Chapter Sepuluh

3707 Words
            Suara nyaring dari gesekan pintu mengejutkan Alby juga Aster yang tengah menyantap rotinya. Lima orang berpenutup kepala dilempar masuk ke dalam sel yang sama. Membuat tempat sempit itu semakin terasa penuh sesak. "Tidak bisakah kalian memasukkan mereka ke sel lain?!" teriak Aster kesal kepada para penjaga penjara.             Para tahanan baru menggeliat di atas lantai. Tampaknya mereka ingin berbicara, namun tidak jelas karena mulutnya tersumbat sesuatu. Aster berjalan mendekat, membuka penutup kepala pada salah satunya. Sungguh tak menyangka dia akan menemukan wajah Johan di balik kain hitam itu. "Johan!" serunya tidak percaya.             Aster bergegas membuka ikatan yang menyumpal mulut Johan, juga yang mengikat tangannya. Alby pun dengan segera melakukan hal serupa, membantu melepaskan ikatan pada yang lain. Aster memeluk satu persatu temannya itu, meski tentu saja dia sangat terkejut. Terutama dengan kehadiran Thalita di sana.             "Aku tahu kamu pasti datang, kawan," ucap Alby sembari memeluk Erik.             "Lain kali jatuhkan saja celana atau bajumu. Hampir aku tidak menyadari benda sekecil ini terombang ambing di atas laut luas." Erik memberikan sapu tangan milik Alby yang ditemukan oleh Thalita.             "Hei, aku tidak punya pilihan lain! Keadaan tiba-tiba menjadi sangat gawat. Jadi, aku hanya sempat menjatuhkan benda ini, dengan sedikit peringatan di atasnya," jelas Alby sembari tertawa kecil.             "Jadi, kenapa kalian ada di sini?" Aster bertanya, padahal dia sendiri sudah mengetahui jawabannya.             Johan terlihat sedikit kesal, namun itu hanya sebuah candaan. "Kamu tidak sopan, nona. Kami ke sini untuk menyelamatkan kalian berdua!"             "Penyelamatan yang hebat, sekarang kalian sudah menemukan kami. Di dalam penjara. Bersama-sama."             "Kami sengaja melakukan ini karena tahu kalian ada di sini."             "Kenapa tidak langsung saja kamu masuk secara diam-diam kalau sudah tahu."             "Ckckck, itu bukan sebuah taktik yang baik." Aster dan Johan tidak berhenti saling bersahut-sahutan.             "Cukup! Bukan saatnya untuk bercanda!" Erik memukul pelan belakang kepala Johan. Lelaki sipit itu meringis sembari mengusap kepalanya.             "Apa kalian tahu saat ini kita sedang berada di mana?" tanya Alby.             "Ya, atau mungkin tidak. Tapi aku yakin kami masuk dari kubus besi raksasa yang muncul dari dalam laut," Erik berusaha menggambarkan benda yang dilihatnya tadi.             Kata 'besi' memancing perhatian Aster dengan seketika. "Kubus raksasa? Aku tidak tahu mengenai hal itu. Tapi, apa kalian melihat pipa-pipa besi? Ukurannya cukup besar dan seakan menancap di dasar laut."             "Iya, pipa-pipa itulah yang mengantar kami hingga ke sini. Saat menyentuh benda itu bunyi alarm terdengar amat nyaring. Tak lama, kubus besi yang kuceritakan barusan mulai bangkit dari dalam air. Lalu, orang-orang berwajah kain itu muncul, dan membawa kami ke sini. Selesai."             "Lalu, apa kalian melihat sesuatu saat dibawa ke sini? Mungkin jalan yang terlewati atau sebagainya?"             "Penutup kepala s****n itu sejak awal langsung menutup kepala kami. Tapi, aku yakin kita dibawa masuk ke dalam kubus yang sama dengan tempat si orang berkain datang. Dan tubuh kami diseret di atas... aku yakin tadi itu tanah."             "Itu berarti..." Aster memberikan jeda pada kata-katanya. "Kita ada di dalam laut?!"             "Aku berpikiran sama."             Aster nyaris tidak percaya dengan apa yang telah dia katakan sendiri. Bagaimana mungkin saat ini mereka ada di dasar lautan tanpa merasakan keberadaan ada air sedikitpun? Sepertinya ada banyak hal mengagumkan di balik pintu ruang tahanan yang mengurung tubuhnya itu. Membuat gadis tersebut semakin tidak bisa menunggu lebih lama untuk bisa keluar dari sana. Meski dia sendiri pun tidak tahu hal apa yang akan dihadapi selanjutnya.             Perasaan kagum serta tidak sabar dengan cepat menguasai pikiran Aster. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa ada hal yang lebih genting di saat itu. Simon terduduk, bersandar pada dinding dengan lemas. Napasnya tersengal-sengal, menahan nyeri yang tak kunjung hilang. "Halo. Ada orang terluka di sini!" ucapnya dengan susah payah.             Kehadiaran Simon yang sedang terluka hampir saja terlupakan. Namun bagi Aster dan Alby hal itu merupakan hal baru. Mereka mulai panik begitu melihat wajah pucat Simon yang tetap jelas meski ruangan amat gelap. "Astaga, Simon! Apa yang terjadi?" Aster bergegas meraih tumpukan kain penutup kepala dari atas lantai, menggulungnya menjadi satu. "Dia terkena serangan orang-orang itu," jawab Erik.             Aster menekan luka Simon menggunakan gulungan kain tadi. Membuat lelaki itu meringis kesakitan. "Pelan-pelan!"             "Diam, Simon! Kamu bukan anak kecil!"             "Sudah kubilang untuk tidak gegabah, bukan?" sahut Erik.             "Tapi kamu terlihat seakan sedang mencoba bunuh diri!" Simon sedikit kesulitan bicara karena terus meringis menahan sakit.             Darah yang berbau amis tidak henti-hentinya mengalir dari dalam lubang bekas tusukan. Merembes dari dalam baju, terasa lengket saat tersentuh oleh tangan. Perut Aster menjadi semakin mual dibuatnya. Di samping bau busuk yang ada, kini ada bau lain yang semerbak di dalam ruangan.             "Tekan kain ini pada lukamu!" perintah Aster pada Simon. Gadis itu berdiri, mengelap darah yang menempel pada tangannya ke celana. Dia mulai bergerak tidak karuan. Mondar-mandir, sembari mengepalkan telapak tangan. Siapapun yang melihat pasti mengira Aster sedang memikirkan suatu cara untuk bisa keluar dari sana. Tapi nyatanya, dia hanya bergerak tanpa arti. Kepalanya seakan kosong melompong, meski banyak hal yang bergemuruh di dalamnya.             Ayo, berpikirlah Aster! Kemana larinya ide-ide gila yang biasanya selalu muncul di saat genting seperti ini?             "Da-darahnya tidak mau berhenti. Kita harus bergegas mencari bantuan!" kata-kata Bianca memperparah kepanikan yang ada.             Johan mendekti satu-satunya jalan keluar masuk yang ada di dalam ruangan. Menggedor-gedor pintunya sambil berteriak. "Hei! Kalian ada di sana? Teman kami terluka! Dia membutuhkan pertolongan segera! Hei, buka pintunya!"             Lelaki sipit itu terus melakukan hal sama berulang kali, meski tidak ada respon dari luar. Sesekali ditendangkan kakinya menuju pintu, menarik kenopnya dengan sekuat tenaga, bahkan menabrakkan badan kecilnya kepada besi kokoh yang tidak bergeming sama sekali.             Erik tidak tega membiarkan temannya menyakiti diri sendiri seperti itu. Dia mencoba menghentikan Johan yang terlalu keras kepala untuk bisa menuruti kata-katanya. Pada akhirnya dia hanya bisa mengelus d**a, berusaha agar emosinya tidak ikut tersulut.             "Apa kain-kain itu membuat kalian semua tuli, hah? Buka pintunya!" Amarah Johan semakin meledak-ledak.             "Sia-sia saja, Jo! Mereka tidak akan mendengarnya," ucap Aster, masih tetap bergerak seperti sebelumnya.             "Lalu apa yang harus kita lakukan? Mondar-mandir sembari mengheningkan cipta?" Perkataan tanpa pikir panjang tersebut tentu saja telah menyinggung perasaan Aster. "Setidaknya aku tidak melakukan hal bodoh, dan menyakiti diri sendiri sepertimu!" timpalnya sembari mendorong badan Johan hingga membentur tembok.             "Aster!" semua turut berseru karena terkejut. Alby bergegas memisahkan kedua orang itu sebelum terjadi perkelahian. Hal tersebut tentu tidak akan membawa perubahan apapun. Justru hanya akan memperkeruh keadaan.             'Klek' seseorang membuka kunci pintu sel. Suara kecil itu berhasil menyita semua perhatian yang ada. Keadaan menjadi hening dengan sekejap, diiringi decitan pintu yang tengah dibuka perlahan. Mungkin para penjaga itu sudah muak mendengar keributan dari dalam sel. Dan kini mereka bermaksud untuk melakukan... sesuatu.             "Bawa temanmu itu dan ikuti aku! Ratu menunggu kalian." Seorang lelaki bersuara serak langsung berbicara setelah daun pintu terbuka dengan sempurna. Suara itu sudah tidak asing di telinga. Wajar saja, karena dia pulalah yang menjebloskan mereka ke dalam penjara. Hanya saja, kali ini kain putih lusuh sudah tidak membungkus kepalanya. Hanya tergulung rapi menutupi rambut yang entah masih ada atau tidak.             Beberapa saat semua tahanan yang ada terlihat tidak bergeming sedikitpun. Mereka terlalu terkejut ataupun takut untuk melangkahkan kaki keluar ruangan. "Cepat!" teriak lelaki itu lagi. Barulah kali ini Aster dan teman-temannya mulai bergerak.             "Ayo cepat!" Johan berjalan paling depan.             Alby dan Erik memapah Simon yang semakin melemah. Mereka semua berjalan di belakang lelaki tadi. Menyusuri ruangan kotor yang disebut penjara. Keluar dari tempat tersebut dan berjalan melintasi lorong panjang.             Aster mempercepat jalannya untuk bisa berada di barisan paling depan. Dia menyamakan kembali langkah kaki setelah melewati Johan. Kini posisinya tepat di belakang si laki-laki kepala kain, begitulah Aster menyebutnya. "Apa aku boleh bertanya sesuatu?"             Pertanyaan bodoh Aster!             "Tidak," Si kepala kain berkata dengan hemat. Seakan-akan dia bisa mati jika berbicara terlalu banyak.             "Ada di mana kita sekarang?" Aster berpura-pura tidak mengerti mengenai kata 'tidak' yang didengar barusan. Alhasil, tidak ada jawaban dari dalam mulut si kepala kain. "Kenapa kalian membawa kami ke sini?"             Lagi-lagi hanya ada suara langkah kaki yang terdengar. Aster mulai merasa kesal. "Sepertinya kamu hanya bisa berkata iya atau tidak saja, ya? Kalau begitu akan aku ubah pertanyaannya. Apa sekarang kita ada di dalam laut?"             Si kepala kain menghentikan langkahnya secara mendadak. Membuat Aster harus turut berhenti sebelum menabrak punggungnya. Lelaki itu langsung membalikkan badan, menjenggut kerah baju Aster dengan kuat. Aster sudah bersiap mendapatkan teriakan yang akan memekakan telinga. Akan tetapi, si kepala kain ternyata hanya berkata dengan pelan. "Tutup mulutmu, sebelum kubuat kamu tidak bisa bicara selamanya! Mengerti?"             "Aku, mengerti," jawab Aster tersendat, seakan menahan sesuatu.             Aku mengerti. Mengerti benar kenapa kamu tidak mau berbicara. Karena napasmu ternyata sangat bau!             Tangan besar si kepala kain mendorong Aster. Tubuhnya terjatuh dengan cukup keras di atas lantai. Mereka berdua bertatapan dengan pandangan yang seakan ingin untuk saling membunuh. Dasar, seenaknya saja memperlakukan orang lain seperti ini. Biar kulihat apa yang ada di dalam balutan kain itu. Apa mungkin hanya untuk menyembunyikan bahwa dia tidak memiliki otak?! Gerutunya dalam hati. Namun, kali ini Aster berhasil mengendalikan emosinya. Dia sadar tindakan gegabahnya hanya akan menimbulkan sebuah masalah baru.             "Kamu tidak apa-apa?" tanya Bianca sambil membantu Aster berdiri.             "Aku baik-baik saja. Terima kasih."             Jangan lakukan hal gegabah, Aster! ujar Alby dengan gelengan kepala. Aster seakan bisa mendengar kata-kata tersebut.             Dia pun segera membalas dengan anggukan kepala. Aku mengerti, Alby. Jangan khawatir, sahutnya.             Mereka semua kembali melanjutkan perjalanan setelah si kepala kain mulai kembali melangkah. Lorong panjang yang mereka lalui terasa semakin menurun pada awalnya. Namun, kini jalan tersebut menjadi semakin menanjak. Aster memperhatikan sekitarnya. Lampu bohlam yang berwarna kuning bersinar dengan temaram. Membias di antara tembok yang kecokelatan.             Tempat apa ini? Rasanya, pengap sekali. Entah kenapa aku merasa sedang berada di bawah tanah! Ah, itu mustahil. Tapi... tidak ada yang mustahil di dunia ini, Aster! Setelah apa yang telah aku lalui sejauh ini.             Akhir-akhir ini Aster menjadi semakin sering berdiskusi dengan dirinya sendiri. Menurutnya, hal itu terasa lebih menyenangkan, dibandingkan harus bercerita pada orang lain yang belum tentu memiliki pemikiran serupa.             Tidak lama kemudian, si kepala kain berhenti di akhir lorong panjang tersebut. Tidak terlihat ada jalan lain di depan sana. Aster mulai berpikiran aneh. Kenapa orang itu membawa mereka ke lorong dengan jalan buntu? Apa jangan-jangan dia bermaksud membunuh mereka semua?             Aster bersiap mengepalkan tangannya saat si lelaki berkain mengangkat tangan, menggapai langit-langit lorong. Seutas tali ditariknya dengan sekuat tenaga. Alhasil, sebuah tangga muncul dari baliknya. Cahaya terang menyeruak masuk, menyilaukan mata yang sudah mulai terbiasa dalam kegelapan.             Seorang penjaga lain yang terlihat lebih ramah menyambut mereka. Di dalam sebuah ruangan kecil sederhana yang sangat bersih. "Mari saya antar," ucapnya sopan. Aster mendengus kecil saat mendapati bahwa si kepala kain tidak ikut keluar dari dalam lorong. Seakan lelaki itu memang pantas tinggal di bawah sana.             Mereka kira perjalanan akan segera berakhir. Tapi nyatanya masih ada lorong lain yang menanti saat keluar dari ruangan tersebut. Namun, kali ini karpet merah tergelar di sepanjang lantainya. Tidak terputus hingga memasuki sebuah ruangan lain yang jauh lebih besar. Beberapa orang berpakaian indah duduk pada bangkunya yang bercat keemasan di sisi ruangan. Hal tersebut mengingatkan Aster pada keadaan saat pertama kali mengunjungi singgasana walikota Jarlish. Hanya saja tempat asing tersebut jauh lebih megah daripada yang dimiliki oleh Oakland. Jangan bilang sebentar lagi Roy akan keluar dari balik pintu! pikir Aster dalam hati. Hampir membuat dirinya tertawa seorang diri.             Kenangan-kenangan masa lalu bermunculan, membuat Aster semakin terjebak di dalamnya. Matanya seakan melihat Jarlish sedang tersenyum licik di balik meja, sedangkan Roy selalu siap di sisinya, menanti sebuah perintah. Bahkan untuk sesaat bayangan akan sosok Edy terus memperhatikannya, mengintip dari balik tembok. Bayangan satu itu terasa begitu nyata dalam pandangan Aster. Dia menggosok-gosokan mata sebelum kembali melirik ke arah yang sama. Namun, kini bayangan tersebut tidak terlihat lagi. Apa yang kamu pikirkan di saat seperti ini, Aster! bentaknya, seakan benci terhadap pikirannya sendiri.             "Ayo, kami akan merawat lukamu!" ujar seorang lelaki muda, mengangkat badan Simon yang terduduk lemas. Erangan Simon membawa Aster keluar dari khayalannya.             Orang tadi membawa Simon hingga ke sudut ruangan. Di mana beberapa orang yang sepertinya petugas kesehatan tengah bersiap dengan peralatan serta sebuah tandu besinya. Setelah bertemu dengan sang pasien, mereka mulai melakukan sesuatu pada luka Simon.             "Apa yang akan mereka lakukan pada kita?" Johan berbisik.             "Aku tidak tahu. Yang jelas kita semua harus tetap waspada," balas Aster dengan berbisik juga. Entah sejak kapan kedua orang tersebut telah berbaikan. Bahkan mereka mungkin sudah melupakan tentang apa yang sempat terjadi dalam penjara.             "Bagaimana menurutmu, Erik?"             "Ikuti saja dulu permainan yang ada."             "Hei, ada yang datang!" Alby turut berbisik, namun pandangannya tertuju pada perempuan bergaun putih yang mendekati mereka.             Perempuan itu pasti tahu para tamunya sedang membicarakan sesuatu. Tapi, dia hanya tersenyum manis tanpa ada niatan jahat. Ternyata langkah kakinya tidak berhenti di dekat mereka, dia justru berjalan ke arah sebuah singgasana yang tertutupi oleh juntaian kain indah.             Rasa penasaran Aster mulai muncul. Dia berusaha memicingkan mata untuk bisa melihat ke balik kain tersebut. Tapi hal itu sia-sia, penglihatannya tak dapat menembusnya. Apa yang ada di balik sana? Apa ada seseorang?             "Tamu Anda sudah sampai, ratu." Si perempuan bergaun putih berjalan mundur sembari membungkukkan badan setelah berkata.             Keadaan menjadi hening seketika. Tidak ada orang yang menimpali kata-kata si perempuan tadi. Seakan tak ada siapapun di balik tirai itu.             Oke, ini mulai aneh.             "Oh, maaf membuat kalian menunggu," suara yang ditunggu pun muncul. "Perkenalkan, namaku Sasha. Sungguh suatu kehormatan bagi kami mendapatkan kunjungan dari orang baru." Suara lembut seorang wanita terdengar dari singgasananya yang tersembunyi di balik tirai. Entah kenapa dia tidak ingin memperlihatkan wajahnya saat berbicara. "Maafkan perbuatan tidak sopan kami. Kami hanya berusaha menjaga keamanan kota ini. Semoga kalian dapat memakluminya."             Aster sedang tidak ingin mendengar kata-kata yang hanya berisi sebuah basa-basi. Jika tidak segera dihentikan, wanita tersebut akan terus berbicara, pikirnya. Dia hanya membutuhkan jawaban dari semua pertanyaan yang ada dalam kepala. "Maaf! Maaf jika saya tidak sopan dan menyela perkataan Anda. Kami sangat senang karena sepertinya kalian bisa menerima kami di sini. Tapi, sebelum itu bisakah Anda memberitahu sedang berada dimana kami saat ini?"             Si wanita misterius tidak menjawab untuk beberapa saat. Aster sempat menganggap hal itu merupakan sebuah ekspresi kemarahan. Namun setelahnya dia kembali berbicara, membuat gadis tersebut merasa sedikit lega meski tidak mendapat jawaban yang diinginkan. "Bisa tolong jelaskan mengenai siapa kalian dan kenapa bisa ada di sini?"             Tidak ada satu orang pun yang langsung menjawab pertanyaan tersebut. Aster kemudian melirik ke a rah teman-temannya hingga matanya bertemu pandang dengan Erik. Lelaki tersebut mengangguk, seakan menyuruh Aster untuk menjadi juru bicara kelompoknya.             Secercah keraguan menghampiri hati Aster. Dia terdiam cukup lama. Memandangi temannya satu persatu. Erik, Bianca, Thalita, Johan, dan Alby, orang yang memberinya keberanian untuk mulai berbicara. Aster dan Alby bertatapan, saling melempar senyum satu sama lain. Tenang Aster, tidak perlu khawatir.             Iya. Aku tidak akan merasa khawatir jika kamu ada di dekatku.             Aster mengembalikan pandangan ke arah singgasana bertirai di depan. "Kami penduduk dari sebuah tempat bernama Nibbana, yang kebetulan sedang bepergian mengarungi lautan. Maksudku, kami hanya berjalan-jalan menikmati laut. Hingga akhirnya kawanan Anda menangkap kami," jelasnya.             "Nibbana?" tanya wanita itu dengan nada penuh rasa penasaran.             "Ya. Tidak jauh dari sini ada sebuah gunung yang amat besar, dan kami tinggal di dalamnya. Tempat itulah yang kami sebut dengan Nibbana. Namun, sebagian dari kami bukan penduduk asli sana. Kami pindah dari Kota Oakland. Kota besi yang juga berada tidak jauh dari Nibbana."             Aster sudah tidak merasa aneh dengan keterkejutan para orang asing yang mendengar ceritanya. Mereka terlihat saling berbisik satu sama lain. Membuat ruangan tidak setenang beberapa saat sebelumnya. Pasti orang-orang itu tidak pernah pergi jauh dari tempat ini, pikir Aster.             Si wanita misterius lagi-lagi terdiam di balik tirainya. Entah apa yang dia lakukan di sana. Yang jelas Aster ingin segera berlari untuk menarik tirai yang terlihat makin menyebalkan itu. Apa mungkin dia tidak ingin seseorang melihat dirinya? Mungkin karena dia cacat atau sebagainya?             Seorang perawat medis berjalan mendekat ke arah singgasana sang ratu. Membisikkan sesuatu ke dalam tirai, lalu kembali ke tempatnya semula. "Apa yang kalian bicarakan?" kata-kata tersebut terlontar dengan spontan dari dalam mulut Aster.             "Oh, maafkan aku," ujar si wanita sebelum meneruskan pembicaraan. "Sungguh sebuah berita baru bagi kami."             Lagi-lagi dia mengalihkan pembicaraan!             "Aku ingin mendengar lebih banyak tentang kedua tempat itu. Ada banyak kamar kosong bagi kalian untuk bermalam di sini beberapa hari."             Tentu saja bagi Aster hal tersebut merupakan sebuah hadiah. Dia sama sekali tidak merasa keberatan, dan bahkan akan meminta hal yang sama jika Sasha tidak lebih dulu menawarkannya. Sementara Alby yang menyadari perubahan ekspresi dari gadis itu bergegas berbicara. "Terima kasih atas kemurahhatian Anda. Tapi, maaf kami harus segera kembali. Semua orang pasti sedang mengkhawatirkan kami."             "Oh, begitukah? Tapi sayang sekali, sepertinya aku akan memaksa. Mengingat petugas medis berkata bahwa teman kalian harus dirawat sebelum infeksi membahayakan nyawanya. Karena bagaimanapun kami bertanggung jawab atas hal ini."             Alby beralih pandang pada Erik. Kembali berbicara sepelan mungkin. "Perasaanku mulai tidak enak. Sebaiknya kita keluar dari tempat asing ini secepatnya."             "Itu yang jadi masalah. Karena ini tempat yang asing bagi kita, terlalu beresiko jika memilih sesuatu yang bertolak belakang dengan keinginan mereka."             "Ayolah, apa yang kalian perdebatkan lagi. Kita tidak mungkin memaksa Simon untuk pulang, bukan?" bujuk Aster kepada teman-temannya.             Semua terdiam, saling pandang, berbicara tanpa suara. Mengangguk setelah merasa bahwa itu adalah satu-satunya opsi yang perlu dipilih. Kecuali Alby, dia tidak menerima ataupun menolak. Di saat seperti itu, ajakannya untuk segera pergi dari tempat tersebut sudah pasti akan ditolak mentah-mentah oleh yang lain.             "Sepertinya kami tidak punya pilihan lain selain menetap di sini hingga teman kami pulih," Erik menjadi perwakilan pemberi keputusan.             "Baiklah, akan aku perintahkan salah satu pegawai untuk mengantar kalian menuju tempat peristirahatan. Sedangkan teman kalian yang terluka akan dibawa ke klinik." Ada nada kepuasan yang ditutupi dalam kata-kata sang ratu. Sepertinya dia senang karena ajakannya tidak ditolak oleh sang tamu.             Seorang lelaki tua mempersilahkan mereka untuk mulai berjalan mengikutinya. Entah kemana mereka akan dibawa, yang pasti lebih terasa tenang karena tidak perlu berurusan lagi dengan si kepala kain.             Tiba-tiba, sesaat sebelum melangkah, Aster teringat akan sesuatu. Dia berhenti, membalikkan badan menghadap ke singgasana. "Maaf, sebelum pergi, saya ingin menanyakan sesuatu."             "Apa itu?" jawab wanita di balik tirai.             "Apa di kota ini ada orang yang bernama Sheila dan Thomas?" Aster menanti sesaat jawaban yang tak kunjung datang. "Umm, saya sedang mencari orang tua saya yang menghilang sejak lama. Mungkin saja mereka ada di sini. Dan... saya harap begitu," jelasnya sembari berusaha tertawa meski terpaksa.             "Aku hanya tahu ada satu lelaki bernama Thomas, namun dia baru saja lahir seminggu yang lalu." Rasa keputusasaan menyeruak dalam hati Aster. Dia tidak peduli mengenai kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh Sasha. "Tapi, aku ingin memberitahukan sesuatu." Aster mengurungkan niatnya untuk segera pergi. "Aku tidak akan memaksa apa kamu mau percaya ceritaku ini atau tidak."             Sang ratu terdengar ragu untuk berbicara. Bahkan dia menjeda kata-katanya lebih lama dari biasanya. Padahal saat itu Aster tengah terdiam menanti berita yang entah apa. "Sebenarnya, aku sempat kehilangan anakku beberapa tahun yang lalu. Tapi, aku sudah terlalu putus asa untuk mencarinya. Jadi, kupikir kami tidak akan pernah bertemu lagi." Aster masih belum mengerti apa maksud sebenarnya sang ratu. Namun di satu sisi entah kenapa hatinya mulai berdebar tak katuan. "Kamu bilang nama ibumu Sheila? Apa kamu yakin?" sambung Sasha lagi.             "I, iya. Saya yakin benar mengenai hal itu," jawabnya sedikit tergagap. Entah kenapa Aster menjadi berharap, dan semakin berharap tentang sesuatu yang mungkin mustahil terjadi. Dia memegangi dadanya yang berdebar. Perasaan apa ini? Kenapa aku merasa seperti ini?             Tirai yang sejak tadi dipandangi Aster bergoyang karena sesuatu menyentuhnya dari dalam. Kini sebuah bayangan seseorang mulai terlihat dari balik tirai. Sosok tersebut pastilah berasal dari sang ratu yang tengah bangkit dari singgasananya.             Seorang wanita cantik menampakkan diri dari balik tirai. Mengenakan gaun berwarna biru yang cantik. Mata Aster terbelalak menatapnya, begitupula dengan teman-temannya yang lain. Aster bukan terpesona akan kecantikan wanita tersebut, akan tetapi dia terkesima melihat rambut bergelombang yang sama, serta warna hitam yang sama dengan miliknya.             Mata Sasha berkaca-kaca, seakan terharu akan sesuatu. Dia mengulurkan tangannya ke arah Aster, memintanya untuk mendekat. Namun, kaki Aster terasa membeku. Bahkan badannya tidak bergeming sedikitpun. Dia tetap memandangi Sasha dengan mulut menganga. Padahal wanita itu sudah beberapa kali memanggil namanya.             Alby mendekat, menggenggam tangan Aster agar gadis itu merasa tenang. Aster langsung memandangi Alby dengan mata yang juga berkaca-kaca. "Alby, Alby," ucapnya sedikit bergetar.             "Aku tahu. Pergilah ke sana!" ucap Alby lembut. Dia melepaskan genggamannya saat Aster mulai berjalan menuju singgasana ratu.             Aster melangkahkan kaki pelan pada awalnya. Namun, beberapa saat kemudian kakinya bergerak semakin cepat. Semakin cepat. Hingga tak sadar bahwa dia tengah berlari sembari mulai menangis.             Tangan Sasha mendekap erat Aster saat gadis tersebut sampai di hadapannya. Menangis bersama di tengah keheningan. Tidak ada suara lain yang ada selain isakan tangis. Menciptakan kehangatan di antara dinginnya istana megah tersebut.             Akhirnya, aku menemukanmu, ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD