“Bela diri?” ulang Bastian tidak mengerti.
“Iya, bela diri. Elo harus bisa jaga diri lo sendiri, juga Jimmy sama Meylan.”
“Kenapa harus Tian? Dan kenapa harus bela diri?” tanya Bastian belum mengerti.
“Karena hidup itu keras Tian, dan jika kamu tidak bisa bertahan, maka kamu akan kalah.”
“T-tapi kalo belajar bela diri, siapa yang akan ngajarin?”
“Gua yang akan ngajarin elo cara bertahan hidup, membela diri, dan juga belajar cara menghargai hidup.”
Bastian mulai tertarik mendengar perkataan Aliong yang terdengar seperti tetesan air di tanah yang kering. Dia yang selama ini hidup dalam tekanan baik saat di rumah maupun saat bersama Martin dan tidak mampu membela diri, tiba-tba saja diberikan sebuah kesempatan untuk mengubah hidupnya.
“Terus kapan bisa belajar?” tanya Bastian bersemangat.
“Emang elo yakin sanggup?”
“Emang susah?” Bastian balik bertanya karena ingin tahu.
“Susah atau tidaknya tergantung tekad dan kemauan diri elo.”
“Terus Tian mesti ngapain?”
“Kenapa elo jadi semangat kayak gini?” tanya Aliong sedikit geli melihat antusias Bastian. “Elo harus tau, belajar bela diri itu nggak mudah, elo bisa luka, dan bahkan cedera. Apa elo siap?”
“Tian mau coba,” sahut Bastian dengan mantap.
Aliong terdiam sejenak saat melihat kesungguhan di kedua bola mata Bastian yang jernih. Hatinya merasa tersentuh melihat keseriusan juga tekad yang dimiliki oleh bocah laki-laki di hadapannya.
“Oke, kita liat seberapa besar niat elo,” ujar Aliong.
“Tian mesti apa?”
“Ayo lari ikutin gua.”
Usai berkata demikian, Aliong mulai berlari meninggalkan Bastian menuju ke atas. Namun, Aliong tidak terlalu jauh meninggalkan bocah itu, supaya dapat menolong Bastian jika terjadi sesuatu.
Melihat Aliong berlari, Bastian mulai mengikuti dari belakang dan berusaha supaya tidak ketinggalan. Aliong terus berlari semakin ke atas, melewati jalan setapak dan tidak terlihat lelah sedikitpun.
Bastian yang mengikuti dari belakang mulai terengah-engah kehabisan napas. Dadanya juga mulai terasa sakit. Semakin lama, tubuh Bastian semakin lelah, kakinya pun mulai terasa berat.
Aliong menghentikan larinya, di mana di sana ada sebuah rumah pondok kecil. Dia berdiri di sana dan menunggu Bastian tiba.
“Kenapa? Cape?’ tanya Aliong yang tidak terlihat lelah sedikitpun.
“Iya,” sahut Bastian dengan napas terengah-engah.
“Mau minum?” tanya Aliong sambil menurunkan ransel dari bahunya dan mengeluarkan dua botol air mineral.
“Mau,” ujar Bastian sambil mengambil salah satu botol air dari tangan Aliong.
Bastian langsung membuka tutup botol. Saat hendak minum, didengarnya suara Aliong.
“Minumnya sedikit-sedikit,” ujar Aliong sebelum Bastian minum.
Bastian tidak jadi minum dan memandang Aliong dengan tatapan bingung.
“Kenapa?”
“Semakin banyak elo minum, akan semakin haus. Elo harus bisa ngendaliin rasa haus lo. Dengan begitu, elo akan terbiasa mengendalikan rasa di hati lo.”
Walaupun tidak terlalu memahami, Bastian mengikuti apa yang dikatakan oleh Aliong. Dia meneguk air di dalam botol sebanyak tiga kali. Setelah itu, Bastian menutup botol, walaupun masih merasa haus.
“Sekarang mau apa?” tanya Bastian setelah selesai minum.
“Istirahat sebentar, setelah itu kita lari lagi.”
“Ke?”
“Naik ke atas.”
“Atas?” tanya Bastian dengan mata terbelalak tidak percaya.
Saat ini kakinya sudah seperti mau copot, bagaimana kalau dilanjut ke atas lagi. Bastian agak takut membayangkan hal itu.
“Takut?” tantang Aliong yang seolah mengerti dengan apa yang ada di pikiran Bastian.
“Nggak, cuma kaki Tian rasanya mau copot,” ujar Bastian apa adanya.
Aliong tertawa mendengar jawaban polos yang keluar dari bibir Bastian. Apalagi dia sangat mementingkan kejujuran. Itu adalah salah satu aturan yang dia terapkan pada semua anak buahnya.
“Ini baru awal. Apa elo yakin mau ngelanjutin ini?”
“Iya,” sahut Bastian.
“Oke, kalo gitu kita istirahat dulu.”
Aliong merebahkan diri di beranda pondok dan memejamkan mata. Bastian mengamati yang dilakukan Aliong kemudian dia mulai mengikuti. Karena terlalu lelah, tidak lama kemudian, Bastian sudah tertidur. Aliong membuka matanya dan tersenyum kecil melihat bocah kecil itu terlelap. Setelah setengah jam, Aliong duduk dan memutuskan untuk membangunkan Bastian.
“Elo tidur?” tanya Aliong sambil mengguncang bahu Bastian.
“Mm,” gumam Bastian sambil membuka kelopak matanya. “Maaf.”
“Gapapa, itu biasa. Sekarang udah seger kan? Ayo bangun.”
Setelah itu Aliong dan Bastian menghabiskan waktu hingga siang di atas. Kemudian Aliong dan Bastian turun kembali ke bawah untuk menikmati makan siang buatan Meylan.
Selesai makan, Aliong membawa Bastian pulang ke rumah dan tiba di sana saat restoran hendak dibuka untuk makan malam. Begitu turun dari mobil, Bastian langsung berlari masuk ke dalam menuju dapur untuk membantu Jimmy dan Meylan.
“Kamu istirahat aja di atas, pasti cape kan,” ujar Meylan pada Bastian.
“Gapapa, Tian bantu dulu sebentar.”
Bastian merasa tidak enak karena sudah meninggalkan rumah seharian dan membuat kedua orang yang sudah menampungnya sibuk.
***
Seminggu kemudian, Aliong datang ke restoran bersama Chen sambil membawa sebuah amplop cokelat yang berisi kabar baik untuk Jimmy dan Meylan. Dia sengaja datang di saat restoran libur supaya dapat mengobrol dengan santai.
“Ko,” panggil Aliong sambil duduk di salah satu kursi.
“Kenapa?” sahut Jimmy sambil menghampiri.
“Cici mana?”
“Di dapur, seperti biasa.”
“Bisa tolong panggilin? Ada yang mau gua omongin sama kalian berdua,” ujar Aliong. “Oh iya, panggil Bastian juga.”
Jimmy berjalan meninggalkan Aliong untuk memanggil Meylan dan Bastian yang sedang berada di dapur.
“Mey, Tian, ke depan dulu, ada Aliong nungguin.”
“Bilang Aliong tunggu sebentar,” sahut Meylan.
“Hm. Ayo Tian.”
Tian menaruh gelas yang sedang dikeringkan dan berjalan mengikuti Jimmy ke depan. Bastian menghampiri meja bundar besar untuk delapan orang dan duduk di dekat Chen, sementara Jimmy duduk di samping Aliong.
“Cici mana?” tanya Aliong yang tidak melihat Meylan.
“Masih di dapur, katanya sebentar lagi.”
“Oke, kita tunggu sampai Ci Meylan dateng.”
“Memang ada apaan?” tanya Jimmy.
“Tunggu bentar Ko. Gua males kalo mesti ngomong dua kali.”
Jimmy dan Bastian duduk dengan pikiran bertanya-tanya tentang maksud kedatangan Aliong kali ini. Jimmy memperhatikan raut wajah Aliong yang tenang. Dia yakin kabar yang dibawa adik angkatnya ini pastilah sesuatu yang baik.
Tidak lama kemudian Meylan datang dengan membawa sepiring besar siomay beserta mangkuk yang berisi sambal buatannya.
“Aliong, Chen, ayo dimakan mumpung masih hangat,” ujar Meylan sambil meletakkan piring di meja.
“Makasih Ci,” ujar Aliong dan Chen.
“Elo mau ngomong apaan Liong?” tanya Meylan setelah duduk.
Aliong mengambil amplop cokelat yang tadi dibawa dan menyerahkannya pada Jimmy.
“Ini apa?” tanya Jimmy.
“Elo buka dan baca sendiri,” ujar Aliong sebelum memasukkan siomay ke dalam mulutnya.
Jimmy mengikuti perkataan Aliong. Dia membuka amplop dan mengeluarkan berkas yang ada di dalamnya. Dia membaca dengan teliti setiap tulisan yang tertera dengan mata terbelalak.
“Ini beneran Liong?” tanya Jimmy masih tidak percaya dengan apa yang dibacanya.
“Apaan ko?” tanya Meylan penasaran.
“Elo baca sendiri Mey,” ujar Jimmy sambil menyerahkan berkas kepada istrinya.
Meylan menerima berkas dari tangan Jimmy dan membacanya berulang kali. Hatinya berdebar kencang membaca semua tulisan itu.
“Ya Tuhan! Ini beneran kan Liong?”
“Iya Ci. Mulai sekarang Bastian resmi jadi anak kalian, dan berkas yang kalian pegang membuktikan semuanya.”
“Ko,” ujar Meylan sambil meremas bahu suaminya.
“Iya Lan, gua ngerti yang elo rasain saat ini, karena gua juga ngerasain hal yang sama.”
“Makasih Liong, makasih banyak. Gua nggak akan pernah lupain apa yang udah elo lakuin hari ini.”
“Tian,” panggil Aliong.
“Iya Ko?”
“Elo dengerin gua baik-baik! Mulai hari ini elo resmi jadi anak Ko Jimmy dan Ci Meylan. Gua mau elo belajar panggil mereka dengan sebutan yang pantas, paham?!”
“Iya Ko. Tian juga maunya begitu, tapi takut mereka nggak suka,”
“Kata siapa,” sela Jimmy.
“Nggak ada, cuma Tian ngerasain sendiri, karena selama ini Bapak selalu diam aja dan nggak banyak bicara, Tian jadi takut untuk ngomong,”
“Dasar anak bodoh,” gumam Jimmy.
Aliong tertawa mendengar gumaman Jimmy. Melihat raut wajah Jimmy, kebanyakan orang menebak kakak angkatnya adalah seorang pria dingin dan keras, dan semua itu adalah anggapan yang salah. Di balik wajah kerasnya, sebenarnya Jimmy memiliki hati yang lembut, juga sabar.
“Bukan bodoh Ko, tapi dia kan belum kenal elo kayak gimana, jadi wajar kalo berpikiran seperti itu,” ujar Aliong. “Makanya, mulai sekarang kalian bertiga harus mulai saling belajar mengenal satu dengan yang lain.”
“Kalo gitu, Tian bisa mulai dengan panggil mama dan papa sama kami,” usul Meylan yang sedang berbahagia.
“Beneran?” tanya Bastian tidak percaya.
“Iya, bener. Sini,” ujar Meylan memanggil Bastian untuk mendekat.
Bastian turun dari kursi dan berjalan menghampiri Meylan yang sudah merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Sesaat Bastian ragu dan hanya berdiri menatap Meylan.
“Sini,” ujar Meylan lagi dengan lembut.
Tanpa berpikir panjang, Bastian menghambur ke dalam pelukan Meylan yang terasa sangat nyaman.
“Ma,” bisik Bastian.
Mata Meylan berkaca-kaca mendengar panggilan yang selama ini selalu dirindukannya. Ucapan Bastian seperti setetes air sejuk di hatinya, begitu manis.
“Makasih Liong,” ujar Jimmy sambil menepuk bahu Liong.
“Sama-sama Ko.”
Meylan melepaskan pelukannya, kemudian merangkum wajah kecil Bastian dengan kedua tangannya. Ditatapnya mata Bastian dengan penuh kasih.
“Mulai sekarang kamu harus nurut sama papa dan Mama. Harus mau dibilangin, paham?”
“Iya Ma,” sahut Bastian.
“Kami akan selalu sayang kamu, melindungi kamu, menyekolahkan kamu dan bertanggung jawab sepenuhnya sama kamu. Paham?”
“Iya Ma,” sahut Bastian lagi.
“Lupain semua kenangan buruk kamu, dan kita buka lembaran yang baru. Mulai hari ini nama kamu Bastian Chou. Kamu suka?”
“Hm,” sahut Bastian sambil menganggukkan kepalanya.
Hati Bastian sangat bahagia sekaligus terharu hingga membuatnya sulit untuk berkata-kata. Meylan kembali memeluk Bastian dan meyakinkan dirinya bahwa semua ini adalah nyata, bukan hanya mimpi sesaat.
“Ko, karena Tian udah resmi jadi bagian dari keluarga ini, elo harus mulai mikirin pendidikan dia. Mau elo sekolahin di mana?” ujar Aliong.
“Iya, gua tau. Cuma gua sedikit khawatir, gimana dia nanti saat di sekolah. apa bakal ada yang ngejek dan coba ganggu, karena wajah Tian, juga warna kulitnya nggak sama kayak gua.”
“Elo tenang aja ko, gua pasti bakal awasin dan selalu jaga dia.”
“Makasih lagi Liong.”
“Elo mau berapa kali lagi ngucapin kata makasih ko? Lama-lama kuping gua sakit ngedengernya. Lagian apa yang gua lakuin buat kalian, nggak sebanding dengan apa yang udah lo sama Ci Mey lakuin buat gua.”
“Udah nggak usah bahas lagi tentang itu. Apa yang gua lakuin saat itu, orang lain juga pasti lakuin hal yang sama.”
Ya …, ya …, ya. terserah elo aja Ko,” sahut Aliong. “Ngomong-ngomong, gua danger Tian suka masak?”
“Iya, dia sering gangguin gua dengan pertanyaan seputar masakan. Kenapa?”
“Apa nggak lebih baik elo ajarin dia dengan bener Ko? Siapa tau hobi dia itu bisa jadi mata pencahariannya nanti.”
Jimmy mengembuskan napas mendengar perkataan Aliong barusan.
“Biar gua pikirin dulu Liong. Gua berharap kelak dia punya pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik dari gua.”
“Terserah lo Ko. Tapi menurut gua, dia punya kemampuan di bidang masak. Sayang aja kalo nggak diasah,” sahut Aliong tenang.