4. Sebatang Kara

1282 Words
Sudah sebulan berlalu semenjak Ahtissa lulus SMA di usia yang masih belia yakni 18 tahun. Kini ia berusaha mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian sang ibu dengan bekal ijazah SMA. Gadis itu kasihan pada ibunya yang hampir setiap hari berkerja dari rumah satu ke rumah yang lain sebagai buruh cuci serabutan. Usai mandi dan berganti pakaian yang lebh resmi guna hendak datang ke jobfair untuk mencari pekerjaan, ia berpamitan pada ibunya terlebih dahulu “Mama … Mama … Mama …” panggil Ahtissa di pagi hari ketika menyaksikan Rini masih tertidur pulas di kamarnya. “Ma, Mama.” Gadis itu berusaha memanggil-manggil sang ibu seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya namun Rini masih tetap belum membuka mata. Ahtissa pun mulai panik. Takut jika ternyata ibunya meninggal secara mendadak. Lantas Ahtissa mulai memeriksa denyut nadi sang ibu yang tidak terasa ada denyut nadi bergerak di dalam tangan Rini. Ia pun jadi semakin panik. Apalagi setelah ia memeriksa napas ibunya yang ternyata benar-benar tidak ada. Seketika tangis pecah keluar dari mulut gadis malang itu. “MAMA!!! JANGAN TINGGALKAN TISSA SENDIRI, MA! JANGAN PERGI!!!” jerit Ahtissa yang menangis sejadi-jadinya akibat ibunya yang tak kunjung sadar. Gadis itu kebingungan hingga meminta bantuan tetangga sekitar untuk menolong ibunya. Dengan langkah seribu, ia berjalan memasuki teras rumah salah satu tetangganya yang rumahnya tampak ramai berisi beberapa orang di sana. “Pak, Bu, tolong saya! Tolong ibu saya! Beliau tidak bangun-bangun di tempat tidur. Saya takut jika beliau sampai tiada,” ucap Ahtissa sambil sesenggukan. Air mata membanjiri pipi halus gadis muda itu. Ia syok akan kondisi ibunya yang seperti itu. “Apa??? Bu Rini tak bangun-bangun? Ayo, semuanya kita ke rumah Bu Rini. Kita periksa kondisi Bu Rini,” ajak Yasir, pria paruh baya yang menjadi tetangga sebelah rumah Ahtissa. “Iya, Pak. Tolong Mama saya, Pak. Kasihan beliau, Pak,” rengek gadis itu yang tak henti-hentinya menangis. Selalu menangis ibunya yang selama ini banting tulang demi bisa hidup berdua dengan Ahtissa. Empat orang bersama Ahtissa pun bergegas mendatangi rumah gadis itu untuk memeriksa Rini. Tanpa berlama-lama lagi, Rini segera diangkat dan dimasukkan ke dalam mobil milik salah satu orang yang menolong sang ibu tersebut. Lekas menyalakan mesin mobil untuk bisa sampai di rumah sakit terdekat Untuk bisa sampai di rumah sakit terdekat, hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit dari rumah kontrakan Ahtissa. Rumah Sakit Royal Surabaya yang terletak di Jalan Rungkut Industri, Surabaya menjadi rumah sakit tujuan. Masih teringat akan kejadian beberapa waktu lalu saat ibunya pingsan ditolong oleh pangeran berkuda putih juga di sini. Adrian Hadiningrat yang namanya masih disimpan di pikiran gadis itu. “Ayo, cepat kita bawa ke UGD. Biar Dokter yang memastikan sendiri apakah orangnya masih hidup atau sudah meninggal,” ajak Yasir pada teman-teman yang ikut mengantarkan Rini ke rumah sakit. Ahtissa hanya bisa menurut saja sambil berurai air mata. Cairan bening di pelupuk mata gadis itu kerap kali jatuh. Kedua pipinya basah dan mata Ahtissa jadi sembab. Masih tak bisa membayangkan jika ibunya harus benar-benar pergi untuk selamanya. Ia akan sedih sekali. “Tolong, Dokter! Tolong selamatkan Mama saya!” rengek Ahtissa pada dokter yang baru saja menangani sang ibunda. “Sebentar, Nona. Saya periksa dulu detak jantungnya ada atau tidak,” sahut sang dokter yang langsung memeriksa pasien. Langsung mengenakan alat-alat medis untuk berusaha menyelamatkan Rini. Namun apa daya, dokter itu hendak mengatakan fakta yang akan membuat Ahtissa syok berat. Musibah untuk Ahtissa pun muncul. Dengan berat hari sang dokter berkata, “Mohon maaf yang sebenar-benarnya, setelah saya periksa ternyata nyawa Ibu Rini telah tiada. Tidak bisa saya selamatkan lagi.” Deg. Seketika jantung Ahtissa mendadak hampir meluncur dari tempatnya berdetak. Gadis itu langsung syok dan terguncang. Hal yang ia takutkan selama ini kejadian sekarang. Sang ibu tercinta harus pergi untuk selama-lamanya dari kehidupan Ahtissa. Merasa syok dengan hal yang mengejutkan tersebut, ia mendadak jatuh pingsan di lantai rumah sakit. Masih tak percaya jika dirinya benar-benar sebatang kara sekarang. “Lho Tissa, Tissa pingsan. Dokter, gadis ini langsung pingsan. Tolong selamatkan gadis ini, Dokter. Setiap hari serba kekurangan. Kasihan,” celoteh Yasir. “Baik, tunggu sebentar. Saya akan menyadarkan Nona ini,” sahut dokter di UGD. Ahtissa yang pingsan itu segera dibaringkan di atas brankar atau bed emergency Unit Gawat Darurat. Berusaha menyelamatkan si gadis dengan memberikan pertolongan permata untuk pasien yang jatuh pingsan. Gadis itu seakan-akan memberikan tanda jika ingin menemani ibunya untuk pergi saja dari kehidupan dunia ini. Pasrah oleh dunianya yang serba kekurangan dan ditambah bahwa ia sekarang sudah tak punya siapa-siapa lagi. Kini Ahtissa jadi sebatang kara. Tak lama kemudian, dokter akhirnya mampu membuat gadis itu siuman. Ahtissa membuka mata sambil terisak. Fakta atas kematian ibunya secara mendadak masih terekam jelas di otaknya. Ia pun bangkit dari brankar lalu mencari-cari tubuh ibunya yang sudah tertutup kain putih. Dari situ ia menangis tiada henti. “Mama … Mama … Mama … kenapa Mama meninggalkan Tissa secepat ini? Kenapa semua orang meninggalkan Tissa sendiri. Tissa sudah nggak punya siapa-siapa lagi sekarang,” keluh Ahtissa sedih. Yasir selaku tetangga Ahtissa lekas bersuara. “Tissa, ayo sekarang kita pulang. Kita harus segera mengurusi pemakaman Bu Rini. Ayo, Nak,” pinta Yasir yang dituruti oleh Ahtissa. Ia hanya bisa pasrah dengan segala takdir yang diberikan oleh Tuhan padanya. Hingga pemakaman itu pun terjadi. Ahtissa akhirnya harus ikhlas menguburkan sang ibu ke liang lahat pasca kematian Rini. Sekarang ia benar-benar sendiri. Ketika para pelayat sudah kembali, Ahtissa hanya bisa bisa menangisi makam sang ibu sendirian. Hanya bisa bergumam dalam hati. Mama, kenapa Mama secepat ini meminggalkan Tissa? Tissa nggak punya siapa-siapa lagi sekarang, Ma. Mau mencari Kak Ahlan tapi dia ada dimana saja Tissa nggak tahu. Harus mencari kakak dan Papa yang entah mereka masih ada atau telah tiada. Tissa ingin mengikuti Mama di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi jika takdir belum mencabut nyawa ini, bisa apa Tissa? Nggak bisa apa-apa. Hanya bisa ikhlas saja dengan takdir yang harus dihadapi. Semoga Mama tenang di sana. Selalu merindukan Mama. Always love you, Ma. Kalimat panjang yang terucap di dalam hati Ahtissa yang paling dalam, harus berakhir ketika gadis itu sudah berjam-jam berada di sana. Ia harus segera pulang dan harus memutar otak untuk mencari uang. Harus memikirkan besok mau makan apa mengingat ia yang masih belum kerja dan tak memiliki tabungan. Bagaimana mau menabung jika untuk hidup sehari-hari saja sudah susah. Gadis itu hanya bisa pasrah menjalani hidupnya sekarang dan esok. Ketika Ahtissa hendak berjalan untuk pulang, di jalan raya dekat makam Gunung Anyar terdapat sosok pria yang tersimpan namanya di pikiran dan hati wanita itu yakni ‘Adrian Hadiningrat’ baru saja memasuki mobilnya. Pria itu hendak pergi meninggalkan parkiran sebuah pasar tradisional yang letaknya tidak jauh dari makam. Ya Tuhan, pangeran berkuda putihku datang. Please, izinkan aku jadi Cinderella kali ini. Izinkan aku menjadi wanita miskin beruntung yang menjadi jodoh pria itu. Siapa tahu pangeranku itu bisa menghapus segala luka hati dan derita hidup yang kualami. Batin Ahtissa penuh harap dalam hati. Saat Ahtissa hendak bergerak mendekati mobil pria itu, mendadak sosok anak kecil berusia 2 tahun minta digendong dengan menyebut-nyebut ‘Papa’ berulang kali. Gadis yang bermimpi di siang bolong itu lantas menghentikan langkah kakinya untuk mendekat. Ia bergumam kembali. Papa? Pria berkuda putih itu ternyata sudah punya anak. Artinya ia sudah menikah dan memiliki istri sebagai ibu dari anak kecil itu. Ah, Tissa kau terlalu bermimpi bisa berjodoh dengan pria itu. Sadar Tissa! Sadar! Dia terlalu sempurna untukmu. Jangan bermimpi! Ahtissa menggerutu dalam hati lalu berbalik posisi. Memilih tak jadi mendekati pria yang baginya adalah suami wanita lain tersebut. Gadis itu pun menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Beralih untuk kembali pulang ke rumah kontrakan ringkih sambil berpikir bagaimana cara untuk bisa mendapatkan uang untuk hidup. Siap-siap menjadi Ahtissa yang hidup sebatang kara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD