Perkenalan
Perkenalkan sebelumnya, namaku Raline Sheeva Pramudya. Nama yang diberikan kedua orang tuaku saat aku lahir, dua puluh tiga tahun silam.
Biasanya, anak gadis seusiaku pasti sudah memiliki pekerjaan yang menghasilkan pundi-pundi rupiah tersendiri ke dalam buku tabungannya. Tapi.. itu kan biasanya. Berbeda denganku yang.. katakanlah luar biasa.
Coba kalian tebak apa pekerjaanku sekarang. Model? Sekretaris CEO tampan? Penyanyi terkenal atau pekerjaan lain yang lebih kece mungkin. Oho.. kalian salah besar dalam menebak profesiku. Karena sampai detik ini, namaku masih terdaftar sebagai salah satu mahasiswi di universitas swasta Jakarta.
Mahasiswi abadikah? Tentu saja bukan, girls. Dosen-dosen di kampusku hanya terlalu menyayangiku hingga mereka nggak rela kalau masa kuliahku harus berakhir terlalu cepat. Jadi.., ya beginilah. Saat teman-teman seangkatanku sudah bisa membeli tas branded dengan uang hasil keringatnya sendiri, aku masih memanfaatkan uang Papa untuk membelinya diam-diam atau dengan bantuan Mama.
Lagian, dari kecil Mama sudah mengajarkanku untuk selalu berpikiran positif. Nggak boleh su'udzon, begitu kata Mama. Makanya aku tetap berpikir positif kalau dosen-dosen di kampus terlalu menyayangi mahasiswi cantiknya yang satu ini. Kalau Papa sih, udah mencak-mencak sendiri. Kata Papa, aku harus serius belajar supaya cepat lulus dan bisa menghasilkan uang sendiri dan nggak terus menerus merepotkan Papa.
Entah karena Papa mulai perhitungan terhadapku, atau Papa memiliki alasan sendiri sehingga ia selalu mengomel tentang ketidakseriusanku belajar. Padahal aku berani bersumpah demi langit dan bumi beserta isinya, aku selalu belajar serius kok. Beda halnya jika aku membolos kan?
Please, untuk hal yang satu itu, jangan sampai papaku tahu. Alamat uang jajanku bakal melayang untuk satu bulan ke depan.
Atau mungkin Papa mulai memikirkan masa depan putra bungsunya yang kalau kata tetangga sebelah kompleks, lebih cocok jadi cucu Papa daripada anaknya. Suatu keajaiban bagi keluarga kami, mendapati Mama yang sempat divonis dokter tidak bisa lagi mengandung setelah melahirkanku, tiba-tiba menemukan dua garis merah pada testpack yang dipakai Mama empat tahun silam. Bayangkan saja berapa selisih usiaku dengan adik bungsuku. Dalam beberapa momen, orang-orang malah mengira jika Radhika Sandy Pramudya adalah anakku, bukannya adikku. Makanya aku sering menghindar jika Mama menyuruhku mengajak Radhi -begitu panggilan kesayangan kami padanya- jalan-jalan memutari kompleks rumah sewaktu ia masih balita.
Next, aku punya dua orang sahabat perempuan. Kiran dan Nimas nama mereka. Karena dosen di kampus tidak begitu menyayangi mereka berdua, jadilah mereka berdua sudah memakai seragam kantoran masing-masing. Kiran menjadi teller di sebuah bank swasta dan Nimas seorang staff accounting di salah satu perusahaan asing yang ada di Jakarta.
Mereka berdua sibuk, sudah tentu. Tapi mereka berdua selalu meluangkan waktu untukku kapan pun saat aku butuh. Kadang aku mikir, seandainya aku punya dua orang kakak laki-laki, dengan senang hati aku akan memperkenalkan kakakku pada mereka. Aku sahabat yang baik bukan?
Semua terasa sempurna. Aku dikelilingi banyak orang yang menyayangiku, apa yang kuinginkan selalu bisa kudapatkan. Kalau Papa tidak mau memberi, masih ada Mama yang dengan senang hati akan mewujudkan pinta gadis kesayangannya.
Tapi duniaku seakan dijungkirbalikkan sejak pria tua itu datang dan mulai menghantui hari-hariku.
Dia.. Abyaz Yoda Bamantara.