Ingin Seperti Aliong

1990 Words
“Tian, gimana latihan kamu sama Aliong?” tanya Meylan sambil mencuci sayuran. “Baik Ma.” “Sekarang lagi belajar apa?” “Tendangan Ma,” sahut Bastian bersemangat. “Ko Aliong bener-bener hebat, tendangannya bisa tinggi banget. Udah gitu bisa sambil muter segala. Pokoknya keren banget. Tian mau bisa kayak gitu.” Meylan tertawa mendengar perkataan Bastian dan sangat menyukai pandangan matanya saat bercerita. Begitu bersemangat dan penuh kekaguman. “Kamu suka?” “Hm, suka banget. Tian pengen bisa kayak Ko Aliong, boleh kan?” “Boleh, tapi jangan cuma ilmu bela dirinya aja yang kamu pelajari. Kamu juga harus belajar pola pikir dia, juga cara dia jalanin hidup,” “Mey, jangan ngajarin yang nggak bener!” sela Jimmy menegur istrinya. “Tapi Mey kan bener Ko,” protes Meylan. “Buktinya, walaupun dunia dia kayak gitu, Aliong tetep punya prinsip dan tau cara menghormati yang lebih tua kan.” “Aku tau Mey,” ujar Jimmy. “Tapi fokus utama Tian adalah belajar.” “Tian tetep belajar kok Pa. Dan sekarang bahasa Inggris Tian makin baik.” “Oh ya?” “Iya.” Karena Bastian belum fasih berbahasa Inggris, Jimmy meminta tolong pada salah satu temannya untuk mengajarkan bahasa Inggris secara privat pada Bastian sebelum anak itu masuk sekolah. Dan memang selama tiga bulan ini, Bastian mengalami kemajuan yang sangat pesat. Bukan hanya bahasa Inggrisnya, tapi juga dalam pelajaran bela diri. “Kalo memang bahasa kamu semakin fasih dan lancar, mungkin sebaiknya secepat mungkin Papa masukkin kamu ke sekolah, supaya kamu nggak ketinggalan pelajaran,” ujar Jimmy. “Tian sekolah?” “Iya. Nggak mau?” “Mau Pa, Tian mau sekolah. Tian juga pengen tetep belajar bahasa, bela diri, sama masak. Boleh kan?” “Boleh. Semua boleh kamu pelajari. Tapi ingat, kamu harus tekun dan juga serius.” “Iya Pa.” “Oh iya, ngomong-ngomong tentang masak, buat makan kita, kamu yang masak.” “Tian?” tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri. “Hm, biar Papa bisa kasih masukan mengenai masakan kamu.” “Tapi kan,” “Nggak pake tapi,” sela Meylan ikut-ikutan. “Mama juga pengen ngerasain masakan kamu. Bosen tiap hari makan hasil karya papa.” Bastian memandangi wajah kedua orang tuanya yang terlihat sangat serius. Mau menolak tidak berani, tetapi mengikuti keinginan mereka, dirinya merasa tidak yakin. Melihat wajah bimbang Bastian, Jimmy kembali melanjutkan perkataannya. “Kalo kamu tidak mencoba dari sekarang, mau kapan lagi? Jika memang memasak itu adalah hal yang paling kamu suka, harus dilatih dan dikembangkan dari sekarang.” Bastian diam dan menyimak semua perkataan Jimmy. Kemudian, Bastian menganggukkan kepalanya setelah berpikir. “Iya, Tian yang masak. Tapi kalo kurang enak, jangan dimarahin ya,” pintanya. “Siapa juga yang mau marahin?! Buang semua pikiran negatif kamu!” sentak Jimmy. “Memang selama kamu di sini, pernah kami memarahi kamu?!” lanjut Jimmy. “Maaf Pa, Tian nggak maksud kayak gitu,” “Kami ngerti Tian,” sela Meylan sambil berjalan menghampiri Bastian dan merengkuh bahunya dengan lembut. “Kamu pernah mengalami keadaan yang tidak baik, tapi bukan berarti kami akan berlaku hal yang sama dengan mereka yang pernah menyakiti kamu.” “Iya Ma. Maafin Tian Pa, Ma.” “Hm,” sahut Jimmy singkat. “Sekarang pikirin kamu mau masak apa? Biar nanti Mama bantu,” ujar Meylan. “Apa ya?” ujar Tian sambil memegang dagunya. “Gimana kalo ayam schezuan?”  “Bebas. Tapi yang perlu kamu ingat, jika memasak jangan cuma lauk, harus ada sayur dan masakan berkuah.” “Iya Pa.” “Memasak itu adalah seni, dan kamu yang menciptakan hal itu. Jadi kamu harus bisa berpikir dengan baik masakan apa yang akan kamu buat, dan memasaklah dengan hati, sehingga apa yang kamu rasakan, dapat dirasakan oleh orang yang menikmati sajian kamu.” “Iya Pa.” “Oke, sekarang saatnya kamu masak.” Jimmy bangkit berdiri dan meninggalkan dapur menuju ke atas untuk beristirahat sejenak sebelum makan. Di kamarnya, Jimmy kembali teringat pembicaraannya bersama Aliong beberapa waktu yang lalu mengenai Bastian. Dan dia sudah mengambil keputusan untuk mengajarkan anak itu cara memasak yang baik, seperti yang telah diajarkan almarhum ayahnya dulu.  “Semoga keputusan gua bener,” gumam Jimmy di tempat tidur.  *** “Ko,” sapa Aliong saat masuk ke dalam restoran bersama dengan Chen. “Tumben ke sini?” “Gua mau ajak Tian keluar,” sahut Aliong sambil duduk di hadapan Jimmy di meja kasir. “Ke mana?” “Ke pasar. Gua mau beli ikan, dan gua mau dia yang pilihin.” “Elo mau masak?” tanya Jimmy sedikit heran. “Bukan gua yang masak, tapi Tian. Gua mau ngerasain masakan buatan itu anak.” “Silahkan. Anaknya ada di belakang, lagi belajar sambil nemenin Mey kerja.” “Chen,” ujar Aliong sambil memandang anak buahnya. Chen menganggukkan kepala dan langsung berjalan ke dapur untuk memanggil Bastian.  “Ci,” sapa Chen saat masuk ke dapur. “Eh kamu Chen, ada apaan?’ tanya Mey yang sedang duduk menemani Bastian mengerjakan tugas. “Mau panggil Bastian,” sahut Chen tetap berdiri di ambang dapur. “Ko Aliong dateng?” tanya Bastian sambil mengangkat kepalanya. “Hm,” sahut Chen singkat. “Tian boleh selesain ini sebentar?” tanyanya pada Chen. “Tinggal dua nomor lagi.” “Silahkan,” sahut Chen. “Setelah itu langsung keluar.” “Iya.” Bastian bergegas menyelesaikan tugasnya. Hatinya gembira mengetahui Aliong datang. Sejak dia belajar bela diri pada Aliong, hubungannya dengan pria itu semakin dekat. Bastian semakin mengagumi dan memuja Aliong. Di balik sikap keras dan dingin yang selalu ditunjukkan oleh Aliong, sebenarnya pria itu adalah sosok yang menyenangkan dan perhatian. Banyak hal yang Bastian pelajari dari pria itu, apalagi Aliong selalu menjawab semua pertanyaannya dengan sabar. “Ma, Tian udah selesai,” ujarnya sambil membereskan buku. “Kalo kamu mau keluar, sekalian bawain ini buat mereka,” ujar Meylan sambil meletakkan baki berisi sepiring spring roll.*. *Spring roll = lumpia “Iya Ma.” Bastian mengangat baki dan membawanya ke depan. Dia meletakkan spring roll di meja dengan hati-hati. “Pa, Ko, dimakan dulu mumpung masih hangat,” ujar Tian. “Hm,” sahut Jimmy. “Makasih,” ujar Aliong dan Chen. “Elo taruh dulu bakinya, udah gitu duduk di sini,” ujar Aliong sebelum menggigit kudapan di tangannya. “Iya ko.” Bastian berlari ke dapur untuk menaruh baki, dan langsung kembali ke depan untuk menemui Aliong. “Elo ganti baju gih, gua mau ajak elo ke pasar,” ujar Aliong setelah Bastian kembali. “Kita mau ngapain?” “Gua mau beli ikan dan sayur, setelah itu elo yang masak.” “Iya.” Bastian membalikkan badan, berlari ke atas untuk mengganti baju. Hatinya sangat senang karena akan pergi bersama Aliong dan juga Chen. “Liat itu anak,” ujar Jimmy. “Segitu senengnya mau pergi sama elo.” Aliong tertawa mendengar perkataan Jimmy. Harus diakui, dia juga senang dapat menghabiskan waktu bersama Bastian. Anak itu bukan hanya cerdas dan cepat paham dengan semua yang diajarkan, tapi juga ceria dan selalu ingin tahu dengan semua yang dilihatnya.  “Gua juga seneng Ko bisa pergi sama dia. Anaknya lucu, banyak tanya, dan pengen tau segala hal.” “Sejak dia ada, tempat ini jadi beda Liong, lebih hangat, dan berwarna. Meylan juga terlihat lebih bahagia dan bersemangat.” “Ko, Tian udah siap.” Aliong memperhatikan dandanan Bastian  dan menganggukkan kepalanya. “Oke,” sahut Aliong sambil berdiri dari duduknya. “Ko, gua pinjem anak ini dulu.” Aliong membalikkan badan dan berjalan keluar restoran didampingi oleh Chen. “Pa, Tian pergi dulu.” “Hati-hati,” ujar Jimmy. Bastian berlari mengejar Aliong yang sudah menunggunya di samping mobil. Dia masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang bersama Aliong, sementara Chen yang akan mengemudi. Chen mengendarai mobil menuju ke pasar yang tidak terlalu jauh dari tempat Jimmy. Setelah memarkir mobil, mereka turun dan mulai masuk ke dalam pasar. Banyak orang Asia yang menjajakan dagangan mereka, mulai dari segala jenis hewan laut, hingga sayur, buah, daging, dan lainnya. Aliong berjalan menuju ke tempat ikan dan melihat-lihat. “Tian, elo mau masak ikan apa?” tanya Aliong. “Apa ya?” gumam Tian sambil melihat-lihat jenis ikan yang dijual. “Kalo tim kerapu gimana?” “Boleh juga.” Bastian sudah sering ikut ke pasar dengan Jimmy ataupun Meylan. Mereka mengajari dirinya tentang berbagai jenis ikan dan bahan lainnya, sehingga sekarang Bastian cukup mengenal berbagai jenis bahan di pasar. “Kalo gitu elo yang pilih sendiri,” lanjut Aliong yang ingin mengetahui kemampuan Bastian dalam memilih bahan mentah. Bastian mulai melihat-lihat ikan hidup di dalam bak besar. Setelah merasa yakin dengan pilihannya, dia menunjuk seekor ikan yang tidak terlalu besar. “Yang itu aja Ko,” ujarnya sambil menunjuk. “Oke. Saya mau yang itu,” ujar Bastian pada penjual. Penjual tersebut langsung mengambil jala dan mengambil ikan pilihan Bastian. Setelah itu, penjual tersebut membersihkan ikan dan memberikannya pada Aliong setelah dimasukkan ke dalam plastik.  Kemudian, Aliong berjalan ke lorong yang menjual sayuran bersama Bastian dan Chen. Saat mereka sedang berjalan, tiba-tiba dua orang pria berbaju hitam dan mengenakan topi berwarna sama menghampiri mereka dan langsung menyerang Aliong menggunakan pisau lipat. Dengan gerakan yang sangat cepat, Aliong mendorong Bastian ke belakang dan memukul tangan salah satu pria yang memegang senjata hingga jatuh. Bastian berdiri dengan kaki gemetar dan terus memperhatikan perkelahian yang terjadi di depan matanya. Gerakan Aliong dan Chen begitu cepat dan ringan, hingga tidak lama kemudian kedua penyerang itu tidak berdaya. Setelah meminta tali, Chen mengikat tangan kedua pria dan menunggu perintah dari Aliong. “Bawa mereka ke markas,” ujar Aliong dingin. “Baik,” sahut Chen. “Tian, kita pergi sekarang,” ujar Aliong tegas. “Iya.” Bastian berjalan di samping Aliong dalam diam menuju mobil. Baru kali ini dia melihat sendiri bagaimana Aliong bertarung, dan menurutnya, pria yang berjalan di sisinya sangat hebat. Semakin bertambah kekaguman dalam diri Bastian untuk Aliong. “Elo takut?” tanya Aliong saat mereka hampir tiba di mobil. “Sedikit, tapi bukan takut karena ngeliat berantemnya,” sahut Bastian. “Terus?” “Tian takut Koko luka.” Aliong menghentikan langkah kakinya dan berdiri diam menatap Bastian. Selama hidupnya baru kali ini ada orang yang khawatir dan peduli padanya, selain Jimmy dan Meylan. Hatinya tersentuh melihat ketulusan yang ditunjukkan oleh Bastian. “Elo tenang aja, gua nggak akan terluka.,” sahut Aliong sambil meneruskan langkah kakinya menuju mobil. “Iya Ko. Tapi kenapa mereka mau lukain?” “Panjang ceritanya, dan belum saatnya elo tau,” ujar Aliong. “Ayo naik.” Bastian membuka pintu mobil dan duduk di samping Aliong yang langsung menyalakan mobil dan pergi dari sana.  “Kapan Bastian boleh tau?” “Nanti kalo elo udah mampu untuk memahami semuanya.” “Masih lama dong?” “Semua tergantung elo. Kalo menurut gua elo memang sudah layak, pasti gua kasih tau. Fokus lo saat ini adalah belajar supaya pinter dan terus berlatih bela diri juga memasak.” “Iya Ko. Tapi ngomong-ngomong, kita nggak jadi masak ikannya dong?” “Kata siapa?” sahut Aliong tak acuh sambil memarkir mobilnya di dekat restoran Jimmy. “Kan belum lengkap beli bahan-bahannya.” “Gampang, tinggal minta sama Jimmy.” “Emang boleh?” Aliong menoleh ke samping memandang Bastian. “Masaknya kan di sana, anggep aja gue pesen dan bayar, beres kan?” “Iya Ko.” “Oh iya, jangan bilang sama Ko Jimmy dan Ci Meylan kejadian tadi, oke?!” “Iya Ko,” sahut Bastian. “Tapi kenapa nggak boleh ngomong?” Aliong urung membuka pintu mobil dan menatap Bastian dengan serius sebelum berkata, “Elo mau dilarang pergi lagi sama gua?!” tanya Aliong pelan. “Nggak.” “Makanya, elo harus diem, dan jadiin ini rahasia kita bertiga, paham?!” “Iya Ko.” “Sekarang turun dan bersikap biasa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD