nasihat ibu

1293 Words
Pov Arfan "Kamu belum tidur?" tanya istriku yang baru masuk ke kamar. "Betah amat! ngobrol sama Ibu?" aku malah balik bertanya menyambut kedatangan istriku. padahal ibu selalu memojokkannya, namun istriku terlihat nyaman ketika mengobrol sama beliau, sehingga baru pukul 10.00, Erni baru masuk ke kamar. "Betah lah! kan itu ibuku, lagian ngapain kamu harus berteriak seperti tadi?" ujar istriku menyayangkan sikapku yang berlebihan terhadap ibu. "Kesal saja! seharusnya beliau mendoakan, agar kita cepat diberi momongan, bukan malah memojokkan. jadi tidak pantas seorang ibu berbicara seperti itu." jawabku meluapkan kekesalan. "Nggak boleh seperti itu! walau bagaimanapun beliau adalah ibumu, ibu kita!" jawab istriku yang nampak cuek. Erni membuka semua pakaiannya, lalu menggantinya dengan pakaian tidur. tidak memperdulikanku lagi, yang masih duduk termenung, mengingat kejadian yang tadi kualami. "Sudah tidur! jangan terlalu banyak pikiran!" ajak Erni sambil mematikan lampu, menggantinya dengan lampu tidur, Kemudian ia membaringkan tubuhnya di sampingku. "Terima kasih ya! kamu baik banget!" aku membalikkan tubuh menatap ke arah istriku yang terlihat samar, karena penerangan yang kurang. "Udah jangan banyak bicara! mending kita bobo." ungkap Erni sambil tersenyum, dengan perlahan ia memejamkan mata. Tak ada pergerakan lagi dari tubuhnya, menandakan Erni sudah masuk ke alam bawah sadarnya. melihat istriku sudah tertidur, dengan perlahan aku mulai memejamkan mata, meninggalkan kehidupan yang begitu rumit. ******** Keesokan paginya. setelah mandi dan mengganti pakaian, akupun dipanggil oleh istriku, yang sudah bangun dari subuh, untuk sarapan bareng di ruang makan. Walau Sebenarnya aku males sarapan bareng sama ibu, rasanya masih kesal saja ketika mengingat kejadian semalam. namun istriku terus memaksa. dan akhirnya dengan perlahan aku mengikuti istriku turun dari lantai 2. Tak ada pembicaraan ketika kita menyantap sarapan, ibu hanya diam fokus memakan sarapan yang ada di piringnya. Tidak seperti biasanya, beliau selalu mengajakku untuk bertutur sapa, menemani waktu sarapan. Selesai sarapan, Ibu langsung berdiri, meninggalkan kita. yang masih duduk menghabiskan sarapan masing-masing. "Sana temuin Ibu! minta maaf sama dia. mungkin kelakuanmu udah menyakiti hatinya." seru istriku sambil merapikan piring. "Biarin saja! biar Ibu ngerti dia tidak boleh membebani kita dengan permintaan yang sulit untuk diwujudkan." jawabmu sambil menyandarkan punggung ke kursi. "Hush! nggak boleh begitu! sana cepetan temuin!" Erni menarik lenganku untuk segera bangkit dari tempat duduknya. Kemudian dia mendorong tubuhku, untuk menemui ibu. bahkan saking baiknya istriku dia mengantarkan sampai depan pintu kamar. Namun sayang Ibu tidak berada di kamarnya, menurut salah satu asistennya, Ibu sedang berjemur di taman samping. Istriku kembali mendorong tubuhku, menuju taman samping. setelah berada di dekat Ibu, Dia pun kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya. "Sini duduk!" ajak ibu mempersilahkan, dengan suara lembut tak seperti malam yang berbicara memojokkan kita. beginilah sikap orang tua terhadap anaknya, kadang cepat marah, Kadang juga cepat baik. Aku mengikuti perintah ibu, duduk di kursi yang berada di sampingnya, kemudian menatap ke arah tanaman bunga dan tanaman obat, yang berjejer rapih di halaman samping. Karena semenjak kepergian bapak, Yang sudah meninggalkan kami beberapa tahun lalu. ibu terus menyibukkan diri dengan bertanam. menurutnya agar tidak merasa kesepian. sehingga seluruh area tanah kosong di rumahku, penuh dengan tanaman dan tumbuh-tumbuhan. "Bagus-bagus ya Bu! tanamannya." pujiku memecahkan suasana yang begitu Hening di pagi hari itu, memecahkan rasa canggung setelah perdebatan tadi malam. "Iya bagus karena ibu selalu merawatnya setiap hari." jawab ibu sambil memperhatikan bunga mawar yang sedang mekar di pagi hari, ditambah sinar mentari yang belum terlalu panas, membuat mawar itu terlihat sangat indah. "Itu! bunga apa, Bu?: Tanyaku yang mulai kepo. "Itu bunga sepatu, bunga yang sudah sangat langka, kalau dulu di setiap pekarangan rumah, pasti ada bunga itu." "Bagus ya!" gumamku lirih, mengagumi kecantikan bunga dengan kelopak yang begitu lebar. "Merawat bunga sama seperti merawat kehidupan!" jawab ibu sambil menatap ke arahku. "Kok bisa, filosofinya seperti itu?" Tanyaku mulai antusias, melupakan perdebatan tadi malam. "Iya sama karena ketika kita merawat bunga, kita akan menjaganya, dari benih sampai bisa tumbuh dewasa. setelah tumbuh dewasa, kita juga masih terus harus merawatnya, sampai pohon bunga itu mengeluarkan bunganya yang begitu indah. sama seperti kehidupan, kita harus merawatnya setiap saat, jangan sampai lalai! karena ketika kita lalai, bunga itu bisa layu, ataupun bisa terserang hama. sehingga keindahan dari kehidupan itu, akan sirna. hanya menyisakan pemandangan yang tidak elok untuk mata. maka Ibu titip pesan sama kamu! rawat keluargamu! rawat dirimu! agar bisa mengeluarkan bunga yang begitu indah." ungkap ibu panjang kali lebar, diakhiri dengan nasehat untuk kehidupanku. "Terima kasih ya bu! maaf kalau tadi malam perkataanku menyakiti ibu. aku cuma berharap, Ibu jangan terlalu memojokkan istriku, kasihan dia, kalau diperlakukan seperti itu. Erni sangat baik, Buktinya dia tidak pernah marah, walaupun banyak perkataan ibu yang menyakitkannya." "Ibu juga minta maaf! namun Ibu harap kamu jangan lalai, jangan sampai istrimu terlalu bebas, Ibu memang sayang sama Erni. Ibu tidak pernah membedakan mana anak dan menantu, semuanya anak ibu. namun ketika ada yang melakukan kesalahan, Ibu berhak menegurnya. karena walau bagaimanapun kalian adalah anak ibu!" lirih Ibu pelan terlihat wajahnya menunjukkan Aura ketakutan. Aku hanya menganggukan kepala, tak ada bantahan seperti semalam. mungkin sangat wajar, ketika seorang ibu mengkhawatirkan kelangsungan rumah tangga anaknya. Pukul 08.30. aku mengajak Ibu untuk masuk ke dalam, karena matahari yang sudah mulai terasa terik, sehingga tidak baik untuk tubuh kita. "Sudah minta maafnya?" tanya istriku yang berada di ruang keluarga. Sudah, terima kasih ya! kamu baik banget, kamu selalu menjadi penengah ketika ada perdebatan dengan ibu. kamu memang Istri terbaik!" aku mendudukkan tubuhku di samping istri, lalu menyandarkan kepalanya ke Bahuku. "Terus sekarang Ibunya ke mana?" tanya istriku sambil menatap ke arah wajahku. "Katanya mau mandi dulu, soalnya gerah setelah mengurus tanaman di samping rumah!" Tak Ada pertanyaan lagi dari istriku, dengan nyaman dia menyandarkan kepalanya. Matanya terfokus menatap ke arah televisi, membuatku merasa bahagia, berada di sampingnya, berada di dekat wanita yang selalu memberikan perhatian dan pengertian. bahkan selalu mengingatkan ketika aku melakukan kesalahan. aku mencium ubun-ubun kepala istriku, sebagai ungkapan terima kasih. "Belum mandi tahu! jangan cium-cium!" ujar istriku tanpa mengalihkan pandangannya. Aku hanya mengucek-ngucek rambut panjang milik istriku, kemudian memeluknya dengan erat. berumah tangga 4 tahun, tak membuatku merasa bosan dengan tingkah lakunya, dia selalu pandai membuatku terus merasa kagum, dan merasa nyaman berama-lama di sampingnya. Tring! tring! tring! Handphone istriku yang berada di atas meja berdering, dengan malas Ia pun bangkit, lalu mengambil handphonenya. "Kenapa telepon si Arfan nggak diangkat?" terdengar suara orang yang bertanya di ujung sana. karena istriku meloud Speakerkan suara panggilan itu. Aku menatap istriku, seolah bertanya siapa yang menelpon. tanpa dipinta, dia pun memberikan handphone itu ke arahku. Aku perhatikan nama yang tertera di layar ponsel milik istriku. "Halooooo!" sapa seseorang di ujung sana dengan nada sedikit kesal, karena tidak kunjung mendapatkan respon dari kita. "Sorry, rid! handphone ku di atas, jadi nggak tahu, kalau lu telepon." jawabku sambil mendekatkan telepon itu ke arah wajahku, agar suaraku terdengar jelas olehnya. "Pantes aja aku telepon berpuluh-puluh kali, tak ada yang mengangkat. kirain lu ke mana?" ujar Farid. "Ada apa? pagi-pagi kok telepon?" "Nanti sore, kita bikin ikan bakar, kebetulan gue lagi mancing nih! sambil melanjutkan pertarungan yang kemarin sempat tertunda." Farid mengungkapkan tujuannya menghubungiku. "Iya! nanti gua kabarin, soalnya masih di rumah orang tua, nih!" "Makanya, gua ngajakin lu sore. karena gua tahu sekarang Lu pasti ada di rumah orang tua lu." "Ya sudah! nanti gua kabarin lagi, tapi gua nggak janji ya!" "Oke! bilang saja lu takut kena bantai!" Tap! tap! tap! "Sial4n!" ungkapku sambil melihat ke layar handphone, memastikan bahwa telepon itu memang sudah benar-benar terputus. "Kenapa?" tanya Istriku yang sejak tadi memperhatikan. "Mau nggak, bikin ikan bakar?" "Aku terserah kamu saja ,aku kan istrimu, aku nggak bisa memutuskan." jawab Erni sambil menggulung senyum manja. "Ya sudah! Sehabis asar kita pulang ke rumah, sudah lama juga kan, kita nggak makan ikan bakar." "Terserah kamu, tapi pamit dulu ya sama ibu!" Jawab istriku sambil kembali merebahkan kepalanya di Dadaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD