tua Mela itu sangat tegas sekali selama pendidikan anak nya. Orang tua Mela ingin kalau anak nya itu harus mendapatkan nilai yang sempurna. Jadi, Mela itu harus selalu unggul dalam semua pelajaran, pokoknya Mela itu tidak boleh kalah dalam urusan nilai dengan ku gitu lah intinya," ucap ku sambil mengunyah makanan.         "Dengan kau?" tanya Duma yang masih bingung. Aku menghela napas ku pelan. Astaga, anak ini sepertinya harus detail sekali dalam menjelaskan.         "Iyaa Dumaaa, kan orang tua nya tau kalau setiap pembagian rapot aku selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas, sedangkan Mela mendapatkan peringkat kedua,"          "Yaampun kasian sekali, pasti dia depresi,"          "Iya, benar sekali. Aku juga merasakan bahwa Mela itu sangat tertekan dengan sikap orang tua nya. Tadi aja Mela di bawa oleh pak Bagus, Bu Iis, dan Bu Yeni pergi, tapi aku tidak tau mereka membawa Mela kemana, soalnya aku tidak mengikuti mereka," ucap ku.         "Kalau orang tua nya tau masalah ini bagaimana ya?" tanya Duma tiba-tiba.         "Semoga orang tua nya tidak mengetahui nya, tapi menurutku itu mustahil. Pastinya, orang tua Mela tahu tentang ini," ucap ku. Tiba-tiba pintu kamar ku pun terketuk.         "Aruna? Belum tidur nak?" suara ibu bertanya kepada ku.         "Oh sebentar lagi kok Bu aku tidur," ucap ku sedikit keras.         "Oh yaudah, jangan tidur malam-malam ya nak," ucap ibu.         "Baik Bu," kemudian, aku pun mendengar suara langkah kaki yang menjauh dari pintu kamar ku.         "Duma, sudah dulu ya... Aku matikan telpon nya, udah malam nih," ucap ku.         "Oh yaudah, selamat malam Aruna," ucap Duma.        "Selamat malam," balas ku. Lalu, aku mematikan sambungan telepon tersebut. Aku menolehkan kepala ku ke arah jam dinding yang terpasang di kamar ku. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tidak terasa daritadi ngobrol dengan Duma cukup lama juga. Aku pun bangun dari duduk ku dan membuang bungkus camilan yang sudah habis itu ke tempat sampah yang ku sediakan di dalam kamar ku. Lalu, aku mematikan lampu kamar ku dan langsung naik ke atas kasur untuk segera tidur. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD