Heathcliff bisa dikatakan sebagai karakter paling gelap di sepanjang sejarah sastra klasik. Tokoh utama dalam novel karangan Emily Brontë itu, adalah seburuk-buruknya manusia meski dalam cerita tersebut tidak ada satupun tokoh yang cukup baik.
Dibutuhkan perspektif yang berbeda untuk menemukan apa itu yang baik dan yang buruk dalam membacanya. Gelap. Suram.
Kisah cinta dalam bacaan wajib siswa di Amerika ini sangat tragis. Berbeda dengan Romeo dan Juliet yang meski tragis namun masih menyisakan cerita manis untuk dikenang, Wuthering Heights jauh dari itu. Dimana-mana hanya ada kegelapan, dendam, cinta, kebencian dan kemarahan bergumul menjadi satu dan menjadi bukti dari rapuhnya konsep moralitas di abad itu.
Dua tokoh utamanya, Catherine dan Heathcliff diibaratkan setan dengan kemarahan berapi-api. Heathcliff digambarkan sebagai pria tak berperasaan, tamak, licik, serakah akibat dendam, karena satu hal, cinta.
Buku ini, bahkan di banned di Kanada karena bahasanya yang penuh sumpah serapah dan tidak sesuai dengan norma kesopanan setempat.
Dan Liona memilih tokoh terburuk dari yang paling buruk?
“What's going on with you, Lio?” desau Al lirih.
Liona menoleh secepat kilat. Darahnya berdesir hangat kala mendengar untuk pertama kalinya, Al memanggil namanya. Di telinganya, itu terdengar — manis, berhubung tabiat pria ini selalu ketus dan galak.
Sepasang mata cokelat gelap itu, berpendar menatapnya nanar.
Cepat-cepat ia memalingkan muka agar Alfaraz tidak menangkap perubahan apapun di rona wajahnya.
Ia melirik dari sudut mata. Al masih setia menunggu jawaban.
“Bukan berarti saya menyukai Heathcliff lalu dia membawa pengaruh buruk dalam hidup saya, bukan itu.”
“Lalu?”
“Menurut Anda, Heathcliff itu bagaimana?” Liona balik bertanya.
Al mengangkat bahu. Tangannya bersidekap di bawah selimut. “He's a villain.”
“Jangan lupakan, dia juga korban.”
“Pada awalnya, ya. Tapi, balas dendamnya diluar logika saya. Out of sense.”
“Asal Anda tahu, logika dan perasaan seringkali bertentangan.”
“But he's a man!” Al membantah. Logikanya sebagai laki-laki tidak terima dengan dendam membara yang dibawa Heathcliff seumur hidup.
“Dia hanya membalas sakit hati karena kehilangan cintanya. Dan kalau dipikir-pikir, tak satupun tokoh di Wuthering Heightsyang punya karakter baik.”
“Dan kamu memilih yang terburuk?”
“Lalu, saya harus memilih siapa? Catherine Earnshaw?” Liona mengerutkan dahi. “Dia perempuan manja yang mencampakkan Heathcliff demi Edgar Linton karena kekayaan dan status sosialnya.”
“Logis, ‘kan? Hari gini, hidup pakai cinta?” Al mendengus sinis.
Liona terkekeh. “Jangan lupakan bahwa mereka hidup di era Victoria.”
“Saya rasa, tak ada yang berubah dari tatanan dunia lama dan dunia baru. Cinta tak bisa dimakan,” ujar Al lugas. “Apa menurutmu, kalau Cathy memilih Heathcliff, ada jaminan tiga tahun kemudian mereka hidup kaya raya sesuai keinginan Cathy?”
“No. Justru karena ia tak dipilih, menjadi motivasinya untuk mencari harta sebanyak-banyaknya dan membuktikan bahwa dia layak bagi keluarga Cathy yang menyiksanya.”
“See? Cinta hanya omong kosong!”
Liona tersenyum menoleh ke seberang ranjangnya. “Anda pernah jatuh cinta?”
“Hmm?” Al menggumam. “Tidak, tepatnya belum. Dan saya berharap cinta tak membawa pengaruh buruk bagi hidup saya seperti Heathcliff.”
“That's how you'll never know the way he lived his life. Anda tidak bisa berempati terhadap karakternya, karena Anda sendiri tidak tahu cinta itu apa.”
“Dan seharusnya Heathcliff tidak kembali lagi ke rumah itu,” kata Al kembali ke topik pembicaraan.
Liona membuang napas. “That's how a revenge works. Bagi Heathcliff, Cathy adalah hidupnya, agamanya, pusat dunianya, begitupun sebaliknya. Tapi ketika sadar, semua sudah terlambat bagi Cathy.”
“Jika Heathcliff bisa legowo menerima nasibnya, hidup mereka yang terlibat tak akan berakhir setragis itu sampai di akhir cerita.”
“Jika memang begitu alur yang ada dalam kepala Anda, tidak akan ada Wuthering Heights by Emily Brontë. Mungkin, judulnya berubah menjadi Thrushcross Grange by Mr. Lockwood!” ketus Liona sebal.
Skakmat!
Al terdiam. Argumennya lenyap.
Ya, setiap penulis mempunyai alurnya sendiri dan setiap mereka yang membaca, memiliki spekulasi dan harapan yang berbeda.
“Seberapa besar Heathcliff mempengaruhimu? Apa kamu berniat melakukan hal yang sama seperti yang Heathcliff lakukan?” tanya Al ragu. Ia berdoa dalam hati semoga mendapatkan jawaban diluar spekulasinya.
Liona mendelik. “Jangan gila! Saya tidak seburuk itu!”
Al diam-diam menghembuskan napas lega. Jujur saja, melihat Liona menceritakan kesakitan tokoh idolanya seperti memuja, ia ngeri wanita itu akan membalaskan rasa sakitnya karena ditinggal Sam menikah. Walaupun ia tahu, kisah Sam dan Liona bahkan tidak pernah dimulai.
“Kenapa bukan Mr. Darcy?” kata Al kembali mengingatkan Liona akan sastra klasik lain yang juga terbit di abad ke delapan belas, Pride and Prejudice.
“Kisah borjuis tampan di era Victorian yang menikahi perempuan biasa dari pedesaan? That's too good to be true!” Seru Liona sinis.
Al menoleh. “Bukannya itu impian setiap perempuan? Menikah, happily ever after.”
“There's no such a happy ending. Kisah-kisah seperti itu hanya ada dalam dongeng gadis-gadis remaja yang terlena oleh cinta!”
“Setidaknya kisah itu memberi harapan manis.”
“Hmm.”
“Jadi, apa pengaruhnya Heathcliff dalam kepahitan hidupmu?” Al tidak tahan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Ada sesuatu dalam air muka gadis itu yang menarik perhatiannya. Ia membaca aura getir, sendu dan kepedihan yang membayang samar.
Liona menoleh dan menatap Al sembari menimbang-nimbang apakah kisah hidupnya layak dipercayakan pada pria ini.
Al menunggu.
Liona menarik selimut sampai bagian lehernya.
“Tidurlah. Kamu pasti lelah,” Katanya sambil menarik selimut sampai menutupi seluruh kepala dan memutar tubuhnya memunggungi Al.
Kamu?
Al termenung. Senyuman tipis tercetak samar di bibirnya sejurus kemudian.
What a progress!
Sepertinya, ia bisa tidur dengan nyenyak malam ini.
***
Lio terbangun setelah matahari menghangat pukul sepuluh pagi. Ia melirik ke samping dan tak menemukan Al di tempat tidurnya. Ia meregangkan tubuhnya yang pegal-pegal karena tidak terbiasa tidur di ranjang sempit dengan kasur tipis seperti ini.
Setelah merasa cukup, ia merapikan tempat tidurnya dan membasuh tubuh di kamar mandi.
Ia keluar dari penginapan dan menemukan Al tengah duduk di seperangkat kursi santai dengan secangkir kopi di depannya. Pria itu mengusap-usap ponsel di genggamannya.
Al yang melihat Liona sekilas, memanggil gadis itu dan mempersilakannya duduk di sebuah kursi kosong. “Bagaimana tidurmu?” tanya Al berbasa-basi.
“Baik.”
“Saya tahu kamu tidak nyaman. Jangan bohong.” Ketika terbangun semalam, ia melihat Liona gelisah berbalik dari kiri ke kanan mencari posisi yang nyaman bagi tubuhnya.
Liona merengut kesal.
Al menyodorkan secangkir kopi dan sepiring sarapan yang telah ia siapkan sejak tadi. “Makanlah.”
“Terima kasih.”
“Hmm,” gumam Al datar kembali sibuk dengan ponselnya.
***
Kota yang menjadi salah satu latar film Jason Bourne dan Italian Job ini ternyata menyimpan banyak keindahan dan objek bersejarah.
Liona mengiringi langkah Al saat menyusuri Palazzo Reale, sebuah istana kerajaan Turin, bangunan megah yang dibangun pada abad ke enam belas.
“Apa Anda juga bisa berbahasa Jepang?” tanya Liona seraya memotret objek-objek yang terlihat menarik dengan ponselnya dan mengunggahnya ke media sosial.
“Bukankah semalam panggilan 'Anda' itu sudah sedikit bergeser menjadi 'kamu'?” Al balik bertanya.
“Tidak!” Liona mengerinyit bingung. “Kapan?”
“Ah, sudahlah!” Al mengibaskan tangannya malas.
Liona mengabaikan Al dan kembali bertanya. “Jadi?”
“Apanya?”
“Anda memaki saya terakhir kali dalam bahasa Jepang.”
“Oh, itu .... bukankah itu kosakata yang umum?” jawab Al ragu-ragu.
“Dalam keseharian, tidak juga.”
“Masa?” Ia cengengesan menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Saya sering mendengarnya dalam ... anime.”
Liona melongo. “Anda sudah seusia ini masih menonton anime?”
“Apa salahnya? Siapa yang melarang?” tukas Al malu. Mukanya memerah.
Keduanya berpandangan sejenak dan tertawa terbahak-bahak.
Perubahan ekspresi Al akibat tawa yang membahana, tidak luput dari perhatian Liona. Wajah yang biasanya datar dan galak itu, menampakkan sisi lain, seperti bocah tanpa dosa.
Sejurus kemudian, tawa itu lenyap, berganti dengan keheningan yang canggung.
Setelah sekian lama terdiam, Liona membuka suara. “Apa ada toilet di sini?”
“Tentu saja.” Al bergegas menanyakan letak kamar kecil pada petugas yang berjaga di pos terdekat.
Petugas itu menunjukkan arah dengan tangannya dan melemparkan senyuman ramah.
“Grazie,” ucap Al berterima kasih. “Ayo!”
Sesampainya di depan kamar kecil, Liona bergegas masuk sedangkan Al menunggu di luar. Tidak berapa lama, gadis itu keluar lagi.
“Uhmm, saya boleh menitipkan ini?” pinta Liona ragu-ragu sembari mengulurkan tas selempang dan ponselnya.
“Oh, tentu saja,” sahut Al mengambil tas tersebut dan menyampirkan di bahunya. Tangannya menggenggam ponsel Liona.
Setelah Liona kembali ke dalam, sebuah pikiran tiba-tiba muncul melintasi benaknya. Ia bergegas menghidupkan ponsel tersebut dan mengusap layarnya yang ternyata tidak memakai kode apapun.
Al bersorak dalam hati. Tangannya menggigil mencari aplikasi media sosial Liona dan mengusapnya sampai profilnya terbuka.
Ampuni dosaku, ya Allah!
Ia seperti maling dan merasa amat bersalah telah lancang membuka ponsel tersebut tanpa seizin pemiliknya. Berbekal tutorial yang dibaca tempo hari dari internet, ia mencari kolom penerimaan request pertemanan dan menggesernya ke bawah dengan terburu-buru mencuri waktu.
Al mematung dengan wajah pucat pasi. Seketika ia merutuki kebodohannya dan ingin menenggelamkan diri ke dasar bumi, melihat request menjadi pengikut akun tersebut jumlahnya sampai ratusan.
Mulutnya menganga seperti orang t***l.
Damn! Nama profil i********: gue apaan, ya?