11. Compromise

1886 Words
Liona mengernyit. Siprus? “Apa urusan Anda menanyai saya?” desisnya kesal melihat Al menunggu jawaban. Ia sudah cukup sabar dengan menjauhkan diri, namun pria ini terus merengsek mendekatinya. Maunya apa? “Saya hanya bertanya, apa salahnya?” balas Al lempeng. “Dan seharusnya kamu juga lebih sopan untuk tidak membalas pertanyaan saya dengan pertanyaan lain.” “Anda tidak punya hak mempertanyakan kesopanan saya, karena Anda sendiri tidak punya sopan santun sama sekali!”  “Saya ‘kan sudah minta maaf.” “Saya tidak bilang telah memaafkan Anda.” Al mengedikkan bahu. “Saya sudah minta maaf dan urusan saya selesai. Perkara kamu memaafkan atau tidak, itu urusanmu.” Liona menghela napas. “Sebenarnya, apa mau Anda? Kita tidak saling kenal namun Anda bertanya hal-hal yang bersifat pribadi.” “Bukankah kamu sudah mengenal saya? Atau perlu kita ulangi lagi?” Al menyodorkan tangannya. “Saya Alfaraz.” Liona menggeram membuang muka. Ia berdoa semoga terus diberi hati yang lapang menghadapi pria songong ini. Al menarik tangannya.  “Let's make this simple, Nona. Saya bertanya, apakah kamu pernah ke Siprus. Kamu tinggal jawab 'ya' atau 'tidak'. Jangan bertele-tele. Wasting time,” kata Al menyentak perhatian Liona kembali. “Dan kenapa saya harus menjawab pertanyaan Anda?” Al mengangkat bahu. “Bukankah berbagi informasi itu mendapat pahala?” Liona mengernyit. “Apa urusannya bawa-bawa pahala di sini?” “Lalu saya harus bawa apa? Emas?” sahut Al melotot. “Saya bukan perempuan matre ...!” “Yang bilang kamu matre siapa?” sambar Al cepat. “Saya jadi ragu, apakah kamu beneran b**o atau apa?” Liona menghembuskan napasnya kasar. Matanya terpejam rapat dengan rahang mengeras karena emosinya tak kunjung turun. Ingatkan dirinya untuk tidak mencekik pria ini di depan khalayak ramai atau ia harus berurusan dengan hukum dan dideportasi paksa dari sini. Al terus menunggu. Kenapa repot sekali berurusan dengan perempuan? Seharusnya mudah saja. Satu jawaban untuk satu pertanyaan. Tapi, makhluk berhormon estrogen ini memang suka sekali membolak-balikkan pertanyaan membuat waktunya terbuang percuma. Ia hanya membutuhkan jawaban yang akan menggeser angka-angka di kepalanya, entah naik ke angka tujuh puluh persen atau amblas ke titik nol. Dan setelah itu, ia akan memikirkan langkah selanjutnya. “Jadi?” “Maaf, Tuan. Saya memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Anda,” jawab Liona ketus. “Kenapa?” “I have the right to remain silent. Anything I say can and will be used against me in a court of law.” Al bersidekap bosan. “Miranda rules tidak terlalu berlaku di Indonesia. Buktinya, tersangka maling ayam tetap digebuki untuk mendapat pengakuan sebelum dibawa ke pengadilan.” “Itu karena mereka tidak punya pengacara.” “Kalau mampu membayar pengacara, mereka tidak akan jadi maling ayam. Seharusnya menjadi pencuri yang lebih elit. Koruptor, misalnya.” “Kita sedang berada di Paris. Tentu saja hukumnya berbeda.”  “Tapi, kita hanya turis. Kenapa harus memakai dasar hukum Perancis bagi kejahatan antar sesama WNI?” “Ya,” jawab Liona singkat. Lalu ia tersadar dan melotot. “Eh?” “Tinggal jawab saja apa susahnya, sih?” dengus Al ketus. Liona menelan ludah kehilangan kata-kata. Ada apa dengan Siprus? Negara yang terletak di sebelah barat Suriah itu bukan destinasi yang populer bagi warga Indonesia untuk liburan. Hanya segelintir orang yang menetapkan negara itu sebagai tujuan wisata. Bahkan, kebanyakan orang tidak tahu Siprus itu berada dimana. Liona mengabaikan Alfaraz. Ia mengambil beberapa foto matahari tenggelam yang menyisakan semburat merah dari ketinggian dengan kamera ponsel. Ia merapatkan syal ke lehernya. Hembusan angin bertiup semakin dingin. Al tidak menyerah. Ia mengekori langkah Liona kemana pergi. Bukan saatnya untuk mundur sebelum rasa penasarannya hilang. Kalau perlu, ia akan mengikuti gadis ini seperti penguntit kurang kerjaan. Tidak apa-apa, mumpung liburan. *** Terus menerus diikuti membuat Liona merasa tidak nyaman. Ia bergegas pergi menuju lift yang membawanya turun dari sana. Perutnya keroncongan. Ia berniat mampir ke restoran dan mengisi perut sebelum kembali ke hotel. Setibanya di bawah, tanpa ia sadari Al masih mengekorinya sambil pura-pura tidak acuh. Mata pria itu memperhatikan keadaan sekeliling sambil terus mengikuti objek di depannya sedikit demi sedikit. Liona membalikkan badan dan seketika membentak nyaring. “Sampai kapan Anda akan mengikuti saya?!” Al terhenyak, lalu balas membentak, “Siapa yang mengikutimu? Jangan kegeeran!”  “Lalu, kenapa Anda masih berada di sini?” “Ini jalanan umum. Saya juga bayar visa agar bisa berada di sini.” Lio mendelikkan matanya jengkel lalu kembali berbalik. Berdebat dengan Al ibarat perang urat syaraf tak berkesudahan. Lelaki itu selalu punya jawaban dan pintar berkilah. Lama-lama liburan kali ini terasa seperti kutukan baginya jika Al terus merecokinya. Ia bergegas mencari taksi untuk membawanya ke hotel. Lio mengurungkan niat untuk makan malam di restoran terdekat. Setidaknya, sampai ia lepas dari Al yang sepertinya tidak berniat menjauh. Sialnya tak ada satupun taksi yang menghampiri. Ia semakin kesal karena Al ikut berdiri di sampingnya “Kamu, mau ikut makan malam dengan saya?” tanya Al ragu-ragu membuat penawaran. Liona terperangah. “No thanks!” “Tapi kamu lapar. I know a good place to grab some foods.” Liona mengerutkan kening. “Tahu darimana kalau saya lapar?” “Perutmu berisik sekali,” jawab Al sekenanya. Liona membuang muka yang bersemu merah. Ia tengsin berat. Perutnya sedari tadi bergemuruh tak tahu tempat.  “Saya juga punya banyak pilihan restoran di sini!” katanya ketus. “Tapi saya menawarkan sensasi makan malam yang berbeda. Kamu tidak akan menyesal. Setidaknya, izinkan saya membayar rasa bersalah telah membuat kakimu celaka. Yah, meskipun bukan salah saya juga sih, sebenarnya,” sambung Almengklarifikasi. Kesalahan itu memang bukanlah miliknya. Gadis ini saja yang berlebihan menyalurkan emosi. “Bukan salah Anda?” Liona melotot. “Hello!” “Yang menendang rak, siapa? Kamu atau saya?” balas Al tak kalah sengit menyipitkan matanya. Liona terdiam. “Nggak usah gedein gengsi, nanti perutmu sakit!” ujarnya sembari menyetop taksi yang tiba-tiba lewat di depannya. “Ayo masuk!” Entah kenapa, Liona jadi tertarik mengikuti Al. Ia tertantang ingin mengetahui apa maunya pria ini. Lio masuk ke dalam taksi, diiringi senyuman puas Alfaraz. Mungkin ia perlu strategi lain agar Liona mau membuka mulut. Ah, perempuan memang ribet! Menjelang sampai di tempat tujuan, Al menyuruh taksi untuk berhenti di samping sebuah Masjid berukuran sedang. “Kita turun di sini?” tanya Liona heran. Al mengangguk. “Kamu keberatan menunggu? Sebentar lagi waktu Maghrib habis,” kata Al melirik jam tangannya. Gara-gara mengikuti Liona, ia hampir kehabisan masa untuk menunaikan kewajiban pada Tuhannya. Liona turun dan menunggu di parkiran masjid. Pria itu bergegas masuk dan menunaikan kewajibannya. Sembari menunggu, Liona memainkan ponselnya menghalau rasa bosan. Jika dipikir-pikir, gila rasanya ia mau mengikuti Alfaraz. Untuk apa? Sedari tadi mereka hanya bertengkar tidak jelas. Konyol! Mendadak ia merasa malu pada pria itu, juga pada dirinya sendiri. Entah kapan terakhir kali ia menunaikan kewajibannya sebagai muslim. Islam baginya hanyalah sekedar status pengisi kolom agama dalam kartu identitas. Keluarganya juga tidak terlalu peduli soal agama. Yang ia ingat, terakhir kali ia shalat saat masih tinggal dan bersekolah di Jakarta. Dulu, sebelum ia berumur sepuluh tahun. Setelah pindah ke Singapura, Negara itu menempatkan agama sebagai urusan pribadi masing-masing warganya, bukan urusan sekolah. Juga karena pendidikan agama di sekolah hanya membuat siswa hidup terkotak-kotak dan tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan baik. Sekeluarnya dari Masjid, Al mengajak Liona meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Ia menuntun langkah menuju kawasan street food di kota tersebut. Tidak terlalu sulit menemukan menu makanan halal di Paris. Negara ini memiliki populasi muslim terbanyak di daratan Eropa Barat. Setiap restoran setidaknya memiliki satu pilihan menu halal dalam daftar mereka. Mereka memasuki sebuah restoran yang menyajikan aneka makanan dari Timur Tengah. Al menarik sebuah kursi dan mempersilakan Liona duduk. Tak lama kemudian, seorang pramusaji menghampiri mereka.  Pemuda itu terpana sejenak. “Alfaraz?” Al mengangkat kepala. Ekspresinya tak kalah kaget. “Rafik?”  Ia berdiri menghampiri Rafik dengan wajah sumringah. Mereka berpelukan sambil berbincang-bincang hangat dalam bahasa Perancis yang fasih. “Kamu bersama siapa?” tanya Rafik penasaran. “Ini temanku, Liona,” jawab Al lalu memperkenalkan Lio dengan Rafik. “Bonjour!” sapa pria itu ramah memperkenalkan diri. “I am Rafik.” Liona menyambut uluran tangan Rafik dan balas tersenyum tipis. “Liona.” Setelah pemuda itu pergi membawa daftar pesanan mereka, Liona mengakhiri rasa penasarannya. “Sepertinya Anda cukup populer di sini.” Al terkekeh pelan. Ia meneguk air putih yang dihidangkan pelayan. “Saya punya banyak utang budi dengan Rafik.” “Oh ya?” “Setiap kali ke Maroko, dia menanggung penuh akomodasi saya.” Rafik adalah pemuda asal Maroko yang tak sengaja bertemu dengannya saat ia menjadi backpacker kere, atau lebih tepatnya begpacker, di negeri itu. Rafik berbaik hati memberinya makan dan akomodasi gratis di rumahnya seraya Al menjelajah kesana kemari. Al juga tidak menyangka Rafik bisa ada disini. Mereka putus komunikasi sejak Al kehilangan nomor ponsel Rafik. Rupanya pemuda itu melanjutkan kuliahnya di Paris dan mengambil pekerjaan paruh waktu di restoran Timur Tengah tersebut. “I see. Anda menguasai berapa bahasa asing?” cecar Lio penasaran melihat Al fasih berbahasa Perancis. Padahal setahunya dari Sam, Al lama tinggal di Jerman. Mengingat Sam, hatinya kembali ngilu. “Inggris, Perancis, Jerman, Belanda dan sedikit bahasa Arab.” “Wow!” seru Liona takjub. Matanya membulat. “Bagaimana bisa belajar bahasa sebanyak itu?” “Language is about practising. Saya punya teman kuliah dari berbagai negara. Jadi, ya begitulah,.” jawab Al sekenanya. Liona tersenyum kecut. “Saya hanya bisa bahasa Jepang selain bahasa Inggris, dan sedikit bahasa Kanton.” “Not bad,” jawab Al tersenyum. Melihat senyum yang terbit dari wajah Alfaraz, sedikit mengubah kesan ketus dan kaku dari pria yang wajahnya seperti kanebo kering itu. Pesanan mereka datang tak lama kemudian. Al mempersilakan Liona menyantap makanannya. “Maaf, saya tidak membawamu makan di restoran mewah.”  “Anda menyindir saya?” tukas Liona tajam. Ia memang tidak terbiasa makan di tempat-tempat seperti ini. Gaya hidupnya yang jetset, membuatnya hanya mengenal restoran-restoran mahal untuk mengisi perut. Ini pertama kalinya ia makan ala street food yang menurutnya tidak terlalu buruk. Al mendongak heran. “Kenapa saya harus menyindirmu?” “Sepertinya begitu.” “Saya tidak tahu bagaimana gaya hidupmu. Jangan sembarangan mengambil kesimpulan. Suudzon itu termasuk dosa besar.” Liona mengabaikan Al. Ia meneruskan mengunyah burger ala Timur tengah yang sialnya terasa sangat nikmat di lidahnya. “Anda tidak bertanya kenapa saya tidak ikut shalat meski saya muslim?” tanya Liona di sela-sela kunyahannya. Al mengerutkan keningnya. “Ibadahmu bukan urusan saya.” “Kenapa? Bukannya tadi menurutmu, wajib mengingatkan sesama muslim?” “Menyangkut rukun Islam yang lima poin itu, adalah ranah pribadi masing-masing. Kamu mau shalat atau tidak, puasa atau tidak, itu urusanmu. Lain hal kalau kamu saudara perempuan atau isteri saya dimana saya ikut menanggung dosa, saya wajib mengingatkan,” jawab Al panjang lebar. Lio termenung tidak menyangka Al bisa berkata seperti itu. Biasanya, orang-orang sok ikut menyuruhnya beribadah, mengeluarkan dalil dan ayat sebanyak mungkin yang terkesan menggurui bahkan menghakiminya. Keduanya melanjutkan makan dalam keheningan. Liona tak lagi bertanya, begitu juga Al yang sibuk mengunyah makanannya. Setelah mereka selesai makan, Al kembali bertanya. “Kamu punya visa Schengen?” “Tentu saja.” Ia menatap mata Liona dalam-dalam. “Keberatan menghabiskan sisa liburan bersama saya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD