Liona tersenyum masam. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Tangannya bersidekap dengan sorot mata tajam menusuk. Penilaian sinisnya terhadap watak mayoritas laki-laki kembali muncul.
Berlibur bersama? Yang benar saja!
“Sepertinya tinggal lama di luar negeri tak mampu mengikis sisa-sisa peninggalan watak kolonial dalam diri Anda,” Sindirnya sinis.
Al mengerutkan dahinya bingung. “Maksudmu?”
“Diberi hati minta jantung!”
Al ikut bersidekap dan matanya membalas tatapan dingin Liona. “Dan sepertinya tinggal di Singapura juga tak mampu membuatmu berpikir terbuka. Otakmu masih saja cetek!”
Liona ternganga. “Kau...!”
“Memangnya salah jika saya mengajakmu berlibur bersama?”
“Dan kenapa kita harus berlibur bersama?” balas Liona murka. Ia mencondongkan tubuhnya kedepan.
“Saya hanya mengajakmu liburan, dan seharusnya, jawabannya hanya 'ya' atau 'tidak'!” seru Al jengah. Nada suaranya naik satu oktaf dari biasanya. “Kalau tidak mau, ya sudah! Kenapa harus repot-repot mempertanyakan alasan saya mengajakmu? Perempuan aneh!”
Al menggerutu dalam hati. Baru kali ini ia menemukan lawan bicara yang berbelit-belit seperti Liona. Berbeda dengan wanita-wanita bule yang lebih lugas dan logis. Otaknya lama-lama bisa meledak kalau begini.
Tujuannya mengajak Liona hanya satu, mengulur waktu dan mengorek informasi sebelum menentukan langkah berikutnya.Jika pada akhirnya Liona bukan wanita yang ia temui di Siprus, itu artinya ia harus melanjutkan pencariannya.
Hanya saja, sepasang mata indah itu, bila dilihat lebih lama, semakin membius dan menambah keyakinannya.
Liona terhenyak. Ia berusaha meredakan emosi dan menambah kesabaran menanggapi sikap Al yang ketus dan seenaknya dalam berbicara. Benaknya menimbang berbagai kemungkinan yang bisa terjadi pada mereka jika ia memutuskan menerima atau menolak tawaran Al.
Punya banyak pengalaman buruk dengan kaum Adam yang kebanyakan hanya menginginkan tubuhnya, membuatnya lebih berhati-hati. Jangan salahkan dirinya yang ingin membentengi diri dari sisi b******n kaum lelaki.
“Saya bukan, ehmm ... “ Liona terlihat ragu-ragu sebelum melanjutkan. “... bagaimana Anda menyebutnya, mahram Anda,” kilahnya mencari alasan.
“Apa berlibur butuh mahram segala?” jawab Al ketus. Alisnya naik semakin tinggi. “Aturan dari mana itu?”
Tinggal lama di Jerman, bisa dibilang membuka wawasannya. Meski ia tidak terlibat pergaulan bebas layaknya orang kebanyakan, ia juga tidak membatasi pergaulan dengan lawan jenisnya.
Ia hanya manusia biasa, hidup lurus menjalankan perintah agama sewajarnya. Bukan tipe pria alim dan religius yang repot-repot memikirkan mahram dan lain-lain dalam menjalin hubungan pertemanan.
Baginya, adalah hal yang biasa berlibur bersama lawan jenis, apalagi statusnya hanya sebatas teman. Ia pernah berkelana di daratan Eropa berdua saja dengan teman perempuan yang berasal dari Rusia. Mereka bertemu di sebuah situs online yang menyediakan layanan mencari rekan seperjalanan.
Bukan apa-apa, semata-mata demi menghemat biaya dan akomodasi yang biasanya ditawarkan lebih murah pada pelancong yang datang lebih dari satu orang. Tidak ada yang salah dengan itu, bahkan tidur sekamar pun walaupun berbeda ranjang adalah hal yang biasa bagi para backpacker.
Apa salahnya? Toh, mereka tidak berbuat yang aneh-aneh.
“Disini bukan Indonesia dimana kamu bisa digerebek tidur sekamar tanpa buku nikah,” sambung Al tersenyum miring. “Lagipula, kita berteman, ‘kan?”
“Who? We're not friends,” bantah Liona berjengit tidak suka.
“Lalu, kenapa tidak membantah saat saya memperkenalkanmu dengan Rafik sebagai teman saya?”
“Itu hanya basa-basi untuk menyelamatkan mukamu!”
“Apa pentingnya menyelamatkan muka saya? Kita bukan siapa-siapa!”
Skakmat!
Liona terdiam tak mampu menjawab.
Al tersenyum. “Jadi, bagaimana? Kita berteman?” tambahnya merasa di atas angin.
Liona menimbang-nimbang dalam hati. Matanya menyipit tanda otaknya sedang bekerja keras.
Bila dipikir-pikir, tidak ada salahnya juga. Al kelihatannya sama sekali tidak tertarik padanya dan sepertinya, cukup aman berada di dekat pria ini selama ia menjaga garis batasnya sendiri. Lagipula, menambah satu orang teman lagi dari kalangan pecinta sesama jenis bukan hal yang buruk. Posisinya sebagai perempuan tidak akan terancam.
Tapi, apa benar pria ini gay?
Ia mengangkat tangannya ragu-ragu membentuk kepalan, membalas uluran tangan Al yang juga terkepal.
“Friends,” katanya malas.
“Good!” timpal Al datar menutupi rasa senangnya. “Jadi setelah ini, kemana tujuanmu?”
“Sardinia.” Lio menghela napas. “Saya berangkat besok.”
“Ok, I'm in. Sudah pesan tiket?”
“Sudah booking, sih,” ucap Liona. Ia memang sudah memesan tiket tadi siang, namun belum membayarnya karena masih menimbang-nimbang keputusannya.
“Ada tujuan khusus ke Sardinia?”
“Not your bussiness!” dengus Liona ketus.
“Mulai sekarang kita harus saling mengetahui tujuan masing-masing. Bukankah kita berlibur bersama.”
Liona memandang Al geram.
Al mengangkat tangan tanda menyerah. “Turin salah satu kota yang indah. Sebelum ke Sardinia, lebih baik kita kesana dulu.”
“Kenapa bukan Milan?” balas Lio penasaran.
“Milan sudah terlalu biasa.”
“OK,” sahutnya pendek. Ia tidak peduli harus kemana terlebih dahulu. Malam ini, ia harus membangun kepercayaannya terhadap pria ini sebelum esok pagi menjelang.
***
Al menyarankannya untuk mengemas barang-barang seperti pakaian untuk beberapa hari ke depan dalam sebuah ransel yang ia beli sebelum kembali ke hotel. Sementara dompet, ponsel dan dokumen perjalanan, ia kemas dalam tas selempang berukuran kecil yang bisa dibawa tidur untuk menghindari pencurian.
Entah perjalanan seperti apa yang akan ia jalani nanti, yang pasti pria itu menjanjikan nuansa liburan yang berbeda. Ia hanya bisa mengangguk pasrah, karena sepertinya Al lebih menguasai medan yang dituju.
Setelah merasa cukup, Liona mengunci koper yang masih terisi separuh dan membawanya turun ke lobby dimana Al telah menunggu. Ia menitipkan koper tersebut pada Al untuk dibawa kembali ke Indonesia. Sedangkan untuk kepulangannya nanti, ia bermaksud mengambil penerbangan langsung dari Italia.
***
“Lo besok ada agenda kemana?” tanya Al pada Ian di kamarnya. Pria itu terbaring kelelahan setelah menidurkan Rafael.
“Nggak tahu. Kayaknya setelah dari sini, Padre mau ke Praha. Kenapa, Bang?”
“Gue boleh misah, nggak?” tukas Al tak enak hati. Mereka datang bersama dan ia berniat memisahkan diri di hari ke tiga. “Sorry, lo nggak apa-apa ‘kan, mengurus Rafa?”
Ian mengangkat bahu. Ia sudah pasrah menjadi babysitter sementara karena bocah ini mengekorinya setiap saat. “Nggak masalah. Lo mau kemana memangnya, Bang?”
“Italia.”
“Oh ya? Sendirian?”
“Bukan urusan lo!” seru Al melotot.
“Nggak usah ngegas juga kali, Bang. Lo kayak sama siapa aja!” balas Ian sewot. “Apa jangan-jangan lo jalan sama cewek?” lanjutnya curiga.
“Apaan, sih?” Al mendengus salah tingkah. Ia membalikkan badannya keluar dari kamar Ian menghindari pertanyaan lebih lanjut. Terkadang, Ian seperti punya radar tak kasat mata bila bicara soal perempuan. Al tidak mungkin jujur pada adiknya itu bahwa ia berniat pergi dengan Liona.
Apa kata dunia nanti?
***
Turin dikenal sebagai kota yang istimewa di Italia, seperti Yogyakarta di Indonesia. Kota ini juga dikenal sebagai surga bagi pecinta coklat Italia.
Penerbangan dari Paris ke Turin memakan waktu satu setengah jam. Selama di atas pesawat, Liona sibuk berpikir sendiri sambil sesekali melirik Al yang tertidur pulas di sampingnya.
Benaknya berkecamuk. Entah setan apa yang menggodanya mengikuti ajakan pria ini.
“Kamu tidak keberatan ‘kan, saya ajak jalan-jalan ala gembel?” tanya Al setibanya mereka di Torino Airport pukul sebelas siang waktu setempat.
“Hah?” Liona terperangah. “Maksudnya?”
“Backpacking sering disebut jalan-jalan ala gembel, meskipun tidak semua pelakunya adalah orang-orang kekurangan uang.”
“Apa saya punya pilihan lain?” dengus Liona sinis. Ia sudah terlanjur sampai di sini.
Al terkekeh. “Percayalah, jalan-jalan ala gembel tidak terlalu buruk. Kamu nggak akan masuk acara gosip sepulangnya dari sini.”
“Tapi, kenapa harus jadi gembel?”
“Itu hanya kiasan,” jawab Al. “Tidak selamanya roda kehidupan itu ada di atas. Bisa jadi hari ini kamu hidup mewah, besoknya belum tentu. Biasakanlah hidup dalam semua keadaan. Lagipula, tidak harus menunggu jadi orang kaya untuk menikmati jalan-jalan di luar negeri.”
Liona terdiam. Selama ini, ia berlibur dengan segala fasilitas dan kemewahan. Apa yang ia minta, tersedia di depan mata dengan layanan paripurna.
Ia mengakui, terkadang, itu membosankan!
“Saya pernah liburan di tiga belas negara hanya berbekal uang sembilan ratus Euro.”
“What?” Liona menganga tak percaya. “Sembilan ratus Euro? Bagaimana bisa?”
Uang sebanyak itu hanya cukup untuk biaya kamarnya dua malam di Paris dan Al bisa hidup untuk satu bulan?
Al mengangkat bahu. “Tergantung niat.”
Lio tidak lagi bertanya. Ia mengikuti langkah kaki Al yang membawanya ke penginapan terdekat.
Al mencari hostel yang lumayan murah untuk mereka berdua walaupun ia mampu menginap di hotel mewah. Semata-mata karena rindu merasakan pengalaman menjadi backpacker lagi setelah hampir empat tahun tidak lagi dilakoninya karena kesibukan.
Dalam hati ia merasa bersalah telah membawa Liona menghabiskan liburan dengan gaya tidak biasa seperti ini. Menurut cerita yang ia dengar dari Sam, Liona hidup serba berkecukupan dengan fasilitas kelas atas dan harta berlimpah.
“Lima belas Euro,” pintanya menadahkan tangan pada Liona setelah bernegosiasi dengan pemilik hostel tempat mereka menginap.
“Hah?” Liona melongo.
Al berdecak kesal. “Kamu tidak berpikir saya menanggung akomodasimu, ‘kan?”
“Saya juga punya uang!” jawab Liona ketus setelah tersadar. Raut mukanya berubah geram.
“Yang bilang kamu nggak punya uang siapa? Santai saja!” sahut Al datar menerima lembaran kertas dari tangan Liona.
Liona merengut malu. Untung saja ia menyiapkan uang cash dalam dompetnya.
***
Pukul sembilan malam, mereka kembali ke penginapan setelah lelah seharian menjelajahi wilayah setempat dan mencicipi berbagai hidangan khas daerah lokal.
Liona merasa kakinya melepuh dalam sneaker yang ia kenakan, saking panjangnya perjalanan yang sialnya mayoritas dilakoni dengan berjalan kaki.
Ia tidak yakin tubuhnya masih bisa bangun esok pagi. Persendiannya linu. Ia mengguyur tubuhnya di bawah air hangat yang disediakan pihak hostel dengan membayar tambahan biaya sebesar dua Euro lagi atau harus puas mandi dengan air dingin.
Mereka berdua sama-sama mendapatkan posisi paling atas di ranjang yang terletak saling bersisian. Kedua tempat tidur bertingkat dua itu hanya berjarak sekitar satu setengah meter satu sama lain. Bagian bawahnya telah di isi turis lain yang belum juga kembali sampai detik ini.
Al menarik selimut sampai batas d**a dan menyelipkan kedua lengannya di bawah kepala sambil menatap langit-langit kamar. Matanya belum mengantuk sama sekali, begitu juga kelihatannya Liona yang berbaring gelisah di atas tempat tidurnya. Mungkin wanita itu tidak terbiasa menginap di tempat murah dan berfasilitas seadanya.
“Maaf, kamu merasa tidak nyaman?” Al membuka suara.
“Tidak masalah,” Jawab Liona berbohong. Ia memang merasa tidak nyaman, karena belum terbiasa.
Hening.
“Siapa tokoh sastra favoritmu?” Al membuka percakapan sambil menunggu kantuk menghampirinya.
“Heathcliff.”
“What?” Al terperangah. Ia memutar badannya menghadap Liona dan bertanya dengan nada menyelidiki. “Seberapa pahitnya hidupmu sampai menjadikan Heathcliff sebagai idola?”
Liona tercenung sejenak. Matanya menerawang. Ia menghela napas sebelum menjawab lirih. “Hidup saya ... sangat pahit!”