Bukan Cenayang

750 Words
Obat penahan rasa sakit yang diresepkan dokter ternyata membuat Aura mengantuk setelah makan malam tadi. Jam menunjukan pukul sebelas malam ketika Aura terbangun karena merasakan tenggorokannya kering. Dia hendak menurunkan kakinya namun suara bas seorang pria mendadak menghentikan niat tersebut. “Mau apa?” “Haus...” jawab Aura setelah menoleh pada asal suara yang ternyata sosok suaminya yang sedang duduk di sofa. Lelaki itu sedang menonton film Hollywood di saluran televisi berbayar. Rendra beranjak dari sofa melangkah keluar dan tidak perlu dijelaskan lagi kalau lelaki irit bicara itu tidak mengatakan sepatah kata pun walau hanya sekedar meminta Aura menunggu karena saat ini Rendra sedang menuju dapur mengambil air mineral untuk Aura. Rumah Granpa Salim yang begitu besar membutuhkan waktu bagi Rendra menjangkau dapur, beruntung sebelum sampai di dapur lelaki itu berpapasan dengan seorang pelayan dan meminta untuk membawa air mineral ke kamar. Setelah mendapat anggukan dari sang pelayan, Rendra kembali ke kamar. Pintu yang baru saja didorongnya terasa menabrak sesuatu dan dia baru sadar ketika Aura mengaduh karena keningnya terkena hentakan pintu yang baru saja dirinya dorong sekuat tenaga. Bukan hanya itu, Aura juga terhuyung ke belakang disebabkan oleh satu kaki yang digunakannya berjalan hilang keseimbangan. “Aaaarrrggghhh...,” pekik Aura. Gadis itu tidak jadi kayang ke belakang karena dengan sigap Rendra menarik tangan Aura yang kini berakhir dalam dekapannya. Aura terpejam beberapa saat, terlalu menghayati aroma masculin yang menguar di d**a bidang suaminya. “Kamu ngapain?” Nada suara Rendra yang meninggi seketika membuat Aura melepaskan pelukan dan kembali terhuyung mengingat hanya satu kakinya yang berfungsi. lagi-lagi Rendra menangkap Aura kemudian membawanya kembali ke atas tempat tidur dengan cara menggendong gadis itu. “Kamu sadar ‘kan kalau kaki kamu terkilir?” nada ketus terdengar cukup tinggi lalu Aura mengangguk sebagai balasan. Pandangannya tertunduk sedalam mungkin agar tidak menatap wajah sang suami yang terlihat sedang kesal. “Trus kenapa kamu turun dari tempat tidur?” “Mau ambil minum!” “Kamu enggak bisa sabar sebentar? Aku keluar itu lagi ambil minum buat kamu!” Baru saja siang tadi Aura merasakan Rendra yang telah berubah hangat kini lelaki itu kembali pada sikap aslinya. Mungkin setan kampus tadi sudah pergi dari tubuh Rendra. Setelah berkata demikian Rendra memutar tubuh menuju pintu karena terdengar ketukan dari benda tersebut yang ia yakini adalah pelayan yang sedang membawakan air. Tebakan Rendra benar, menerima air mineral dalam jar dan gelasnya kemudian meminta pelayan menutup pintu sebelum pergi. Ekspresi wajah Rendra tampak tidak bersahabat dengan kerutan di antara alis, meski begitu bersedia menuangkan air ke dalam gelas untuk Aura. Setelah menghabiskan air di dalam gelas, Aura menyimpan gelas tersebut ke atas nakas. Sementara Rendra mematikan televisi kemudian mematikan lampu besar lalu merangkak naik ke atas tempat tidur. Merebahkan tubuh memunggungi Aura yang sudah hilang rasa kantuknya karena baru saja terbangun setelah tidur selama beberapa jam. “Abang...,” panggil Aura tanpa berharap lelaki itu menjawabnya. “Aura enggak tau kalau tadi Abang keluar mau ambil air untuk Aura, Abang enggak bilang apa-apa sih.” Aura bicara dengan nada santai. “Aura bukan dukun Bang, yang bisa tau isi hati dan pikiran Abang...,” tambahnya lagi masih meski sesungguhnya di dalam sana jantung Aura berdetak kencang karena takut sang suami akan memarahinya. “Nanti lagi Abang bilang donk, biar Aura ngerti.” Kalimat terakhir yang dilontarkan Aura dengan nada manja mampu membuat Rendra menahan tawa karena semua yang dikatakan gadis itu adalah benar. Seharusnya tadi Rendra meminta Aura menunggu sebelum dirinya keluar kamar mencari air minum. Dia merasa bersalah karena telah berbicara ketus dan menaikan nada suara. Rendra membalikan tubuh menghadap Aura yang ternyata sedang berbaring miring menghadapnya. Pria itu menatap wajah Aura sementara yang ditatap malah memberikan senyumnya. Lampu tidur yang berada di atas kepala ranjang turut andil menambah cantik senyum di wajah Aura. “Maaf….” Yang hanya berani Rendra ucapkan di dalam hati. Rendra sadar telah bersikap jahat dan sudah tentu menyakiti Aura tapi kenapa gadis itu masih saja tersenyum, bahkan protes yang dilontarkan tadi pun berlumur rasa takut kepadanya. Tapi tunggu.... Rendra melihat warna biru di sudut kening Aura, apakah pintu tadi mengenai keningnya? Refleks tangan Rendra terangkat menyentuh kening Aura. “Ini, kenapa?” tanyanya penuh khawatir. “Kejedot pintu,” jawab Aura polos. Rendra mendengus tertahan, terselip tawa di sana lantas turun dari atas ranjang untuk mencari kotak obat. Gadis itu apa tidak tau bagaimana caranya marah? Padahal sudah bisa dipastikan kening Aura berdenyut nyeri bila sampai menghasilkan warna biru seperti itu namun malah dirinya yang mendapat amarah Rendra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD