hati hati

1205 Words
Pov Arfan "Yang, bangun! sayang!" ujar istriku membangunkan, sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku kereyepkan kedua mataku, agar bisa terfokus dengan keadaan sekitar. terlihat Bidadari yang tersenyum menyambut kehadiranku kembali, setelah lelap dari tidurku. "Ayo! bangun, terus mandi! tadi ibu sudah menelpon, menanyakan Kapan kita ke rumahnya!" lanjut istriku memberitahu. Mendengar penuturan istriku, dengan sedikit malas aku pun membangunkan tubuhku. lalu mengambil handuk untuk membersihkan badan dari keringat, yang tadi menempel sehabis melakukan kewajibanku terhadap istrinya. Selesai mandi aku memakai baju dengan rapi, yang sudah disiapkan oleh istriku. Bersiap untuk pulang ke rumah orang tuaku, karena minggu ini adalah jadwal pulang ke rumah ibuku. "Oh iya! tadi kata ibu sebelum pulang, beliau menitip pesan! supaya mampir ke supermarket terlebih dahulu." jelas Istriku, yang sudah berpakain rapih dari tadi, dia sudah siap berangkat kerumah ibu. "Ibu minta apa?" Tanyaku sambil mengambil kunci mobil yang ada di meja ruang tamu. "Minta beliin buah, katanya di rumahnya sudah nggak ada." Jelas istriku sambil mengikutiku keluar dari rumah, menuju carport. Setelah semuanya dirasa rapih, aku dan istriku masuk ke dalam mobil. kemudian pergi meninggalkan rumah yang sudah 3 tahun kurang kita tempati. Mobil pun melaju perlahan menuju rumah Ibu, sebelum sampai tak lupa membelikan buah pesanannya. Pukul 19.30. aku sampai di rumah orang tuaku. jarak rumahku dan ibu tidak terlalu jauh. namun kemacetanlah yang membuat kita datang terlambat. "Ayo masuk! Ibu sudah menunggu kalian dari tadi." ujar ibu yang berada di teras menyambut kedatangan kita, sambil mencium pipi anak dan menantunya. Aku hanya tersenyum mendapat perlakuannya, merasa bahagia karena memiliki dua wanita yang selalu menyayangiku. Ibu menuntun menantunya, menuju meja yang sudah dipenuhi dengan berbagai makanan, terutama makanan kesukaan kita berdua. Ibu memang wanita yang selalu mengertiku, selalu memanjakanku, karena aku hanya satu-satunya anak yang ibu miliki. jadi semua yang aku harapkan, Ibu tidak pernah menolaknya. termasuk menikahi Erni yang awalnya beliau tidak setuju. namun ketika aku memintanya dengan memaksa, Ibu Pun dengan berat hati mengijinkan. Selesai makan malam. aku menemani Ibu menonton TV di ruang keluarga, sedangkan istriku seperti biasa Dia merapikan perabotan bekas makan. Memang istriku sangat rajin, walaupun ibu memiliki ART, dia tidak canggung, membantu merapikannya, tanpa mengandalkan para pembantu di rumah ibu. Aku dan ibu mulai mengobrol, mulai dari kegiatanku di kantor dan di rumah. tak sedikit diselingi mengobrolkan orang yang kita kenal, supaya obrolan kita menjadi sedikit menarik. "Oh iya, Kenapa istrimu sampai sekarang belum hamil?" tanya ibu dengan wajah serius. "Namanya juga makhluk, Bu! kita hanya bisa berharap, namun tidak bisa mewujudkannya." jawabku membela. "Kamu harusnya lebih fokus untuk mempunyai anak, Ibu sudah tua, Ibu ingin di masa tua Ibu, dihabiskan dengan mengasuh cucu!" ungkap Ibu sambil menarik nafas pelan. "Ya semua usaha sudah kita lakukan, Bu! namun Ya mau bagaimana lagi?" jawabku yang merasa bingung, karena masalah anak memang susah ketika kita belum dipercaya. "Dan satu lagi! kamu jangan membiarkan istrimu terlalu dekat dengan si Farid, ibu takut suatu saat, itu akan menjadi bumerang dalam hidupmu!" lanjut nasihat Ibu, yang merasa khawatir dengan kedakatan mereka berdua. "Biarkan saja Bu! namanya juga sahabat, pasti mereka akan dekat, aku yakin Istriku yang baik, dan sahabat aku yang pengertian, tidak mungkin mereka berbuat tega di belakangku." aku menyangga pendapat ibu, karena memang benar selama istriku dekat dengan Farid, Aku tidak pernah menemukan hal-hal yang aneh. Atau mendapat laporan yang aneh. "Tapi walau begitu, kamu yang sekarang sudah menikah. Ibu harap kamu bisa membatasi istrimu jangan terlalu bergaul dengan si Farid, apalagi kamu dan mereka beda kantor, jadi nggak setiap saat kamu bisa mengawasi mereka." "Sudahlah, Bu! Jangan paranoid seperti itu, Ini zaman modern, zaman kebebasan, jadi ibu jangan punya pikiran senaif itu." jawabku tak mau kalah dengan pendapatku. "Beda, Fan! antara sudah menikah dan sebelum menikah, Ibu merasa ada yang aneh dengan mereka." Ibu mengungkapkan firasatnya. "Sudahlah Bu! lihat Istriku, yang begitu baik. mana mungkin dia menyakitiku, menyakiti kita. lihat saja sekarang dia masih sibuk di dapur merapikan peralatan makan." aku membanggakan istriku. Ibu hanya menarik napas pelan, sambil menatap nanar ke arahku. dengan Tatapan yang menggambarkan beliau begitu khawatir. namun aku tetap mengacuhkan tatapan itu, seolah apa yang dicemaskan oleh ibu hanya angin lalu. "Tehnya, Bu!" tawar Erni sambil menyimpan gelas di meja. Ibu hanya melirik sebentar, lalu menatap kembali ke arah televisi, dengan Tatapan yang begitu kosong. Setelah kedatangan istriku, ruang tamu menjadi hening seketika, suasana horor antara menantu dan mertua Begitu Terasa. "Kapan kamu mau memberikan Ibu cucu?" Tanya ibu tiba-tiba. Beliau bertanya perihal yang begitu sensitif, sehingga bisa membuat istriku terluka. "Sudahlah Bu! Ibu Jangan bahas itu terus." Gerutuku dengan nada suara yang sedikit kesal, rasanya tidak pantas seorang mertua memaksakan kehendaknya, yang sangat sulit untuk diwujudkan. Namun Erni hanya tersenyum menunjukkan gigi putih yang berbaris dengan rapi, tak sedikitpun dia menunjukkan wajah yang tersinggung dengan perkataan ibu. "Malah nyengir! kapan?" tanya ibu seolah memaksa. "Lagi berusaha, Bu!" jawab istriku, senyumnya yang begitu manis hilang seketika. Erni hanya tertunduk lesu meratapi nasibnya. "Berusaha terus, hasilnya mana?" ucapan Ibu seperti orang yang tidak beragama, padahal beliaulah yang selalu mengajarkan terhadap anak dan menantunya, tentang takdir. "Doakan saja Bu! Semoga saya bisa dengan cepat diberikan keturunan!" ucap istriku yang mulai terlihat raut wajahnya, yang begitu sedih, ketika ditekan terus-menerus. "Sudahlah Bu! kita sudah berusaha semaksimal mungkin, bahkan kita sudah menemui dokter kandungan terbaik yang ada di kota ini. kalau Tuhan belum mengizinkan, mau bagaimana lagi?" ungkapku yang merasa tidak enak, ketika istriku terpojokan seperti itu. padahal ketika ibu memojokkan istriku, harusnya Ibu juga memojokkan anaknya. karena anak tidak bisa hadir tanpa perjuangan keduanya. "Kalau Erni tidak bisa memberikan keturunan, mendingan kamu cari wanita yang lain saja!" ancam ibu yang terlihat tegas, wajahnya yang dipenuhi dengan keseriusan, menatap ke arah kita berdua yang duduk di hadapannya. "Ya Tuhan! ibuuuuuuuuuuuu! Ibu Tidak sepantasnya berbicara seperti itu, kepada istriku." bentakku yang merasa ucapan Ibu sudah kelewat batas. "Kamu tega membentak ibu?" ucap Ibu, terlihat matanya yang mengembun hendak menumpahkan cairannya. "Lagian kalau ngomong itu dijaga. belum tentu ini semua salah Erni, Siapa tahu saja ini adalah salahku!" Aku membela istriku karena memang sepantasnya seorang laki-laki membela martabat istrinya. "Sudahlah, sayang! kamu jangan membentak ibu! sana cepat masuk ke kamar!" Istriku yang baik itu menenangkanku, sehingga dengan terpaksa aku pun berjalan menuju lantai 2, agar aku tidak menjadi anak yang durhaka. Aku Meninggalkan Istriku yang sibuk menenangkan mertuanya, walau ucapan ibuku sudah tidak bisa di tolelir, Erni tetap menjaganya dengan penuh kasih sayang. Itulah kelebihan istriku, yang tidak pernah marah walaupun ibu sering berkata sangat menyakitkan. justru aku yang selalu kesal dengan sikap ibu yang semena-mena. Agrhhhhh!!!!! Teriakku setelah sampai di dalam kamar, yang dulu kujadikan tempat tidur, sebelum aku menikah. kujatuhkan tubuhku di tepian ranjang, sambil meremas kepalaku, yang sedikit terasa nyeri, memikirkan apa yang terjadi dengan hidupku . Walau Hidupku sangat bahagia, dengan memiliki istri yang pengertian, dan Ibu yang selalu perhatian. namun selalu ada saja yang mengganggu ketenangan itu. Sebenarnya aku tidak kesal sama ibu, aku hanya kesal sama diriku sendiri. karena Mengapa sampai saat ini momongan yang selalu aku impikan, belum hadir dalam kehidupan pernikahanku. banyak orang yang menganggapku mandul atau menuduh Istriku yang mandul, namun semua itu tidak benar, karena ketika kami mengecek di dokter kandungan, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan itu. memang Tuhannya saja yang belum mempercayai pernikahan kita, dengan hadirnya seorang anak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD