Malam berlalu, dan hari telah berganti. Para Nibbanian beraktivitas seperti biasa. Erik selalu menjadi yang terrajin setelah Alby. Semua penduduk benar-benar menyukainya. Mungkin hanya Aster satu-satunya orang yang merasa sebal kepada Erik, karena lelaki itu selalu menjadikan Aster sebagai korban dari kejahilannya. Hidup belum sempurna jika tidak bisa membuat gadis itu marah, itulah prinsip kebahagiaann milik Erik. Meski begitu dia tidak melakukannya atas dasar membenci. Justru dia memandang Aster sebagai adik perempuannya sendiri, yang juga selalu menangis akibat ulahnya. Karena sekarang mereka sudah tidak hidup bersama, maka mau tidak mau Aster harus menggantikan posisi sang adik. Tetapi, pada dasarnya Erik merupakan lelaki yang penyayang, Bianca tahu benar hal itu.
"Sepertinya hari ini pekerjaanmu bertambah banyak," Bianca menyodorkan sehelai handuk kecil pada Erik.
"Ya. Berterimakasihlah pada Alby yang membuatku harus menyelesaikan bagiannya juga."
"Apa ada sesuatu yang terjadi? Setahuku dia selalu datang paling pagi."
"Mungkin dia sedang ada dalam masa ingin memberontaknya."
Simon yang berada tak jauh dari tempat Erik dan Bianca mendengar pembicaraan mereka. Hal itu langsung mencuri perhatiannya. "Jarang-jarang anak itu bolos bekerja," kata Simon.
Erik hanya mengangkat bahu, menandakan bahwa dia pun tidak mengerti. Meski sebenarnya dia tahu apa yang terjadi kemarin. "Sepertinya kita harus meminta bantuan orang lain untuk mengerjakan bagiannya."
Suatu kebetulan Johan terlihat berjalan tak jauh dari pandangan Simon. Dia beregegas memanggil anak sipit itu untuk mendekat. Tampaknya dia sedang tidak dalam kondisi yang baik. Terlihat sedang merasa marah akibat sesuatu.
"Apa?!" sahut Johan dengan kesal.
"Aku ingin meminta bantuanmu di sini."
"Oh, ayolah! Masalahku belum selesai karena anak itu lagi-lagi menghilang."
"Anak itu?" tanya Simon.
"Ya. Aster! Aku pikir dia terlambat ke sekolah seperti biasa. Tapi ternyata di rumahnya pun tidak ada! Ke mana dia di saat seperti ini?" Johan menggerutu.
"Berita baru. Alby hilang di saat Aster pun menghilang. Mungkin mereka sedang bersama," ujar Simon sembari sedikit cengengesan.
"Sudahlah, biarkan mereka beristirahat. Kulihat mereka berdua terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing," Bianca terdengar membela temannya.
Meski begitu, Erik merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia tertegun memikirkan hal tersebut. Tampaknya Bianca menangkap gelagat aneh dari kekasihnya itu. "Ada apa, Erik?"
"Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang terjadi."
"Jangan mencoba menakut-nakutiku!" Bianca menganggap Erik sedang bercanda. Tetapi kenyataannya lelaki itu benar-benar merasakan firasat buruk.
"Kemarin aku melihat Alby dan Aster pergi keluar Nibbana menggunakan motor terbang. Kalian ingat motor yang dulu pernah kita gunakan? Benda itu masih tersimpan di dalam hutan dan mereka menggunakannya." Bianca, Simon dan Johan terdiam, mendengarkan penjelasan Erik yang entah harus ditanggapi seperti apa. "Aku pikir mereka sudah kembali. Sepertinya kita harus mengecek sesuatu."
Keempat orang itu pergi ke dalam hutan. Mengunjungi tempat persembunyian motor terbang mereka. Dan ternyata memang benar, jumlahnya berkurang satu. Hal itu menandakan bahwa si pengguna masih belum kembali sejak kemarin.
"Apa mungkin mereka hanya memarkirkannya di tempat lain?" Johan berusaha berpikir positif.
"Untuk apa mereka melakukan itu?"
"Jangan-jangan bahan bakar motor mereka habis di tengah jalan!" Bianca ngeri mendengar kata-katanya sendiri.
"Apa pun bisa terjadi. Tapi aku berharap mereka hanya pergi ke Oakland."
"Sebaiknya kita melaporkan ini kepada Sarah," saran Simon.
Sarah menjadi tidak tenang setelah mendengar kabar dari Erik. Dia merasa bersalah karena berpikir Aster pergi akibat peristiwa kemarin. Tapi dia tidak boleh membuat semua orang panik. Sarah pun menyuruh beberapa Nibbanian untuk pergi ke Oakland, mencari keberadaan dua penduduknya. Akan tetapi, usaha tersebut tidak menghasilkan apapun. Setelah itu mereka baru mulai merasa panik. Karena satu-satunya tempat yang kemungkinan dituju oleh Aster dan Alby hanyalah lautan.
"Kita harus mencari mereka lagi!" ujar Bianca.
"Tapi ke mana?" Johan sudah melupakan kekesalannya terhadap Aster, dan turut merasa cemas.
"Kemana pun yang kita bisa. Kita sisir lautan di sekitar Nibbana dan Oakland. Tidak mungkin mereka pergi terlalu jauh dari sini."
"Sia-sia jika kita hanya pergi tanpa arah yang jelas."
"Lalu kita harus kemana?"
Erik mendadak berjalan meninggalkan ruangan Sarah. "Kamu mau kemana, Erik?"
"Tunggulah di sini, aku akan memangambil sesuatu."
Tak lama kemudian, Erik kembali dengan sebuah ransel yang terisi penuh. Pemilik ransel tersebut adalah Aster. Kemarin dia membawa benda itu pulang, berniat menyimpannya hingga sang pemilik memintanya kembali. Tapi nyatanya, tidak ada satupun dari Aster atau Alby yang datang.
Dikeluarkan barang-barang yang ada di dalam ransel tersebut. Sebenarnya semalam Erik sempat penasaran dan menggeledah isinya. Dia membuka sebuah gulungan kertas yang semalam sempat menarik perhatian. Sebuah peta buatan Aster.
"Kemarin anak itu sempat datang ke sini untuk meminta izin berlayar, bukan?" tanya Erik kepada Sarah.
Wanita tua itu masih merasakan perasaan tidak enak seperti kemarin. "Iya. Tapi aku langsung melarangnya pergi. Setelah itu Aster meninggalkan tempat ini sembari terlihat marah."
"Kalian lihat. Sepertinya dia mempersiapkan peta ini untuk melakukan sebuah ekspedisi. Sayangnya hal itu langsung ditolak mentah-mentah. Tapi dia sudah menentukan arah tujuannya. Kalian lihat garis ini!" Erik menunjuk tiga buah garis tipis yang membentuk segitiga. "Dua sudutnya terletak di Oakland dan Nibbana, tapi satunya lagi hanya mengarah pada lautan. Sepertinya dia menuju ke sana. Sama persis ketika kemarin aku melihat arah laju motor mereka."
Simon menggebrak meja pelan. "Sepertinya kita harus mulai mencari dari sana. Aku akan ikut berangkat."
"Aku juga," ucap Bianca.
"Tentu saja aku juga ikut!" sahut Johan.
"Oke. Kau ketuanya, Erik," Simon menambahkan.
"Kalau begitu kita berangkat menggunakan motor-motor yang tersisa setelah mengisi penuh tangkinya. Ayo kita bergerak!"
Tiga orang lainnya mengangguk.
"Tunggu dulu!" perintah Sarah. Dia terlihat sangat khawatir. "Aku tahu niat kalian baik. Tapi, apa kalian yakin akan pergi dengan persiapan seadanya seperti ini?"
Bianca berjalan beberapa langkah mendekat ke arah Sarah. "Kami mengerti Anda mencemaskan kami. Tapi saat ini hanya kami yang dapat melakukan ini. Ditambah lagi kami tidak bisa tinggal diam saat ada teman yang keberadaannya tiba-tiba menghilang seperti ini."
Wanita tua tersebut menghela napas panjang. Dia ingin sekali melarang semua orang untuk bertindak gegabah seperti itu. Tapi di satu sisi dia pun tidak memiliki pilihan lain.
"Baiklah. Tapi pastikan kalian semua kembali dengan selamat."
Bianca dan semua orang yang ada di sana mengangguk seraya meyakinkan.
Beberapa saat sebelum menuju ke luar ruangan, tiba-tiba seseorang menghentikan langkah mereka. "Tunggu!" ucapnya. Talitha yang sedari tadi mengamati dari balik pintu memperlihatkan sosoknya. "Aku ingin ikut kalian."
Tidak ada yang memberikan tanggapan. Erik hanya melirik pada Sarah seakan meminta izin. Sarah kenal benar gadis itu. Dia tidak berbeda jauh dengan Aster yang keras kepala. Tanpa mengatakan apapun lagi, dia hanya bisa menghembuskan napas seakan ada sedikit keterpaksaan. "Kembalilah dengan selamat," ucapnya.
Tanpa membuang waktu lagi, Erik, Bianca, Simon, Johan, juga Talitha segera bersiap-siap untuk memulai misi pencarian. Mereka berganti pakaian, membawa perbekalan secukupnya, dan mengisi bahan bakar motor hingga penuh.
Tiga buah motor melesat di udara, menuju ke arah yang sama persis dituju oleh Aster dan Alby. Sarah memandangi tiga buah benda melayang itu dari kejauhan. Merapatkan telapak tangannya untuk memanjatkan sebuah doa. Dia sangat tidak ingin kehilangan penduduknya meski hanya satu orang saja.
Erik membiarkan motornya melaju kencang. Sembari tetap fokus memperhatikan lautan di sekitarnya. Mencari keberadaan petunjuk apapun yang dapat membantu mereka.
"Apa kamu yakin mereka ke sini?" teriak Johan yang berkendara seorang diri.
"Teruslah mencari!" perintah Erik.
Dua puluh menit berlalu. Tapi tidak ada yang mereka dapatkan selain laut yang mengalun indah di bawah sinar mentari. Sejauh ini belum ada yang mereka temukan. Hingga ingin sekali rasanya mereka menyerah dan kembali ke Nibbana. Ya, kalau saja dua orang yang hilang itu bukanlah orang yang berharga bagi mereka. Karena kini posisi Alby dan Aster sudah menjadi bagian keluarga yang berharga. Oleh karena itu, Erik memutuskan, sebelum kendaraan mereka kehabisan setengah bahan bakarnya, tidak ada yang boleh berbalik arah.
"Simon! Aku melihat sesuatu!" Thalita menepuk pundak lelaki di depannya. Lalu menunjuk ke arah laut di bawahnya. Akhirnya ada seseorang yang mendapatkan sesuatu. Menandakan bahwa pencarian mereka akhirnya membuahkan hasil.
Sebuah kain putih terombang ambing terbawa ombak. Setelah memperhatikan dengan seksama, Erik meyakini bahwa benda itu adalah sapu tangan milik Alby. Karena dia pun memiliki benda yang sama persis. Tanpa membuang waktu lagi, diangkatlah kain itu dari atas air. "Ini milik Alby," ujar Erik. Semua orang terkejut mendengarnya. Ditambah lagi saat mendapati noda merah di salah satu sisinya.
"Apa mereka baik-baik saja?" Bianca terlihat semakin khawatir.
"Jangan-jangan... Ada elang raksasa yang menyerang mereka!" tambah Johan, semakin memperkeruh suasana.
"Entahlah. Kita tidak boleh seenaknya berprasangka yang tidak-tidak. Lebih baik kita melanjutkan pencarian! Aku yakin sebentar lagi mereka akan ditemukan."
Sebuah harapan semakin besar berkat keberadaan sapu tangan tersebut. Tidak hanya Erik, mereka semua yakin tak lama lagi akan menemukan Aster juga Alby. Hanya saja kondisi kedua orang itulah yang saat ini menambah kecemasan. Darah yang menempel pada sapu tangan terlihat masih baru, menandakan ada sesuatu yang terjadi pada Alby.
Meski berusaha untuk tidak berpikir negatif, tapi Erik memikirkan segala kemungkinan dalam kepalanya. Dia menduga kedua temannya itu mendapatkan sebuah serangan di atas udara. Mungkin saja elang raksasa tempo hari yang melakukannya, seperti apa yang dikatakan Johan. Pikiran seram mulai bermunculan. Bagaimana jika orang yang sedang dicari tersebut tenggelam di dalam lautan? Atau mungkin para monster yang ada telah menelan mereka bulat-bulat? Dia segera membuang jauh-jauh berbagai pikiran buruk tersebut.
Erik bukan orang yang bisa menerima sesuatu jika tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri. Sebelum dia menemukan setidaknya bagian dari tubuh salah satu temannya itu, Erik tidak akan menghentikan pencarian. Semakin besar harapan yang dimiliki, tentu semakin besar pula kesempatan bagi mereka berdua untuk dapat diketemukan, batinnya.
Waktu terus berjalan, tim pencari pun masih belum menyerah meski harus kembali dibingungkan karena belum mendapatkan apa-apa lagi. Tidak ada benda lainnya yang bisa dijadikan sebagai petunjuk. Meski tidak terasa, hal tersebut perlahan mempengaruhi mental mereka. Gerbang keputusasaan tak lama lagi akan mereka hadapi. Keadaan pun lambat laun pasti akan memaksa mereka semua untuk segera menyerah.
Manusia mati dan menghilang di tiap harinya. Semua itu bukan sesuatu yang aneh karena seperti itulah kehidupan. Tapi, haruskah mereka kehilangan dua orang sahabat terbaiknya untuk hari ini? Tanpa adanya sebuah perang, ataupun badai. Padahal bumi begitu tenang, tapi hal tersebut justru tampak sedang menipu semua orang yang ada.
Erik melirik untuk melihat sisa persedian bahan bakar. Dia sadar sebentar lagi mereka harus segera kembali jika tidak ingin terjebak di tengah lautan untuk selamanya. Tapi, untung saja dia mendapatkan sesuatu sebelum terlanjur berbalik arah. Saat memperhatikan sekitar, matanya menangkap kehadiran benda yang sebelumnya sempat menyita perhatian Aster juga Alby. Pipa-pipa besi yang tertancap dengan gagahnya di tengah laut. "Apa kalian melihat pipa besi itu?" tanyanya.
"Ya. Benda apa itu?" tanya Simon penasaran.
"Kelihatan seperti cerobong. Apa benda-benda itu ada hubungannya dengan kehilangan Aster dan Alby?" Johan turut bertanya.
"Sebaiknya kita periksa sebelum kembali ke Nibbana."
Semua motor terbang memperlambat lajunya dan berhenti di depan pipa besi yang ada. Mereka semua merasa bingun harus berekspresi seperti apa. Belum pernah mereka lihat pipa sebesar itu sebelumnya. Tapi, di satu sisi mereka harus tetap waspada terhadap benda asing tersebut.
Semua orang saling diam untuk beberapa saat. Karena mereka semua memiliki berbagai pertanyaan di dalam kepala masing-masing.
Erik mengulurkan tangannya perlahan, mencoba untuk menyentuh pipa di hadapannya. "Hati-hati!" ujar Bianca langsung. Berkat hal itu Erik justru merasa lebih tegang dari sebelumnya. Dia sedikit tersentak saat tangannya bersentuhan dengan besi dingin itu. Tapi perasaannya lega karena ternyata benda tersebut tidak membahayakan.
"Apa benda ini milik Oakland? Jo, apa kamu pernah melihat yang seperti ini sebelumnya?" Erik sedikit berteriak.
"Entahlah. Meski ukurannya berbeda, tapi bentuknya memang tidak jauh beda dengan cerobong besi yang ada di Oakland. Tapi tekstur besi ini terasa berbeda." Johan turut menyentuh salah satunya.
Erik mengecek tiap jengkal permukaan besi tersebut. Memperhatikan sesuatu dengan sangat cermat. Pipa yang ada terlihat sangat bersih, meski ada jejak-jejak karat yang nampak. Pada salah satu sisinya terdapat sebuah tulisan.
"Aku menemukan sesuatu!" Erik mengundang perhatian temannya yang lain. "Di sini tertulis bahwa benda ini milik... Ah s**l! Sisanya tertutup karat. Jo, coba cek di pipa satunya!"
Si lelaki sipit turut memeriksa pipa di dekatnya. "Aku tidak bisa menemukan tulisan seperti itu."
"Lihat di sekitar mulut pipa, mungkin ada di sana."
Johan mengemudikan motornya pelan untuk mencapai ujung pipa. "Ah, ya, ada! Tapi besi ini lebih berkarat daripada yang itu." Dia pun mulai mengeja tulisan sebisanya. "Mi...lik... Umm... ion. Aku tidak bisa membaca semuanya, Erik!"
Motor Simon terbang mendekati pipa lainnya. Dia mencari tulisan sama yang seharusnya terpampang juga di sana. "Benda ini milik Orion?" ejanya pelan. "Erik, aku bisa membaca yang ini! Tulisannya berbunyi..."
'Piip-piip-piip' bunyi alarm yang nyaring tiba-tiba muncul entah dari mana. Terus berdengung tak henti, memekakan telinga mereka. Akibatnya, Simon pun tidak bisa menyelesaikan kata-katanya. Dia bergegas mendekat ke arah teman-temannya yang lain. Khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi. Sepertinya pipa tersebut memiliki sebuah sensor yang akan bereaksi saat disentuh, piker mereka. Meski reaksinya terlihat sangat lambat.
"Erik!" Simon berseru seraya terkejut. Dia melihat sesuatu aneh terjadi di tengah lautan tak jauh dari sana.
Permukaan laut mendadak bergemuruh, bagai ada seekor paus raksasa di dalamnya. Sesuatu yang cukup besar muncul dari dalam air. Membuat permukaan laut disekitarnya beriak. Pakaian kering mereka harus rela terbasahi akibat semburannya.
Sebuah besi berbentuk kubus besar naik ke permukaan. Berhenti bergerak setelah tingginya membuat kepala harus menengadah jika ingin melihat ujung dari benda tersebut. Erik, Bianca, Simon, Johan, dan Thalita tercengang, tak sanggup beranjak dari tempatnya karena terkejut. Entah benda apa yang kini menjulang kokoh di hadapan mereka. Namun sangat disyukuri saat benda itu ternyata tidak memberikan ancaman apapun.
Mereka cukup merasa tenang dengan pemikiran tersebut. Yang ternyata sangat bertolak belakang dengan kenyataan sebenarnya. Sebuah suara dari sesuatu yang bergerak mulai terdengar. Sepertinya bagian atas dari kubus besi kini tengah terbuka. Namun mereka tidak bisa melihatnya karena terlalu jauh berada di atas kepala.
Tak lama, wujud dari suara yang terus bermunculan mulai terlihat keluar dari dalam kotak. Benda terbang serupa motor milik mereka berdatangan. Namun wajah para pengendaranya tidak bisa terlihat jelas, karena terhalangi oleh lilitan kain pada kepalanya.
Orang-orang asing tersebut menganggap mereka berlima sebagai sebuah ancaman. Erik memilih untuk tidak melakukan perlawanan atau untuk kabur sekalipun. Karena orang asing itu lebih dulu menghunuskan sebuah tombak pada mereka. Terlalu beresiko jika Erik memilih untuk melawan gerombolan orang yang sepertinya berjumlah lebih dari dua puluh itu.
"Si-siapa orang-orang itu?" Johan terlihat menjadi yang paling panik.
"Apa tidak sebaiknya kita lakukan sesuatu, Erik?" Simon sedikit berbisik. Namun dia tidak mendapatkan balasan apapun dari sang ketua misinya itu.
"Angkat tangan!" perintah salah satu lelaki bersuara serak. Lelaki tersebut memerintahkan lelaki lainnya untuk menangkap kawanan Erik.
"Erik! Apa yang harus kita lakukan?" bisik Simon lagi.
"Tidak ada. Cukup turuti kemauan mereka dan jangan bertindak gegabah!" jawab Erik sembari mengangkat kedua tangannya.
"Kamu gila? Bagaimana jika orang-orang itu akan mencelakai kita?!" Simon tidak mengerti seperti apa yang dipikirkan oleh Erik. Dia hanya berpikir harus segera melakukan sesuatu sebelum hal buruk terjadi. Akan tetapi, dia sadar semua temannya akan menurut terhadap perkataan Erik. Jadi, dia memutuskan untuk bertindak seorang diri.
Tanpa disadari oleh siapa pun, simon menyerang salah satu lelaki yang mendekat secara mendadak. Dengan sekejap tindakannya itu terhenti karena sebuah tombak melayang, menancap pada perut bagian sampingnya.
"Simon!" Erik berteriak panik. Dia ingin membantu temannya itu, tapi seorang lelaki lain lebih dulu mengikat kedua tangannya.
Rintihan Simon terus terdengar setelah tragedi mengejutkan barusan. Tapi Erik sudah tidak bisa melihatnya lagi, karena sebuah kain gelap dipasang menutupi kepalanya. Tubuhnya pun dipaksa untuk berpindah menuju kendaraan lain. Sementara satu orang lelaki asing mengambil alih motor terbangnya.
Erik berusaha untuk tetap tenang dan mengikuti permainan dari para penyanderanya. Belum ada kepastian bahwa mereka adalah orang-orang jahat. Bisa saja kawanan Erik lah yang dianggap seperti itu oleh orang-orang berkepala kain tersebut. Yang jelas, segela sesuatu tidak mustahil terjadi.
Tidak ada yang dapat dilihat dari dalam penutup kepala. Hanya indera pendengaran serta penciumanlah yang dapat diandalkan pada saat seperti itu. Dengungan suara mesin serta gemuruh orang-orang yang berbicara terdengar di sepanjang perjalanan. Erik bisa merasakan kakinya menyentuh tanah sedikit berbatu, karena sudah beberapa kali dia tersandung dibuatnya.
Cukup lama mereka berlima berjalan, diseret dengan sangat kasar. Erik menarik napas lega saat mengetahui bahwa perjalanan panjang tersebut akhirnya berakhir. Di sebuah tempat yang terasa dingin, lembab, dan berbau busuk. Namun, tampaknya Erik dapat dengan mudah mengetahui di mana dia berada sekarang.