Kembali ke masa kini. Dimana Renata yang berwajah pucat menahan mual dan malu sekaligus, bagaimana bisa dia memuntahkan isi perutnya di rumah mewah dan megah yang baru saja dijejakkan kakinya.
Beruntung pelayan dengan sigap membersihkannya, dan dia menyadari bahwa wajahnya menjadi berkali lipat lebih jelek dengan rambut berantakan dan mata memerah menahan tangis karena terlalu malu.
Saat ini dia bahkan berada di kamar yang sangat luas, kamar yang berukuran seluas rumah neneknya di kampung. Kasur yang besar dan terlihat empuk, lemari tiga pintu yang besar berwarna putih, ada televisi dan beberapa perlengkapan lainnya di dalam sana, termasuk meja rias dengan cermin besar yang terlihat indah.
“Kamu mandi dulu ya, setelah mandi dan berganti baju, tante tunggu dibawah, kita makan malam bersama,” ucap ibu Regan sambari tersenyum lembut pada Renata yang masih menunduk malu.
“Tan-te, kamar mandinya dimana?” tanya Renata saat ibu Regan berniat meninggalkannya, ibu Regan berjalan menuju salah satu pintu di kamar itu dan membukanya, “disini, kran air yang sebelah kanan air hangat, kran yang sebelah kiri air dingin,” tuturnya lalu menutup pintu kamar mandi itu dan berjalan melewati Renata. “Jangan lama-lama ya,” ucapnya sembari tersenyum lagi.
Renata melihat tasnya yang teronggok di atas kasur besar, sangat terlihat tak cocok berada di rumah mewah itu, karenanya dia memutuskan untuk segera mandi, tubuhnya pasti sangat bau saat ini demi mengalihkan perhatian dari benda-benda miliknya yang justru terlihat mencolok di dalam kamar mewah yang akan ditidurinya ini.
Dia pun membuka bajunya dan meletakkan di sudut walk in closet, memperhatikan bagian tubuhnya yang belum tumbuh sempurna, mematut diri di depan cermin besar dan mengumpulkan rambutnya jadi satu lalu meletakkan ke belakang tubuhnya dan berjalan menuju toilet dimana ada shower di dalamnya.
Disini Renata tak perlu lagi memompa air sebelum mandi seperti biasanya. Sudah ada air yang mengalir. Dia pun mencoba mengingat ucapan ibu Regan tadi dan memutar kran sebelah kanan, namun krannya diputar terlalu full hingga air berasap yang keluar dari shower, Renata berlari menghindar dan bersembunyi dibalik pintu kaca, membiarkan kepulan uap itu memenuhi kaca.
“Memangnya aku ayam mau dicopotin bulunya? Mandi pakai air mendidih kayak ini!” dengus Renata, dengan berjalan pelan dengan gaya menempel di tembok sambil berusaha menghindar, dimatikan kran air panas, mengganti dengan kran air dingin, dan dia pun merasa menggigil, otak kecilnya mencoba berpikir, dia pun membuka kedua kran itu sekaligus dengan setengah putaran sehingga air yang keluar cukup hangat untuknya, dan dia mencoba menikmati air itu mengguyur tubuh dan kepalanya.
“Ah ini baru pas, Renata pinter! Inget Renata inget! Setengah aja putarnya,” ucap Renata bermonolog dengan diri sendiri sambil mengangguk-angguk.
Dia pun mengambil shampo yang tersedia dan mencuci rambutnya, setelahnya dia mengambil sabun cair dan membuka dari botolnya, ya botol pump yang harusnya ditekan untuk mengeluarkan sabun cair, justru dia memperlakukannya dengan hal berbeda, membuka tutupnya dan meletakkan sabun cair di tangan lalu menyapukan sabun beraroma lembut itu ke seluruh tubuhnya, termasuk wajahnya.
Setelah mandi, dia kelimpungan sendiri mencari handuk, di kampung, biasanya jika dia lupa handuk dia akan berteriak, “Nekkk handuk!” namun kini, disini, dia harus memanggil siapa? Renata pun berdecih sebal akan ingatannya yang sering kali melupakan benda penting seperti handuk saat mandi.
Dia pun kembali berdiri di walk in closet, menatap ke atas yang mana terdapat lemari, dengan penasaran sambil menunggu air dari tubuhnya tiris, karena dia takut membasahi karpet tebal di kamar itu. Dia pun membuka lemari dan senyumnya mengembang saat melihat tumpukan handuk berwarna putih, dengan berjingkat dia pun mengambil handuk itu, terkadang dia sangat sebal dengan tubuh mungilnya yang bahkan tak menyentuh angka 156 senti itu, sehingga dia sering kesulitan mengambil benda yang tinggi.
Dengan usaha yang keras, dia pun berhasil mengambil handuk, namun ukurannya ternyata sangat kecil tak mungkin cukup menutupi tubuhnya, tak habis akal, dia pun membuka kotak lemari di sebelahnya dan menemukan handuk seperti baju, dia melihat kimono handuk itu dan membolak baliknya untuk memastikan bahwa yang dia pakai benar dan tak terbalik.
Setelah memakai kimono handuk, Renata mengeringkan rambut dengan handuk kecil tadi, melewati satu lemari kecil dan karena rasa penasaran yang tinggi, dia membuka lemari itu, tampaklah sandal berbahan bulu berwarna putih, seperti menemukan harta karun, dia sangat senang melihat sandal itu yang pasti cocok dikenakan dirumah ini, tak seperti sepatu bututnya.
Sambil berjalan riang dia keluar dari kamar mandi, dan bersiul seolah menyanyikan suatu lagu yang dia pun tak tahu lagu apa?
Membuka tasnya dan mulai memakai dalamannya, melihat hanya ada dua kaos di dalam tas itu, itupun dicari kaos terlayak yang dia punya dirumah, kaos belel warna putih yang warnanya sudah berubah kusam menjadi agak kekuningan. Celana jeans yang agak kepanjangan dan dia melipat bawahnya agar pas di kakinya.
Renata menuju meja rias dan meletakkan satu-satunya alat make up miliknya yaitu lip cream yang itupun sudah hampir habis isinya sehingga dia harus mengorek ke bagian terdalam untuk dapat memulaskan di bibir, menyisir rambut lurusnya yang masih agak basah, setelah memastikan dia siap, dia pun keluar dari kamar, dan terlonjak kaget melihat seorang pelayan yang sudah menunggunya.
Pelayan wanita berpakaian hitam putih, seragam khas pelayan itu pun mempersilakan Renata mengikutinya menuju ruang makan. Tak habis rasa kagum Renata melihat rumah sebesar ini, hingga beberapa kali tersandung kakinya sendiri, meskipun tak sampai jatuh namun yang dia lakukan jelas membuat pelayan tadi setengah mati menahan tawa.
Lalu Renata menuju ruang makan besar yang mana telah tersaji aneka makanan di atas meja, melihat Regan yang sudah tersenyum ke arahnya namun Renata tak membalasnya, menggidik karena membayangkan akan dinikahkan dengan om-om. Renata memilih membuang pandangan ke arah ibu Regan yang sudah berdiri dari tempatnya duduk dan menarik kursi di sebelahnya, berhadapan dengan Regan untuk Renata duduki.
Setelah Renata duduk di kursinya, beberapa pelayan mulai maju dan menyajikan makanan, meletakkan ke piring dengan tanpa banyak kata-kata, hanya beberapa kode anggukan dari para tuan rumah yang membuat mereka melanjutkan kerjanya tanpa kesalahan.
Renata hanya mengangguk-angguk saja ketika salah seorang pelayan meletakkan nasi di piringnya dengan ukuran sangat sedikit, juga sedikit lauk dan sayuran. Hingga Renata mengerucutkan bibirnya sebal. Sebegitu pelitkah mereka menjamu tamu? Sehingga makanannya hanya boleh sedikit yang dimakan.
Namun Renata tak melayangkan protesnya dan memilih memakan makanannya dalam diam.
“Kamu sudah lulus sekolah?” tanya Wijaya pada Renata, Renata mengangguk dengan mulut penuh makanan.
“Sudah, Om,” ucapnya pelan, takut makanan di mulutnya tersembur keluar.
“Sudah punya kartu tanda penduduk dong ya?” tanya Wijaya lagi yang diangguki Renata. Wijaya hanya tersenyum simpul melihat piring Renata yang hampir habis, mengedikkan dagu ke pelayan yang melayani Renata untuk menambah makanannya lagi, Renata tersenyum senang ketika sang pelayan menambah nasi untuk Renata, bahkan dia meminta satu sendok lagi, membuat ibu Regan terkekeh dan menahan tawanya.
“Besok kita belanja ya,” ucap ibu Regan pada Renata.
“Belanja afa?” ucap Renata sambil mengunyah makanannya yang mengisi penuh mulutnya persis orang kelaparan.
“Baju, alat make up dan hmm apapun yang kamu mau beli,” ucap ibu Regan. Renata membelalakkan matanya dan mengangguk senang. Akhirnya dia bisa mempunyai baju yang layak pakai nanti.
“Baik tante!” ucap Renata sambil tersenyum sumringah dan meminum air mineral di gelasnya dengan cepat. Membuat ibu dan ayah Regan saling tatap dan tersenyum, sementara Regan memilih menunduk dan fokus pada makanannya tanpa berniat terlibat pembicaraan itu sedikitpun.
** *