Rendra yang baru saja turun dari mobil disambut kepala pelayan langsung menanyakan bagaimana keadaan Aura.
“Bebatnya sudah bisa dilepas dan dokter menganjurkan nyonya Aura untuk belajar berjalan,Tuan …,” jawab Agusta memberitahu.
“Di mana dia sekarang?” Rendra kembali bertanya seraya melonggarkan ikatan dasi di leher.
“Di taman belakang, Tuan … sedang belajar berjalan.”
Setelah mendengar jawaban Agusta, Rendra menaiki anak tangga menuju kamar untuk membersihkan diri.
Perhatian Rendra yang sedang membuka pakaiannya di walk in closet teralihkan ketika mendengar suara tawa Aura.
Dia melangkah mendekati jendela besar yang mengarah pada halaman belakang.
Aura sedang berlajar berjalan dibantu Jerry, sesekali Aura tertawa kemudian memukul pelan pundak Jerry.
Seingat Rendra, Aura tidak pernah tertawa serenyah itu ketika sedang bersamanya.
Kening Rendra terlipat dalam dengan sorot mata tajam menatap sang istri yang kini berada dalam dekapan Jerry yang berhasil menangkap Aura ketika gadis itu hampir saja jatuh karena menginjak lantai batu yang licin.
“Nyonya Aura, Tuan muda sudah pulang …,” salah satu pelayan wanita menghampiri Aura yang baru saja menepuk pelan tubuh Jerry menyadarkan pria itu kalau sedang memeluk sang nyonya.
Jerry bergerak canggung melepaskan pelukannya sementara Aura mengucapkan terimakasih dengan polos tanpa perasaan apapun karena Jerry telah membantunya.
Aura berjalan tertatih mengikuti pelayan wanita menuju pintu belakang yang lebih dekat dengan ruang makan.
“Abang...tumben pulang siang …,” sapa Aura dengan binar di matanya namun yang ditanya malah diam saja menunjukkan ekspresi tidak bersahabat.
Aura enggan bertanya lebih lanjut, memilih diam setiap kali Rendra kembali pada sifat aslinya. “Sekarang Aura salah apa lagi?” Aura membatin.
“Enggak usah, aku bisa sendiri …,” tolak Rendra dingin ketika Aura hendak mengisi piring kosong untuknya.
Hingga menit demi berlalu, hanya sunyi pengisi kekosongan di antara mereka sampai akhirnya makan malam selesai.
Rendra beranjak dari kursi meninggalkan Aura padahal Aura sudah selesai makan sejak tadi, dia masih di sana karena menunggu Rendra.
Pria itu tidak mengerti dengan perasaannya sendiri, ada kesal menggelegak di d**a ketika melihat tawa ceria Aura ditujukan untuk Jerry.
Rendra melampiaskannya pada pintu perpustakaan yang dibanting sekuat tenaga tidak memperdulikan apa lagi menanyakan keadaan kaki Aura yang kini tertatih menaiki anak tangga dengan satu cangkir di tangan.
Aura mendorong pintu perpustakaan di mana sang suami tenggelam dalam pekerjaannya di depan MacBook.
Melangkah pelan dengan sedikit meringis, Aura mendekati meja Rendra kemudian meletakan cangkir teh yang dibawanya dari ruang makan.
Aura kembali tampak tak kasat mata bagi Rendra, lelaki itu sama sekali tidak meliriknya apa lagi mengucapkan terimakasih.
Jauh di lubuk hati Aura ingin rasanya menjambak rambut Rendra karena bersikapnya berubah-berubah, sepertinya terdapat tombol on off di belakang leher pria itu.
Rendra terkadang hangat, terkadang bersikap dingin tanpa Aura tau apa penyebabnya.
Aura duduk di sofa yang berada di tengah ruang perpustakaan, memijat kakinya yang terasa keram kemudian mengalihkan perhatian dengan membaca majalah yang ada di atas meja.
Lama-lama Aura merasakan kantuk mendera efek dari obat yang diresepkan dokter tadi siang.
Menyandarkan tubuhnya ke sofa, Aura pun memejamkan mata.
Semua yang dilakukan Aura bisa Rendra lihat jelas dari kamera di MacBook yang mengarah padanya.
Sedari tadi sambil bekerja, Rendra mengawasi pergerakan Aura dari mulai memijat kakinya sampai gadis itu terlelap.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Rendra mematikan MacBook, merapihkan berkas yang sudah dia susun lalu memasukan ke dalam tas.
Setelah menyiapkan semua keperluannya untuk esok hari, Rendra mendekati Aura yang tengah terlelap hingga terdengar dengkuran halus keluar dari hidung Aura yang lancip.
Perlahan Rendra menggendong Aura untuk memindahkannya ke dalam kamar.
“Abang...,” guman Aura dengan mata terpejam sempat membuat Rendra menghentikan langkah karena tubuhnya menegang.
Aura bergerak melingkarkan tangan di pundak Rendra kemudian melesakan kepala di leher pria itu.
Menempelkan bibirnya yang lembab tapi hangat di leher Rendra hingga lelaki itu berkali-kali menelan saliva kelat seraya memejamkan mata menetralkan debaran jantungnya yang ia sendiri tidak mengerti kenapa berdetak overacting di dalam sana.
***
Rapat yang dipimpin Rendra dari pagi beserta petinggi di perusahaannya baru selesai ketika jam menunjukan waktu makan siang.
Beberapa orang sudah kembali ke ruangannya tinggal George sang sahabat dan Patricia sahabat yang merangkap sekertaris masih berada di ruang kerja Rendra.
“Makan siang bersama?” tawar George kepada Rendra.
“Boleh...,” jawab Rendra santai.
“Apa kamu tidak akan memakan bekal yang dibawakan istrimu?” Patricia yang sedang membereskan berkas di meja Rendra mengingatkan membuat Rendra menoleh dengan tatapan bingung.
“Aku menemukan ini di tas kerjamu sewaktu mengambil berkas tadi,” imbuh Patricia kemudian seraya membawa satu goodiebag berisi kotak makan.
George terkekeh. “Sepertinya wanita pilihan kedua orang tuamu ingin kamu panjang umur dengan selalu makan makanan sehat buatan sendiri,” celetuk George yang kemudian beranjak berdiri.
“Baiklah Patricia, sepertinya hanya kita yang akan makan siang! Biarkan Rendra menyantap makan siang buatan istrinya tercinta,” ledek George disertai tawa kemudian pergi dari ruangan sahabatnya.
Rendra memilih tidak menanggapi ucapan George karena sahabatnya itu akan semakin menjadi bila dia membalas
Patricia masih belum mengerti ucapan yang baru saja dilontarkan George untuk Rendra mengenai istri dari pria itu.
Sang sekretaris kemudian pamit mengikuti George yang sudah sampai di depan pintu lift.
Setelah kepergian kedua sahabatnya, Rendra mengeluarkan kotak makan dari dalam goodiebag kemudian satu pucuk kertas terjatuh mengenai kakinya.
Sedikit membungkuk untuk memungut kertas di lantai kemudian mulai membacanya.
“Abang...jangan marah lagi ya, Aura minta maaf kalau bikin Abang kesel … tapi Aura bener-bener enggak tau apa salah Aura...Aura bikin roti sandwich kesukaan Abang buat makan siang, resepnya Aura minta dari mama Rena...Selamat makan Abang, semangat kerjanya yaaaa! Nanti pulang tolong kasih tau apa kesalahan Aura biar Aura enggak mengulanginya lagi.”
Rendra mendengus geli kemudian meletakan kertas di atas meja dan menggantinya dengan roti sandwich buatan Aura.
Kepala cerdasnya berpikir keras bagaimana menghadapi Aura nanti karena gadis itu pasti menunggu alasan dirinya kenapa bersikap dingin tadi malam.
Tidak mungkin memberitahu Aura bila kalau dia cemburu karena Aura terlalu dekat dengan driver.
Ah, apa tadi? Cemburu?
Rendra menggelengkan kepala kencang berusaha mehempaskan pikiran aneh mengenai perasaannya kepada Aura.
Tidak, dirinya tidak boleh cemburu kepada Aura karena cemburu tandanya cinta.
Tidak, dia hanya tidak ingin Aura menodai statusnya sebagai seorang istri yang tidak boleh terlampau dekat dengan pria lain selain suaminya.
Ya, Rendra akan memberi alasan demikian.
Aura harus tau bila kini statusnya adalah seorang istri.
Sementara di restoran yang terletak di dekat gedung perkantoran milik Gunadhya, George dan Patricia menyantap makan siang dengan begitu lahap karena pagi ini Rendra mendadak mengadakan rapat membuat keduanya tidak sempat sarapan.
“Tadi kamu bilang istri Rendra itu pilihan kedua orang tuanya jadi secara tidak langsung Rendra menikah karena dijodohkan, begitu?” Patricia bertanya di sela makan siang itu.
George mengangguk. “Sepertinya begitu karena beberapa hari lalu Rendra tampak tertekan dan ketika aku tanya mengenai perjodohan, ekspresi wajahnya terlihat membenarkan…,” balas George setelah menyeruput strawberry mojito pesanannya.
“Berarti aku masih mempunyai kesempatan untuk mendekatinya,” celetuk Patricia disertai senyum puas.
George mengendikan bahu. “Rendra tidak mencintaimu, Pat...Terima sajalah itu, kau sudah terlalu lama berusaha!”