2. Dia adalah Adrian Hadiningrat

1512 Words
Rini, sang ibunda dari Ahtissa yang secara mendadak pingsan di pinggir jalan sontak membuat orang- orang melintasi jalan di sana jadi memperhatikan mereka. Bahkan beberapa dari orang-orang itu mendekati gadis malang tersebut untuk menawari bantuan. Dari sekian banyak orang yang ada di sana, ada salah satu pria yang menarik perhatian Ahtissa. Pria itu bergegas turun dari mobil sedan mewah BMW 320i Luxury berwarna putih untuk bergerak mendekati Ahtissa dan ibunya. Suatu pemandangan yang langka bak seorang pangeran berkuda putih yang hendak menyelamatkan seorang gadis miskin seperti Ahtissa layaknya sebuah dongeng. Ini pangeran apa jodohku sih? Ah, mimpiku mengada-ada sekali. Ahtissa berkata dalam hati seraya memukul-mukul kening akibat membayangkan yang tidak-tidak pada pria tampan itu. “Mbak, ibunya pingsan ya? Mari saya bantu untuk dibawa ke rumah sakit,” tawar seorang pria yang tampak kasihan pada Ahtissa dan ibunya. “Iya, Pak. Tolong ibu saya! Ibu saya ini kalau merasa sakit nggak pernah mau ngomong. Selalu disimpan sendiri,” sahut Ahtissa sedih. Pria jangkung yang berwajah seperti model itu lantas membopong Rini yang tak sadarkan diri. Segera membawa wanita paruh baya tersebut masuk ke dalam mobil putihnya. “Kita berangkat di rumah sakit terdekat dari sini ya,” ujar pria itu. Ahtissa manggut-manggut saat membalas ucapan pria yang menolong mereka itu. “Iya Pak, terima kasih banyak.” “Memang sudah kewajibanku untuk membantu orang membutuhkan. Kebetulan kan tadi aku pulang dari salah satu perusahaan milik keluargaku di Rungkut Industri. Terus aku lewat sini. Jiwa sosialku tak tega untuk tidak menolong kalian,” jelas pria yang dari penampilannya tampak jika ia adalah seorang pekerja yang berkedudukan tinggi layaknya CEO. Ahtissa mendesah seraya berkata, “Oh iya, Pak. Intinya terima kasih banyak sudah menolong kami.” “Apakah wanita yang bersamamu itu ibumu?” Gadis itu mengangguk. “Iya, Pak. Kenapa?” “Coba kau periksa napas dan denyut nadinya. Masih adakah denyut nadi ibumu?” tanya pria itu mulai cemas dengan kedua tangan sibuk mengendarai mobil. Ahtissa mencoba memeriksa napas dan denyut nadi sang ibu. Tak lama memeriksa, ia pun menjawab, “Alhamdulillah masih ada, Pak.” “Ya sudah, sebentar lagi kita sampai. Kau siap-siap ya,” sahut pria masih belum diketahui namanya tersebut seraya menambah kecepatan mobil. Selang lima menit kemudian, mobil yang ditumpangi Ahtissa dan Rini pun sampai di halaman Rumah Sakit Royal Surabaya yang terletak di Jalan Raya Rungkut Industri yang sejajar dengan salah satu perusahaan milik keluarga pria yang menolong gadis itu. Ahtissa beserta sang pria tampan pun meminta bantuan security yang berada di lobby rumah sakit untuk segera mengirimkan brankar atau bed emergency pasien yang tak sadarkan diri tersebut. Tanpa menunggu lama-lama lagi, Rini lekas dibaringkan di atas brankar kemudian didorong dua orang perawat menuju Instalasi Gawat Darurat (IGD) agar segera dirawat oleh para dokter di sana. Sesampainya di dalam IGD, seorang dokter umum yang berada di sana dengan cepat menghampiri Rini yang tengah terbaring dalam keadaan tak sadarkan diri. Sang dokter dengan cekatan berusaha membuat pasien tersadar. Baru setelah beberapa menit berlalu, Rini pun sadar dari pingsan. Mulai membuka kedua kelopak mata hingga dapat menyaksikan Ahtissa yang berurai air mata. “M-Mama … Mama … syukurlah Mama sudah sadar,” panggil Ahtissa sesenggukan. Lantas ia segera memeluk hangat sang ibu. “T-Tissa …” sahut Rini tergugu. “Iya Ma, apa yang Mama rasakan sekarang? Apa yang sakit, Ma?” tanya Ahtissa khawatir. “Rasanya seperti lemas atau mati rasa. Pusing juga,” jawab Rini seraya mengerjapkan mata beberapa kali. “Tissa, terus bagaimana dengan makan steak kita? Habis dari sini ayo kita ke sana. Maafkan Mama ya, gara-gara Mama pingsan terus acara makan malam kita terganggu.” Ahtissa menggeleng. “Mama, cukup. Jangan bahas itu lagi! Yang penting Mama sembuh dulu. Masalah makan kita bisa kapan-kapan. Lagian uang dua ratus ribu itu buat biaya periksa di RS ini saja.” Ucapan sang anak membuat Rini bersedih. Matanya berkaca-kaca saat mendengar penjelasan dari Ahtissa. Sungguh malang gadis itu yang baru saja menerima rejeki dari lomba menulis cerita pendek, harus diikhlaskan untuk membayar biaya rumah sakit di sana. “Tapi Sayang, itu uangmu. Hasil jerih payahmu mengikuti lomba. Nanti kalau Mama dapat upah kerja di rumah orang, akan Mama kembalikan,” janji Rini sambil menatap sayang ke anak perempuannya yang tersisa itu. “Sudah, Ma. Mama nggak boleh kerja dulu sampai Mama benar-benar sembuh. Percuma kerja kalau masih sakit. Nanti Mama pingsan lagi,” protes Ahtissa yang kemudian menoleh ke arah dokter yang hendak mendiagnosa penyakit ibunya. Setelah diperiksa beberapa menit, akhirnya sang dokter di IGD menyimpulkan diagnosa penyakit Rini. “Ibu ini mengidap penyakit stroke yang berarti terdapat kerusakan otak akibat gangguan suplai darah. Keluhan yang Ibu alami seperti lemas atau mati rasa dan pusing itu termasuk gejala stroke. Stroke yang Ibu alami termasuk stroke ringan jadi bisa dilakukan pengobatan di rumah. Sebentar lagi akan saya beri resep untuk ditebus ya,” ujar sang dokter seraya menggoreskan pena di atas lembar kertas. Ahtissa mengangguk dan terpaksa menyetujui permintaan sang dokter untuk menebus resep yang pasti harganya mahal. Membuat gadis itu harus menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Berharap ada solusi mengenai biaya pemeriksaan dan pengobatan sang ibunda. Ketika Ahtissa berjalan dan hendak menuju bagian administrasi untuk membayar seluruh biaya, gadis itu tak menemukan keberadaan si pria tampan. Ia tampak sedikit menyesal mengapa mereka tadi tak sempat berkenalan. Ia pun hanya bisa menggerutu sebal dalam hati. Aduh, bodohnya aku. Namamu siapa Mr. X? Dan sekarang kau sudah pergi saja. Seandainya aku tadi bisa berkenalan denganmu. Ahtissa hanya mendengkus. Lantas ia berdiri depan kasir untuk menanyakan berapa jumlah yang harus ia bayar. “Mbak, total semua biayanya berapa?” tanya Ahtissa dengan jantung berdegup kencang. Takut tak mampu membayar seluruh tagihannya. Gadis itu mencoba mengatur napas untuk tidak gugup. “Total semua tagihannya lima ratus ribu rupiah sudah termasuk obat dan periksa dokter,” jawab salah satu kasir rumah sakit. “Apa???” tanya Ahtissa terlonjak. Yang hanya tersisa didompetnya hanya uang sebesar Rp 250.000.- saja. Dua ratus ribu adalah uang hadiah lomba dan lima puluh ribu adalah uang cadangan untuk jaga-jaga jika ada keperluan yang mendesak. Sesaat kemudian kasir tersebut bersuara. “Tenang saja ya Kak, seluruh biaya pemeriksaan dan obat untuk Nyonya Rini sudah dibayar lunas oleh Tuan Adrian Hadiningrat tadi. Jadi Anda sudah tidak perlu membayar lagi. Malah ada lebihan seratus ribu ini. Kakak ambil saja.” Seketika mulut Ahtissa menganga saat mendengar ucapan dari kasir. Jadi segala biaya sudah dibayar oleh pria tampan dan baik hati tadi. Ya ampun, terima kasih banyak Pak Adrian Hadiningrat. Akhirnya aku tahu namamu. Akan aku simpan namamu dalam hati. Kau seperti seorang pangeran yang menolong gadis miskin sepertiku. Ahtissa membatin dalam hati dengan rasa lega. Setelah urusan di meja kasir terselesaikan, ia kembali ke tempat Rini yang sudah dalam kondisi duduk. “Ma, aku mau cerita. Seluruh biaya rumah sakit sudah dibayar oleh pria yang tadi menolong kita di pinggir jalan. Baik sekali dia, Ma. Jadi Mama nggak perlu khawatir lagi tentang biayanya,” celetuk Ahtissa sambil mengulum senyum manis. “Masya Allah, baik sekali orang itu. Semoga hidupnya diberkahi oleh Allah SWT,” sahut Rini seraya mengangkat tangan untuk mendoakan sang pria tampan yang baik hati. “Kalau begitu kita sekarang balik yuk, Ma. Sebelum pulang kita tetap makan malam ya. Uangku masih utuh. Kita bisa makan enak malam ini. “Ahtissa berkata dengan muka berseri-seri namun tiba-tiba berubah mengernit. “Tapi kondisi Mama gimana kalau kita makan di luar?” “Nggak apa-apa kok, Sayang. Kan cuma buat makan aja. Mama kan bisa duduk sambil makan. Eh tapi, motormu bagaimana?” tanya Rini cemas. “Ya sudah kalau begitu. Oh iya, motorku ya, Ma. Kan tadi kita naik mobil mewah milik pria itu …” Aliska tampak mengerutkan kening memikirkan motor bututnya yang tertinggal di pinggir jalan akibat mogok. Saat sepasang ibu dan anak keluar dari rumah sakit, ada pria yang bergerak mendekati mereka. “Mbak, sebentar,” cicit seorang pria yang ternyata ada security rumah sakit. “Tadi Bapak Adrian menitipkan kunci motor ini pada saya untuk diserahkan pada Ibu dan Mbak.” Security tersebut lantas menyodorkan sebuah kunci motor Honda Beat yang terdapat gantungan kunci manik-manik yang berasal dari Singapore. Sebenarnya itu oleh-oleh dari sahabat Ahtissa yang liburan ke negeri singa saat liburan semester lalu. Gadis itu diberi oleh-oleh gantungan kunci dari sana. Jika teman baik Ahtissa menghabiskan waktu liburan semester dengan pergi ke luar negeri, bagaimana dengan gadis malang itu? Jelas saja Ahtissa tak mampu pergi kemana-mana karena liburan itu membutuhkan uang sedangkan ia dan ibunya adalah keluarga yang sangat pas-pasan. “Memang motor saya sudah bisa dipakai?” tanya Ahtissa seraya mengernyit pada security. “Sudah kok, Mbak. Tadi ada yang mengirim motor ini dengan mengendarainya. Dicoba saja dulu.” Ahtissa pun lekas mencoba sepeda motornya. Dan memang benar jika kendaraan miliknya tersebut sudah tidak mogok lagi. Sudah diperbaiki oleh orang suruhan pria yang bernama Adrian Hadiningrat. Ahtissa dan Rini pun beranjak meninggalkan rumah sakit dengan rasa lega di d**a. Hatinya berbunga-bunga dengan sosok pria yang ia harapkan dapat bertemu lagi di lain kesempatan. Semoga saja harapan Ahtissa tersebut bisa terjadi kelak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD