bc

MR SKY

book_age12+
143
FOLLOW
1K
READ
drama
comedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

Dia pria dengan sejuta pesona. Perfeksionis dan bergaya kelas atas. Tak banyak yang tahu jika ia hanyalah seorang housekeeping supervisor di salah satu hotel yang tak begitu ternama. Dia pria dua puluh sembilan tahun yang selalu penuh dengan segala perhitungan. Membuat sosoknya jadi terlihat begitu sempurna di mata tiap wanita. Well, hanya penilaian luarnya saja. Sedang nilai kemanusian dalam diri satu mahluk tersebut? BURUK!

"Coba menipuku? Cih! Tak ada yang bakal lepas dari segala perhitunganku."

Karena aku, Langit Angkara Pradja.

chap-preview
Free preview
No 1 | Mr Sky: I'm not the person who has stolen your bag |
Tak peduli seberapa murahnya harga barang yang kamu kenakan. Tak peduli bahkan jika itu semua hanya barang diskon yang dijual secara obral. Tapi faktanya, wajah menentukan segala penilaian orang lain tentangmu. Believe me! -Langit Angkara Pradja- . . . Dua roda koper berwarna hitam berputar laju mengikuti langkah tegap seorang pemuda yang menyeret benda itu dari arah depan. Dia mengenakan jeans dan t-shirt putih berbalut jaket kulit hitam legam. Warna yang cukup kontras untuk kulitnya yang terlihat cerah, secerah pagi ini baginya. Bandara Soekarno, menjadi landasan terakhir setelah menempuh perjalanan berjam-jam di ruang langit. Jarak tempuh antar Amerika dan Indonesia, membuat seluruh tulang para penumpang seakan remuk tak tertolong. Terutama pria itu, dia dengan dua kaki panjangnya yang harus rela ditekuk paksa selama berjam-jam lamanya, kini harus dibuat berjalan sejauh dua kilometer hanya karena alasan--- menghemat uang taksi. "Gila! Aku enggak nyangka cuaca di Indonesia bakal sepanas ini", pria itu mengeluh sambil terus melangkah, menyusuri area trotoar di jalan besar. Sedang keringat sebesar biji jagung mulai membasahi wajah dan tubuhnya. Hingga dengan terpaksa dia harus membuka jaket kulit yang ia kenakan. "What the f**k!" Ia berteriak kesal sekaligus terkejut saat sinar mentari di jam sepuluh pagi itu menyinari kulit mulusnya dengan sengatan perih seketika jaket tersebut terlepas. Sigap, ia berlari, memilih berteduh di bawah rindang pohon mangga terdekat. "Oh, s****n! Benar-benar diluar perhitungan. Mana lagi keburu pula. Bisa-bisa aku sampai apartemen melewati jam sebelas. s**t!" Tak tunggu lama. Ia kemudian merogoh ponsel dari dalam kantong jaket dan mengunduh aplikasi Grab sesigap tangannya berselancar di atas pemukaan layar benda itu. Butuh waktu seperempat jam hingga mobil berwarna hijau yang dimaksud menyambangi tempatnya berada. Pria berumur dengan rambut tercukur asal-asalan menghampirinya. "Mas yang namanya Langit Angkara Pradja." Yang disebut mengangguk. Tak begitu menghiraukan dia malah berjalan memunggungi si supir. "Koper saya letakkan di bagasi." "Eh? Koper yang mana, mas?" Tanya si supir. "Itu loh di belakang, pak." Langit hanya menunjukan arah seaadanya dimana koper itu berada dengan dagu. Tak perlu menoleh ia pun bergegas menempatkan diri nyaman di dalam benda beroda empat tersebut. Ia menurunkan kaca jendela dan kembali bersuara. "Buruan! I'm in hurry! Kopernya di----" Si supir menyela, "Ada dua mas kopernya. Yang mana satu." Pria itu, Langit menghela nafas panjang. Tampak satu koper lagi tergeletak asal di antara rerimbunan semak, bersisian dekat dengan kopernya. Dan dua koper itu tak punya pembeda hingga Langit mengerutkan dua pangkal alisnya bingung. "Yang mana koperku?" "Mas Langit?" Langit tersentak, reflek dia melihat jam di tangan. Gila saja, kalau sampai bongkar isi dua tas itu sekarang, gumamnya dalam hati. "Bawa aja dua-duanya. Buruan, pak." Sepanjang perjalanan, Langit hanya bisa merebahkan kepala ke sandaran kursi. Matanya memejam rapat, berusaha keras untuk bisa terlelap walau dalam hitungan tak sampai lima belas menit lamanya. Tiba-tiba suara si supir kembali terdengar. "Masnya baru pernah ke Jakarta ya, mas?" Langit hanya berdehem tanpa merasa harus membuka mata. Supir itu masih bersuara, "Jakarta panas ya, mas?" "Banget." "Masnya--" "Langit. Bukan,mas--nya." Pemuda itu menyela tak suka. "Maksud saya mas Langit asli Indonesia, kan?" "Menurut, bapak?! Bagaimana bisa saya fasih berbahasa Indonesia di hari pertama saya balik menginjakkan kaki di sini. Lagian, enggak usah banyak nanya deh, pak. Fokus saja! Bapak punya tanggung jawab mengantarkan saya ke tempat tujuan dengan selamat." "So pasti itu, mas." "Berisik! Saya mau istirahat. Nyetir yang baik." "Owalah! Wong ganteng kok sukanya nesu iku, loh." Langit berdecak sebal namun matanya tetap memejam, "ora nesu aku, pak." "Gusti! Wong Jowo toh ternyata." Si supir tertawa terbahak-bahak. Dan tawanya memulai serangkaian cerita yang tak sepenuhya dimengerti oleh si penumpang itu sendiri. Mendengar cuap-cuap pria paruh bayah tersebut, Langit makin menutup tak hanya mata namun kini juga telinga. Perjalanan tak sampai lima belas menit yang ia lalui terasa seperti memakan banyak putaran detik bagi Langit. Sewaktu kakinya menginjak tanah di muka gedung sebuah apartemen berlantai dua puluh, Langit dengan sigap mengeluarkan secarik uang seratus ribu dari dompet dan memberikannya pada pria tersebut. Dia tak berpikir untuk menunggu uang kembalian dari si supir. Terlalu malas berhadapan dengan mahluk berisik sepertinya. Kini langkah Langit memburu, menyeret dua koper yang entah kepada siapa koper satunya itu lagi bertuan. Langit menyumpah tak kala pintu lift terbuka di lantai enam belas. Seorang pemuda berusia awal dua puluhan menetapnya lekat. Dia pria berwajah khas Indonesia, dengan kulit berwarna kecoklatan tengah melayangkan pandangan head to toe ke arah Langit dan berdecak antara kagum juga kesal. "Oh-my-God! You handsome but you trouble to me, man. Dangerous, my populer face will lose." "Heh?" Langit menautkan dua pangkal alis bingung. . . . "Oh-my-God! You handsome but you trouble to me, man. Dangerous, my poppuler face will lose." Pria di hadapannya bersedekap tangan di depan d**a, sedang ia masih menggelengkan kepala dengan raut miris. "Heh?" Langit menautkan dua pangkal alis bingung. Dia hampir menyemburkan tawa saat pria atau sebut saja bocah itu, kembali bersuara, "You new people, you know? God! You can not speak English, man? By the way, Welcome, boy. My name is Alex. You?" Mendengar hal tersebut, Langit menganggukan kepala perlahan. Ia mulai mengerti seberapa berantakannya tata bahasa Inggris yang dilisankan oleh si pria tersebut. "Mahasiswa, ya?" Tak menjawab tanya Alex, Langit justru memilih bertanya balik. "Ya. Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Oh, Hei! Bagaimana bisa tahu?" "Semester berapa? Dan bisa kamu bantu aku seret koper satunya lagi?" Langit menengok ke belakang lalu menyeret koper yang dimaksud mendekati Alex. Dia memandang nanar saat apartemen nomor 1610 miliknya berada di paling ujung dari arah matanya memandang. Membuat sosok itu harus berjalan perlahan dengan sisa tenaga yang masih ada. Sedang Alex patuh dan mengekori pria di hadapannya. Sampai di tujuan, Langit membuka pintu dan meletakkan dua koper tadi masuk ke dalam ruangan. Sedang badannya masih berdiri tegap di ambang pintu. Alex yang berniat ingin masuk justru menatap aneh dua pelototan tajam mata milik sang pemilik apartemen bernomor 1610 itu yang berdiri tepat di depannya. "Egh, Butuh bantuan? Aku lagi ada jam kosong di kampus. Paling tidak, aku akan membantumu sebagai ucapan selamat datang." "Thanks for your help. Tapi aku bisa sendiri." Tegas Langit. "Aku lihat barang-barangmu terlalu banyak." Alex menengok ke dalam sesaat. "Juga mewah." Gumamnya pelan. "Kamu memata-matai rumahku?" Pemuda itu tergelak. Ia lalu mengibas-ngibaskan tangan. "Ah! Bukan! All day in this month, Aku lihat petugas pengatar barang bolak-balik memenuhi your apartemen dengan barang-barang rumah tangga." "Oh! Begitu." "Yes. Memang cuma begitu." "Ya, sudah. Aku mau berbenah. Kita bicara lain waktu lagi. Hm, siapa namamu tadi?" "Call me Alex, bro" "Oke." Saat Langit berbalik, dia kembali menatap wajah polos itu kembali, "By the way, Aku Langit. Langit Angkara Pradja. Dan aku terkejut, saat kamu bilang kalau kamu mahasiswa di jurusan pendidikan Bahasa inggris." Langit terkekeh, "Well, perhaps someday you're gonna know how poor you." . . . "Apa dia bilang? Barang mewah?" Langit tersenyum geli, mengingat kembali gumaman kecil Alex yang terdengar jelas olehnya tadi. Bagaimanapun, mahasiswa bernama Alex barusan benar-benar terlihat polos dengan kemampuan berbahasa Inggrisnya yang sama polos tanpa ada polesan grammar di tiap kalimat yang ia lisankan. "Funny! You're still a stranger. Tetangga model apaan itu? s**l!" Gumamnya kembali. Butuh waktu sepuluh jam lebih buat Langit berbenah-benah. Mulai dari merapikan letak almari sampai mengepel seluruh jengkal lantai. Dan akhirnya jarum jam hampir menyentuh angka sebelas hingga ia berhasil merebahkan diri di atas kasur nyaman milinya. Warna temeramnya biru membuat dua mata pria itu makin terasa berat. Namun seketika satu ingatan menyentak tubuhnya langsung terduduk. Koper!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Nikah Kontrak dengan Cinta Pertama (Indonesia)

read
454.3K
bc

Broken

read
6.4K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Me and My Broken Heart

read
34.6K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.2K
bc

Wedding Organizer

read
47.0K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
16.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook