1. Hidup di Tengah Kemiskinan

1478 Words
Tiga belas tahun sudah dijalani Ahtissa sebagai seorang gadis miskin yang harus menanggung beban hidup bersama Rini, sang ibu. Semenjak pergi dari rumah megahnya di Fullerton Citraland, Surabaya Barat, kini Ahtissa dan Rini harus mengontrak rumah sempit di daerah Gunung Anyar, Surabaya Timur. Rumah berdinding kayu yang ringkih yang sangat biasa saja untuk ukuran tempat tinggal. Sungguh miris hidup sepasang ibu dan anak tersebut. “Ma, bentar lagi kan Tissa sudah lulus SMA, Tissa mau bantu Mama kerja ya. Tissa nggak tega lihat Mama harus kerja ke sana ke sini banting tulang demi membayar biaya hidup kita,” keluh Ahtissa sambil menatap sendu ke arah ibunya. “Putriku Sayang, sudahlah, sudah menjadi tugas Mama sebagai orang tua untuk memenuhi kebutuhan anakku hingga dewasa. Kau jangan khawatirkan, Mama. Belajarlah yang pandai, siapa tahu kau bisa dapat beasiswa untuk lanjut kuliah,” pesan Rini seraya mengusap-usap pipi putri semata wayangnya tersebut. Ahtissa manggut-manggut. “Tapi Ma, Tissa nggak tega harus melihat Mama setiap hari jadi buruh cuci dan asisten rumah tangga harian di rumah orang-orang. Sakit hati Tissa jika ingat kalau dulu Mama adalah wanita kaya yang mendadak harus jatuh miskin gara-gara Papa.” Rini langsung menyela ucapan putrinya. “Hei Tissa, jangan mengeluh dengan keadaan kita sekarang. Ini sudah menjadi takdir kita berdua. Jangan salahkan Papamu juga. Meski Papa Gion terlibat beberapa kasus ilegal yang merugikan banyak orang dan negara, beliau tetap Papamu. Orang tua jangan dibenci ya, Sayang,” pinta Rini yang tampak semakin kurus setiap hari. Ahtissa mendesah pasrah. “Iya Ma, Tissa nggak benci Papa. Tissa cuma merasa nggak adil untuk kita. Hidup serba susah seperti ini. Apalagi berbanding seratus delapan puluh derajat dengan Kak Ahlan. Sangat nggak adil.” “Tissa Sayang, nggak boleh begitu. Kita harus tetap bersyukur dengan keadaan kita sekarang. Nggak boleh iri juga sama Kakakmu. Ikhlas saja jika dia lebih disayang oleh keluarga Papa. Oh iya, apa kau pernah bertemu Ahlan selama ini?” tanya Rini antusias saat membahas putri laki-lakinya yang diambil paksa oleh keluarga suaminya tersebut. Ahtissa menggeleng. “Nggak pernah, Ma. Tissa nggak tahu seperti apa wajah Kak Ahlan sekarang. Tissa hanya ingat wajah Kakak di saat masih kecil. Entah bagaimana wajahnya sekarang.” Rini mendesah pelan. “Iya-ya, keluarga Papa menjadi lebih tertutup semenjak Papa menjadi salah satu buronan nomor wahid di negara ini. Yang Mama tahu mereka telah pindah rumah dari rumah megah mereka di Galaxy Bumi Permai. Mama pun nggak tahu kemana mereka pergi dan bagaimana keadaan kakakmu selama ini,” ucap Rini dengan raut muka sedih. “Sudah-sudah, Ma. Kita jangan bahas yang sedih-sedih lagi. Bahas yang lain saja,” pinta Ahtissa sambil merangkul mesra sang ibu. “Oh iya Ma, alhamdulillah Tissa punya rejeki hari ini.” Mata Rini melebar saat mendengar ucapan putrinya. “Iya kah? Rejeki apa, Sayang?” tanya Rini penasaran. “Hari ini Tissa dapat hadiah dua ratus ribu rupiah dari lomba menyusun cerita pendek di sekolah, Ma. Ini uangnya,” jawab Ahtissa seraya memperlihatkan 2 lembar uang pecahan seratus ribu rupiah pada ibunya. “Wah, alhamdulillah ya, Tissa. Memang kamu pandai menulis cerita pendek? Sejak kapan, kamu bisa menulis? Terus ceritanya tentang apa?” cecar Rini tak sabar untuk mendengar cerita anaknya. “Aku mulai belajar menulis untuk mengobati rasa rinduku pada Kakak, Ma. Aku menulis tentang Kak Ahlan yang terpisah denganku. Di akhir cerita kami bertemu di suatu tempat,” jawab Ahtissa dengan raut muka yang awalnya murung menjadi ceria saat ia mengatakan ‘bertemu di suatu tempat’. Rini tertegun mendengar cerita Ahtissa yang rindu pada kakak laki-lakinya yang telah pergi hingga air mata menggenang di pelupuk mata wanita itu. Ahtissa yang memergoki sang ibu yang hendak menangis, lantas bersuara. “Lho, Mama kok jadi menangis. Tissa salah omong ya?” Rini menggeleng sambil mengusap air matanya yang jatuh. “Enggak, Tissa. Kamu nggak salah ngomong. Mama terharu mendengar ceritamu. Mama berharap nanti kita bisa bertemu Ahlan suatu hari nanti dan Papa bisa kembali pada kita. Biar kita bisa hidup layaknya keluarga normal pada umumnya,” jawabnya penuh harap. “Aamiin. Tapi jika saat itu terjadi, kita sudah berumah tangga kayaknya ya, Ma. Kak Ahlan pasti sudah punya calon istri atau istri karena sudah menikah sedangkan Tissa mulai mencari pasangan hidup Tissa.” Wanita paruh baya tersebut mengangguk. “Iya, Sayang. Kalian sudah besar sekarang. Beberapa tahun ke depan, Mama harap sudah bisa menggendong cucu darimu dan Ahlan,” tukas Rini dengan mata berbinar. Ahtissa berdeham. “Hmm … Tissa mau fokus kerja saja nanti, Ma. Mengenai cucu pertama Mama harusnya memang Kak Ahlan yang memberikan Mama cucu. Tissa nanti-nanti saja kalau sudah punya calon suami. Kekasih saja Tissa belum punya.” Rini terkekeh. “Iya-iya, cucu dari Ahlan dulu nantinya. Lho, yang mendekatimu kan banyak. Kau bisa tinggal pilih kan cowok-cowok yang rajin memberimu cokelat saat awal bulan.” “Mama mulai ini. Mereka itu teman-teman Tissa saja, Ma. Lagian masak ngasihnya cokelat dan bunga saja. Lama-lama Tissa mabuk sama cokelat dan bunga. Coba begitu ya, sesekali memanjakan Tissa belanja atau mentraktir kita makan enak dan mahal, pasti Tissa pepet terus,” celetuk gadis itu berandai-andai dan langsung membuat Rini berkacak pinggang. “Hei Tissa, nggak boleh bilang begitu, Nak. Mama membesarkan anak Mama untuk tidak menjadi wanita materialistis. Jangan pernah berpikiran seperti itu! Jangan pernah bergantung pada pria! Kau harus bisa mandiri dengan ataupun tanpa pria di sampingmu,” tegas Rini memberi wejangan pada putrinya. Mendengar wejangan Rini, Tissa menelan ludah. “Iya Mama, siap. Tissa hanya bercanda kok. By the way, kembali pada topik awal. Karena Tissa punya uang dua ratus ribu, ayo Ma, sesekali kita makan makanan enak. Tissa ingin beli makanan enak untuk kita berdua,” ajak Ahtissa yang langsung ditolak oleh Rini. “Nggak usahlah, Sayang. Mending uangnya kamu tabung untuk kebutuhanmu yang lebih mendesak. Makan tahu, tempe, dan ayam potong sudah cukup untuk kita. Nggak usah meminta lebih,” tolak Rini yang ingin anaknya tidak boros. Ahtissa berdecak sebal. “Ck … ck … sekali-sekali saja lho, Ma. Tissa ingin makan daging. Ingin makan steak kayak teman-teman Tissa. Ayolah, Ma! Kita makan steak di Kampoeng Steak Rungkut Asri. Murah saja. Bukan beli steak di Boncafe kok. Beli di Kampung Steak saja. Harganya dibawah lima puluh ribu rupiah. Nanti uangnya masih sisa untuk Tissa tabung. Ya, Ma?” pinta gadis itu merayu sang ibu. Rini terdiam sejenak kemudian bersuara. “Ya sudah, kita makan steak di sana. Tapi ini langka ya, Tissa. Kalau punya rejeki lagi kita makan yang lebih murah saja,” tutur Rini yang diangguki Ahtissa. “Beres, Mama. Kalau begitu ayo Ma, kita berangkat sekarang saja. Tissa sudah lapar dan ingin makan daging,” ajak Tissa seraya menarik lengan sang ibu. “Sekarang juga?” tanya Rini tercengang. Ahtissa manggut-manggut. “Iya, Mama. Ini sudah waktunya jam makan malam. Perut Tissa sudah keroncongan ini. Ayo, Ma!” ajak Ahtissa bersemangat. “Oke, oke, Mama ganti baju dulu. Kau juga siap-siap sana,” sahut Rini. “Iya Ma, setelah siap, langsung berangkat ya!” seru Ahtissa antusias. Kedua wanita itu pun bersiap-siap untuk menuju restoran yang selama ini menjadi tempat makan yang langka dikunjungi oleh mereka. Dengan mengendarai sepeda motor Honda Beat keluaran pertama, ibu dan anak tersebut hendak pergi ke Kampung Steak Rungkut Asri yang hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk bisa sampai di sana dari rumah mereka. Meski Rini merasa agak tidak enak badan dikarenakan mendadak merasa pusing, ia tetap menuruti keinginan sang anak untuk makan malam steak yang harganya lebih terjangkau ketimbang restoran-restoran steak yang lain. Wanita itu pun tidak memberitahu Ahtissa jika ia tengah pusing. Tak ingin merusak keinginan putrinya yang ngidam makan steak. “Sudah siap, Ma?” tanya Ahtissa setelah memasang helm di kepala. “Sudah, Tissa,” jawab Rini seraya memasang pengait helm yang ia kenakan. Lantas Ahtissa meminta Rini untuk segera duduk di jok motornya. “Pegangan di pinggangku ya, Ma,” pinta gadis itu yang kemudian dituruti oleh ibunya. Motor yang dikendarai Ahtissa pun melaju dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan ia berbincang dengan Rini yang berusaha tidak merasakan rasa sakit yang melandanya malam itu. Namun ketika di tengah perjalanan, tiba-tiba sepeda motor yang dikendarai gadis itu berhenti secara tiba-tiba alias mogok. Ahtissa terperanjat saat mengetahui motor bututnya tersebut tak mampu dikendalikan. “Wah, mogok. Aduh!” pekik Ahtissa sebal. Ahtissa pun lekas menepikan motornya ke pinggir jalan. Sementara itu masalah berlanjut ketika mendadak Rini tak mampu mengatasi rasa sakit yang menyergapnya sejak tadi itu. Wanita itu tiba-tiba pingsan di samping gadis malang itu. Ahtissa yang terlonjak melihat ibunya tak sadarkan diri, berteriak-teriak meminta tolong. “Mama … tolong! Tolong!” seru Ahtissa seraya berurai air mata. Aksi mengejutkan tersebut jadi menambah daftar kemalangan yang dialami oleh Ahtissa sebagai orang miskin. Sangat menyakitkan bagi gadis yang awalnya hidup layaknya putri kaya raya tiba-tiba berubah menjadi gadis yang serba kekurangan. Ia harus mengatasi segala macam masalah hidup di tengah kemiskinan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD