Satu

1406 Words
(Seminggu sebelum pertemuan) Seperti biasa sehari dalam satu minggu, keluarga Wijaya akan kumpul untuk makan malam bersama di rumah mereka. Biasanya dilakukan di malam senin, setelah liburan dari rutinitas pekerjaan  . Wijaya sudah mengambil pensiun dan tak terlibat langsung di perusahaan yang didirikannya, karena itu semua keputusan kini diambil oleh Regan Pandu Wijaya sebagai putra tunggal yang kini menjabat CEO di PT. Sanjaya Sukses, sebagai perusahaan penghasil produk rumah tangga dan pemeliharaan kesehatan diri. Saat ini, ada tiga pelayan yang khusus menyajikan makan malam di rumah megah tersebut, berdiri di sisi tembok menghadap keluarga itu untuk menunggu kode atau instruksi dari pemilik rumah. Setelah menyelesaikan hidangan utama, makanan pun diganti dengan hidangan penutup. Wijaya mengibaskan tangannya, menandakan bahwa akan ada percakapan yang penting, sehingga seluruh pelayan dilarang berada di dekat mereka. Para pelayan itu pun pergi dengan teratur menuju ruang dapur, cukup jauh dari ruang makan. “Renata sudah ketemu, secepatnya kalian akan papa nikahkan,” ucap Wijaya melirik ke arah Regan yang menyuap puding cokelatnya, Regan mengernyitkan kening dan meletakkan garpu di piring, menyapu mulut dengan lap khusus makan miliknya. Lalu menenggak air mineral untuk menghilangkan serat di tenggorokan yang tiba-tibe mencekatnya. “Aku pikir papa mengurungkan niat papa itu,” ucap Regan, menatap sang ayah yang masih memakan pudingnya seolah ucapannya bukan hal yang penting. “Tidak akan pernah, kamu tahu itu. Papa menunda selama ini karena belum menemukan keberadaannya, namun detektif yang papa sewa sudah memastikan bahwa wanita yang berada di pulau Kalimantan itu adalah Renata yang dibawa kabur oleh pembantu rumah tangganya 18 tahun lalu,” ucap Wijaya, kali ini melihat ke sang istri yang menatap mereka berdua bergantian. “Papa tahu aku pacaran dengan Safiza lebih dari dua belas tahun kan? Nggak mungkin aku ninggalin dia dan menikah dengan wanita lain, Pa!” Regan mulai meninggikan suaranya, jarang sekali dia emosi seperti ini, apalagi berbicara dengan sang ayah yang dihormatinya, namun keputusan ayahnya kali ini dinilai tak cukup masuk akal. “Saat ini perusahaan di tangan kamu, tanpa dia disisi kamu, tinggal menunggu bom waktu sampai perusahaan kita collaps karena gempuran para saingan, kamu tidak mau itu kan?” Regan menarik napas panjang dan menghembuskannya, seolah mengusir batu besar yang menghimpit paru-parunya yang sesak. “Tapi bagaimana dengan Safiza? Papa tahu kami bersama sejak kecil kan?” tutur Regan memelas. “Papa hanya meminta kamu menikahi Renata, bukan melarang kamu menikahi Safiza.” “Pa-,” Regan ingin protes namun seolah mengerti tujuan pembicaraan sang ayah membuatnya membelalakkan mata. “Tidak Pa! Nggak ada wanita yang bersedia dimadu, lagi pula perasaan aku tak mungkin bisa dibagi!” ujar Regan yang lagi-lagi tak bisa mengontrol emosinya. “Perasaan tak bisa dibagi, tapi tubuh bisa kan?” ucap sang ayah sambil meletakkan lapnya di meja. “Pa, ini nggak akan adil untuk semuanya,” tutur Regan memelas. “Sebagai CEO kamu harus bisa mengambil keputusan di saat yang sulit. Pilih yang beresiko paling kecil dan memberikan keuntungan terbesar. Minggu besok papa akan membawa Renata kesini, bagaimanapun caranya!” ujar Wijaya seolah tak dapat dibantah. Regan hanya berdecih dan membuang pandangan ke arah lain. Hingga Wijaya menyandarkan tubuhnya ke kursi, “hanya itu cara satu-satunya papa menebus kesalahan papa atas ayahnya, usia papa mungkin tak lama lagi, sebelum papa menemuinya di dunia lain nanti, papa ingin mengembalikan haknya,” ucap Wijaya dengan suaranya yang berat dan parau. Regan menoleh ke arah ayahnya. Dia dapat melihat sorot mata bersalah di manik hitam ayahnya, membuatnya tak tega, sungguh dia sangat menyayangi ayahnya yang membesarkannya dengan baik. “Pa,” panggil Regan, Wijaya menoleh pada anaknya dan melihat Regan yang menggigit bibirnya, tampak khawatir dan bingung sekaligus, “aku akan menikahi Renata, tapi papa jangan larang aku untuk menikahi Safiza setelah itu,” ucap Regan. “Ya, silakan saja. Hanya satu pinta papa, jangan pernah kamu ceraikan Renata apapun alasannya.” Belum melaksanakan apa yang diucapkannya hatinya sudah sakit. Dia sangat mencintai Safiza, temannya sedari kecil yang selalu bersamanya, cinta pertamanya sekaligus cinta monyetnya yang berhasil di dapatkan ketika mereka sekolah SMA. Safiza sangat dewasa dan selalu mengerti dirinya, bersama Safiza selalu membuat Regan nyaman, bahkan dia tak sampai hati melihat tangis wanita itu sedikitpun, wanita yang hatinya sehalus sutra dan tutur katanya selembut kapas. Ibu Safiza dulunya adalah pembantu dirumah Regan, sering membawa Safiza untuk menemani Regan bermain karena orang tua Regan yang sibuk dengan perusahaan yang baru dirintisnya, membuat hubungan mereka kian dekat. Namun saat sekolah menengah pertama, ibu Safiza berhenti kerja di rumah Wijaya karena Wijaya memberikannya modal untuk membuat toko di rumahnya, dan sejak itu Regan dan Safiza jadi jarang bertemu terlebih mereka beda sekolah. Barulah ketika SMA mereka satu sekolah karena Safiza yang mendapat beasiswa di sekolah unggulan yang merupakan sekolah Regan. Mereka pun mulai dekat kembali hingga Regan menyatakan perasaannya yang diterima oleh Safiza. Selama ini ayahnya tak terang-terangan melarang hubungan mereka, meskipun dia selalu berkata untuk tak terlalu dekat dengan Safiza karena Regan telah dijodohkan. Namun selama belasan tahun setelah perkataan mengenai perjodohan itu, tak terucap lagi kata-kata tentang perjodohan keluar dari mulut sang ayah, membuatnya yakin bahwa ucapan ayahnya saat itu tak serius. Dan ternyata dugaannya meleset, dia benar-benar harus menikah dengan wanita pilihan ayahnya. *** Setelah makan malam, Regan yang perasaannya tak menentu pun memutuskan menemui Safiza dan mengajaknya menonton biskop drive-in. Selama ini dia selalu berkata jujur pada Safiza, menceritakan apa saja yang mengganjalnya, makanya sangat sulit bagi Regan untuk berbohong atau menyembunyikan hal ini pada sang kekasih. “Tumben malam senin ngajak keluar, sudah selesai acara quality time bareng keluarganya?” tanya Safiza yang kini menyeruput es kopinya. Bioskop di hadapan mereka sudah mulai memutar film terbaru. Regan menoleh pada Safiza, wanita yang hampir dikenalnya seumur hidup, tetap terlihat cantik dengan rambut keriting gantungnya yang panjang, dia suka sekali memainkan ujung rambut Safiza, melingkarkan di jemari dan menariknya pelan. Senyumnya menawan dan lesung pipi yang menjadi daya tarik terbesarnya. Tubuhnya cukup tinggi, sekitar 165 senti meter, sangat serasi saat berjalan dengannya yang mempunyai tinggi 180 senti. “Papa, ternyata serius dengan ucapannya kala itu, tentang perjodohan aku,” Regan menunduk, tak berani menatap mata Safiza yang bulat dengan bulu mata lentik alami. Safiza berusaha tenang dengan tetap tersenyum, memegang tangan Regan dan meletakkan di pangkuannya. “Aku sudah menebak sejak awal bahwa hubungan kita tak akan pernah sampai ke jenjang pernikahan,” ucap Safiza dengan suara yang bergetar, Regan bisa merasakan kesakitan hatinya saat mengucapkan itu. “Aku nggak bilang kita nggak bisa menikah Za,” tutur Regan sambil menoleh, betul kan dugaannya, mata Safiza sudah berkabut, tinggal tunggu waktu hingga air murni itu mengalir membasahi pipinya. “Maksud kamu?” tanya Safiza sambil mengernyitkan kening, dan mendongak ke arah Regan yang berada di sampingnya. “Kita menikah, setelah aku menikah dengannya, aku tahu kamu pasti berat, tapi percaya sama aku perasaan aku tak akan terbagi untuknya, lagipula dia hanya anak kecil, usianya saja jauh dibawah kita, aku nggak mungkin jatuh hati padanya,” ucap Regan meyakinkan. Luruhlah air mata yang sedari tadi Safiza tahan. “Ini rasanya jauh lebih menyakitkan dibanding diputusin kamu Re, aku nggak bisa menerima poligami,” ucap Safiza, meletakkan tangan Regan yang semula berada di pangkuannya, ke atas paha Regan. “Aku hanya menyayangi kamu Za, sampai kapanpun akan tetap begitu,” ucap Regan memelas. Safiza mencoba tersenyum meski getir. “Kamu hanya belum mengenalnya Re, jika kalian bersama, perasaan tak akan ada yang tahu? Benih cinta bisa tumbuh dimana pun dan kapan pun seiring dengan kebersamaan kalian.” “Bagaimana kalau kita kawin lari saja, aku rela melepas segalanya demi kamu,” ucap Regan, memegang tangan Safiza sehingga Safiza menoleh dan menatap matanya yang dipenuhi kesungguhan. “Gila kamu Ga! Kamu tahu perusahaan itu dibangun dari nol oleh ayah kamu! Aku nggak akan mau kawin lari seperti pengecut begitu,” ujar Safiza dengan nada suara meninggi meskipun tetap terdengar lembut di telinga Regan yang sangat mencintainya. “Aku nggak tahu lagi bagaimana cara untuk bersama kamu? Selain menikahinya terlebih dahulu Za, aku tahu ini akan sakit untuk kita bertiga mungkin nantinya, tapi rasa sayang aku ke kamu pasti bisa mengalahkan rasa sakit itu. Aku janji!” ucap Regan bersungguh-sungguh akan ucapan yang dikeluarkannya. Dia tak mau menggantikan Safiza dengan apapun, bahkan dia rela menukar segalanya untuk Safiza yang dicintainya. Safiza tak mampu lagi berkata-kata, di hatinya tercampur aduk seluruh perasaan yang bergemuruh. Kecewa, sedih bercampur jadi satu dengan rasa sayang dan takut kehilangan Regan, apakah dia siap melepaskan Regan? Setelah belasan tahun menjalin kisah kasih dengannya. “Aku butuh waktu untuk memikirkan ini Re,” tutur Safiza, melepas tangannya dari genggaman Regan. “Kita pulang sekarang ya, aku ngantuk,” ucap Safiza sambil memakai seatbeltnya. Tak ada lagi yang bisa Regan lakukan selain menuruti keinginan sang kekasih. Mungkin mereka memang butuh waktu untuk memikirkan ini lagi, karena Regan tahu perasaan tak bisa dipaksa. ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD