“Abang....”
Rendra menoleh ketika suara lembut memanggilnya.
Dia bisa melihat bola mata jernih istrinya menunggu jawaban, sudah tentu jawaban mengenai alasan kenapa dia bersikap dingin kemarin malam.
Rendra menghembuskan nafas kasar dan suara pintu diketuk menyelamatkannya.
Detik berikutnya grandpa Salim dan grandma Merry masuk ke dalam kamar.
Mereka berempat kini duduk di sofa set yang berada di sudut kamar Rendra.
“Grandpa dan grandma sudah memikirkan keinginan kalian yang ingin tinggal terpisah.…” Grandpa menjeda kalimatnya.
Kata ‘kalian' yang terlontar dari mulut grandpa membuat Aura meringis di dalam hati karena dirinya sungguh tidak menginginkan tinggal terpisah.
Kehadiran tante Mery justru bisa membuatnya lepas dari rasa sepi.
Ketika makan malam tadi Rendra mengungkapkan keinginannya untuk tinggal terpisah, grandma Mery sempat menolak begitu pula grandpa Salim namun Rendra adalah Rendra yang keras kepala seperti sang papa.
Rendra mendesak agar grandpa Salim memikirkan kembali keinginannya untuk tinggal terpisah.
Maka setelah berdiskusi dengan sang istri, grandpa Salim mengijinkan sang cucu untuk pindah rumah bersama istrinya.
“Dengan catatan akan ada pelayan yang membantu Aura membersihkan rumah setiap siang dan kalian harus berkunjung setiap hari minggu untuk makan siang atau makan malambersama.” Grandpa Salim memberi syarat yang langsung dibalas anggukan cepat oleh Rendra.
“Tadinya Grandma pikir, Grandma tidak akan kesepian karena ada Aura di sini.” wanita tua itu tampak sedih.
“Nanti pulang kuliah Aura bisa mampir ke sini ya Grandma.” Aura berjanji dengan nada suara berlumur penyesalan.
Gadis itu juga menggenggam tangan grandma yang sudah dipenuhi keriput dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Grandma menganggukkan kepala seraya menghapus buliran bening yang menetes dari sudut matanya.
Sudut hati Rendra bergetar menyaksikan nenek kesayangannya harus menitikkan air mata menerima keputusan yang dengan sangat terpaksa dia ambil.
“Maaf...Grandma, Abang hanya ingin hidup mandiri,” ungkap Rendra dengan suara rendah.
Granpa Salim dan grandma Merry mengangguk mengerti kemudian keduanya keluar dari kamar dengan raut wajah masih dibayangi kesedihan.
Aura menghembuskan nafas berat merasa sangat bersalah, tidak tega mengecewakan kedua kakek dan nenek mertua yang begitu menyayanginya.
“Abang...mau ke mana?” Aura bertanya seraya mengikuti Rendra yang sudah merangkak naik ke atas tempat tidur.
“Tidur,” jawabnya datar.
“Abang udah baca surat cinta dari Aura?” tanya Aura berkelakar tanpa tahu malu seraya menaik turunkan kedua alisnya begitu menggemaskan.
“Hem...,” sahut Rendra menggumam.
“Jadi Aura salah apa, Bang?” cecarnya seraya menarik tangan Rendra agar sang suami mengubah posisi menghadapnya namun lelaki itu bergeming.
“Abaaaang, jawab donk…Bang! Aura salah apa?”
Rendra menghempaskan bokongnya di tepi ranjang kemudian mengusap wajahnya kasar menggunakan kedua tangan, setelah itu menatap Aura yang menampilkan ekspresi menuntut penjelasan.
“Kamu sadar kalau sekarang status kamu seorang istri?”
Aura mengangguk cepat dengan wajah polos sebagai balasan.
“Mulai sekarang tolong jaga diri kamu dari pria lain demi kebaikan kamu sendiri,” sambung Rendra lagi membuat kerutan di kening Aura semakin dalam.
“Trus Abang marah karena apa?” tanya Aura dan wajah polos itu benar-benar membuat Rendra tidak tahan untuk memberikan kecupan di wajah Aura.
Rendra memejamkan mata berusaha menjauhkan pikiran itu dari benaknya.
“Aku enggak marah, Aura …,” jawab Rendra dengan nada serendah mungkin.
Aura tersenyum, itu sudah cukup bagi Aura.
Rendra tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi bila suara rendah dan lembut itu sudah terdengar.
Rendra tersenyum kaku kemudian membalikan badan berbaring membelakangi Aura.
***
Hari sabtu dipilih Rendra untuk pindah ke rumah barunya, perumahan elit di tengah kota London menjadi pilihan Rendra untuk membangun rumah tangga bersama Aura yang entah bertahan hingga kapan.
Bagian depan rumah-rumah yang berderet rapih itu tampak sama dengan cat berwarna putih dan pagar besi pendek berwarna hitam.
Jangan harap terdapat taman di sekeliling rumah karena rumah satu dengan yang lainnya sangat berdempetan tanpa jarak.
Taman terdapat di bagian lain komplek itu lengkap dengan track jogging, pusat kebugaran dan kolam renang.
“Aura sayang...kalau suatu hari nanti abang bersikap menjengkelkan, pintu rumah grandma akan terbuka kapan saja untuk kamu,” kata grandma setelah pelukan itu terurai.
“Mama gimana sih, cucunya malah diajarin minggat,” omel grandpa Salim dengan suara lembut.
Rendra dan Aura mengantar Grandma Mery dan grandpa Salim yang hendak pulang setelah menemani mereka merapihkan rumah baru.
“Enggak perlu nunggu Abang nyebelin, Aura pasti sering main ke sana,” balas Aura disertai senyum hangat.
“Kamu enggak minta pindah karena ingin berbuat seenaknya sama Aura ‘kan, Bang?” Tiba-tiba saja grandpa bertanya dengan mata memicing penuh kecurigaan.
“Enggak lah, Grandpa...masa Abang nyakitin istri Abang sendiri?” tukas Rendra seraya merangkul pundak Aura membuat gadis itu menoleh lalu mengerjap takjub akan akting yang ditampilkan sang suami.
Hati Aura meringis mendengar Rendra-si suami ketus mengakuinya sebagai istri apalagi kini dia merasakan tangan kekar itu meremat bahunya erat.
Sementara Rendra mengutuk bibirnya yang lancang bicara, niat Rendra hanya ingin kakek dan neneknya berhenti mengkhawatirkan hubungannya dengan Aura.
Karena bukan hanya mereka berdua, kedua orang tuanya juga meneror Rendra setiap hari hanya untuk menanyakan bagaimana perkembangan hubungannya dengan Aura, malah mereka juga bertanya apakah Aura sudah hamil.
Apa-apaan mereka itu, apa yang bisa diharapkan dari pernikahan yang baru berjalan selama seminggu tanpa cinta?
“Aura, bilang sama Grandpa kalau Narendra menyakiti kamu! Nanti Grandpa coret dari hak waris,” ancam Grandpa terdengar bercanda namun ekspresi wajah seriusnya mampu membuat Rendra menciut.
Grandma Mery mengangguk antusias, seketika saja Rendra merasa menjadi cucu pungut yang diabaikan.
Keduanya melambai mengiringi kepergian mobil mewah grandpa Salim yang menghilang di belokan ujung jalan.
Aura masih berdiri tepat di samping Rendra dengan tangan sang suami yang masih merangkulnya namun beberapa detik kemudian Rendra melepaskan rangkulan, memutar tubuh kemudian melangkah menaiki anak tangga masuk ke dalam rumah.
“Di sini warung sebelah mana ya? Ada mamang tukang cuanki lewat enggak ya?” Aura bergumam bertanya pada dirinya sendiri kemudian menghembuskan nafas, rasanya begitu rindu dengan suasana kota Bandung di mana dirinya dibesarkan.
Beruntungnya Aura memiliki kakek dan nenek mertua yang menyayanginya sampai dia tidak merasa sendiri di negara orang karena selalu diabaikan sang suami yang memiliki kepribadian berubah-ubah dan begitu sulit dimengerti oleh Aura.
Acara membongkar barang mereka ternyata belum selesai, keduanya kini memilah barang untuk dimasukan ke dalam kamar masing-masing di ruang televisi.
“Ini apa, Bang?” tanya Aura seraya mengangkat kotak kado berwarna navy.
“Hadiah,” jawab Rendra singkat setelah mendongak dari kotak barang yang sedang dipilihnya.
“Dari?” Aura bertanya lagi.
“Sekretaris!”
“Siapa?”
“Patricia!”
“Bukan, maksudnya sekertaris siapa?” tanya Aura selanjutnya setelah pertanyaan singkat yang dijawab singkat juga oleh Rendra untuk kesekian kalinya terlontar.
“Sekertaris aku lah, siapa lagi?” Rendra berseru dengan menaikan intonasinya.
“Ya makanya jawabnya jangan satu kata gitu, yang lengkap dong, Bang! Biar Aura ngerti!” protes Aura merajuk.
Rendra memilih diam, enggan melanjutkan adu mulut yang tidak bermanfaat itu dan kembali memilah barang agar cepat selesai dan bisa tidur lebih awal.
“Baju tidur, Bang!” Aura berseru mengangkat isi dari kotak yang baru saja di bukanya.
“Ayo pake, Bang!” Aura mengangsurkan piyama berbahan satin berwarna biru kepada Rendra namun Rendra enggan menerimanya.
“Ayo Bang, kita pake!” Gadis itu menarik tangan Rendra untuk bangkit berdiri lantas memberikan piyama tersebut ke tangan Rendra setelahnya mendorong tubuh sang suami pelan ke dalam kamar untuk berganti pakaian.
Dengan malas-malasan Rendra melangkahkan kaki menuju kamar, entah kenapa dia harus mengikuti keinginan gadis itu.
Banyak yang tidak Rendra mengerti dengan dirinya beberapa hari terakhir, bahkan ketika kini dia sedang berganti pakaian pun dirinya masih tidak percaya melakukannya.