MINERVO 08 : Terusir Dengan Hina

1537 Words
"Terima kasih atas tumpangannya!" Paul turun dari sebuah mobil sedan warna hitam, tepat di depan gerbang rumahnya dan kemudian ia pun berterima kasih pada orang yang memberinya tumpangan. Setelah itu, mobil tersebut pun pergi dari hadapan Paul, kembali melanjutkan perjalanannya. Paul memandangi kepergian mobil itu dengan muka datar. Di pikiran Paul saat ini; ia bingung harus mengekspresikan perasaannya bagaimana, karena sebetulnya ia senang bisa mendapatkan tumpangan dari seseorang, berkat itu ia tak perlu pulang jalan kaki. Tapi di sisi lain, Paul kesal karena sepeda satu-satunya yang ia rawat dari kecil, hancur terkena hantaman batu; dan bangkainya masih ada di parkiran kedai. Paul juga masih penasaran terhadap siapa pelaku yang melempari batu-batu besar itu padanya, sepertinya pelakunya tidak hanya satu atau dua orang saja, mengingat batu-batu tersebut muncul dari segala arah, yang memungkinkan jumlah pelakunya ada banyak. Tapi masa bodoh, Paul tidak mau memikirkannya lagi. Itu malah membuat kepalanya jadi pusing, dia ingin istirahat, apalagi hari sudah sore. Ini waktunya mandi. Namun, saat Paul hendak membuka gerbang rumahnya, tiba-tiba saja ia teringat sesuatu yang sangat penting; yaitu tentang keberadaan sembilan kunang-kunang yang telah pergi entah kemana karena dibebaskan oleh Colin; manusia pertama yang telah terpilih oleh satu kunang-kunang. Paul terlalu fokus pada Colin, sampai melupakan hal sepenting itu, bodoh sekali. Walaupun Paul telah menemukan manusia pertama, tapi tetap saja, tugasnya akan gagal jika ia tidak mampu menemukan sembilan manusia yang lain. Apalagi sekarang, sembilan roh kunang-kunang yang lain telah tiada. Lalu bagaimana caranya Paul mendapatkan seorang pahlawan lagi, jika sumber utamanya; kunang-kunang, telah hilang? Itu sama saja seperti bocah d***u yang kegirangan karena telah menyelesaikan soal nomor satu, sampai lupa bahwa ada sembilan nomor lagi yang belum ia selesaikan, tapi bocah itu tidak menyadarinya karena terlalu fokus pada nomor satu. Bug! "Persetan dengan semua itu!" Karena jengkel, Paul menendang tiang dari gerbang rumahnya. Ia jadi benci pada dirinya sendiri sekaligus segala hal yang berkaitan dengan tugas dari Roswel. Paul kesal harus kehilangan roh-roh itu lagi. Bzzzt! Bzzzzt! Bzzzzt! Ketika Paul masih berdiri di depan gerbang rumahnya, merenungkan hal tersebut. Ponsel yang ia simpan di kantung celana, mendadak bergetar-getar, pertanda ada seseorang yang menelepon. Paul pun mengangkat telepon itu dengan beringas tanpa membaca nama orang yang menghubunginya. Karena suasana hatinya sedang sangat buruk, Paul ingin melampiaskan semua kekesalannya pada orang yang meneleponnya saat ini. "Halo!? Ada urusan apa kau!? Cepat jawab! b******k!" Paul langsung memaki-maki orang yang meneleponnya, tak peduli siapa yang jadi lawan bicaranya, karena suasana hatinya benar-benar sangat jelek saat ini. "Maaf mengganggu Anda lagi, Tuan. Ini saya, Roswel. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk memberikan informasi, mengingat suasana hati Anda sedang buruk. Apa saya tutup saja teleponnya, Tuan?" Ternyata orang yang kini menghubunginya adalah Roswel, membuat Paul sedikit terkejut. Roswel pasti akan memberikan informasi yang penting padanya, Paul tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Walau kekesalan masih menyelimuti hatinya, dia penasaran pada apa yang akan Roswel katakan. Dengan mendecih, Paul menjawab, "Sudah cepat katakan! Jangan membuatku menunggu! Sialan! Tapi aku bingung mengapa kau bisa meneleponku sedangkan kita tidak pernah saling tukar nomor telepon! b******k! Selain itu! Aku juga tidak percaya orang sakti sepertimu yang kelihatannya berasal dari dunia fantasi, punya telepon! Itu aneh! b******n!" Di seberang telepon, Roswel tersenyum tipis, menahan tawanya saat mendengar segala u*****n dari Paul padanya. Dia merasa bocah itu jadi semakin kejam, bahkan pada dirinya sekali pun. Tapi itu tidak buruk, menurut Roswel. Kemudian dengan lemah lembut, Roswel membalas perkataan kasar dari Paul. "Ah, saya lupa memberitahu soal itu pada Anda, sebenarnya saya bisa melakukan telepati pada Anda melalui ponsel, jadi terkesannya, saya seperti sedang menelepon Anda. Tapi sebetulnya saya sama sekali tidak punya ponsel untuk menelepon Anda, Tuan," ujar Roswel dengan suara yang begitu halus. "Kalau begitu, saya langsung saja ke topik utama. Jadi, pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat! Karena Anda telah berhasil mendapatkan pahlawan pertama. Lalu saya juga sebenarnya sudah tahu bahwa sembilan kunang-kunang yang lain telah menghilang dari Anda, benar?" Mengingat hal itu, Paul menggemeletukkan giginya dengan keras. "Ya! Mereka telah menghilang! Lalu sekarang apa? Apakah kau akan memaksaku untuk mencari mereka dengan batas waktu seminggu!? Atau memecatku dari tugas ini karena aku tidak berguna menjadi seorang mentor!? Cepat jawab! b******k!" "Tidak, Tuan. Saya tidak akan memaksa Anda untuk mendapatkan mereka kembali, ataupun memecat Anda, karena Anda sangat berharga. Yang akan saya beritahukan adalah, Anda tidak perlu khawatir soal sembilan kunang-kunang yang telah menghilang, karena saya bisa melihatnya, bahwa mereka sudah menemukan manusia yang mereka pilih masing-masing. Tapi sayangnya, manusia-manusia yang mereka pilih tinggal di kota yang berbeda-beda dan sepertinya sangat jauh jika diukur dari rumah Anda." Seketika, setelah mendengar penjelasan dari Roswel, semua kekesalan, kemarahan, kejengkelan di hati Paul jadi lenyap, tergantikan dengan kelegaan dan kebahagiaan yang meletus-letus di hatinya. Ekspresi masam di muka Paul berubah jadi senyuman kegembiraan. "B-Bodoh! Seharusnya kau bilang dari awal! Kalau kau melakukannya mungkin kau tidak akan terkena bentakan dariku! Jadi ini salahmu! Bukan salahku! Ingat itu!" ucap Paul dengan pipi yang memerah. "Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa tahu semua itu? Apakah kau punya kekuatan yang membuatmu bisa melihat segalanya? Kalau iya, itu artinya selama ini kau selalu memata-mataiku!? Sialan kau Roswel!" Roswel terkekeh-kekeh mendengarnya, tak menyangka Paul bisa menebak hal itu dengan sangat tepat. "Seperti yang Anda bilang, saya memang punya kekuatan semacam itu, Tuan. Tapi Anda tidak perlu khawatir, saya tidak pernah melakukan hal-hal aneh seperti mengintip Anda mandi, misalnya." "B-b******n! Jangan mengatakan hal itu! Aku tidak mau mendengarnya dari mulutmu!" Kedua pipi Paul jadi semakin memerah, dia jadi ketakutan pada Roswel. "Lupakan soal itu! Aku ingin bertanya, apa yang harus kulakukan setelah sembilan kunang-kunang itu telah mendapatkan manusianya masing-masing!?" "Tentunya, Anda harus bertemu dengan sembilan manusia itu, Tuan." "Itu mustahil! Karena aku tidak tahu mereka berada di kota mana!? Ada ratusan kota di negara ini! Bodoh!" "Baiklah, saya akan memastikannya dulu. Hmmm, ah, akhirnya sudah terlacak. Saya mulai dari yang terdekat dulu, ya, Tuan." Kemudian Roswel melanjutkan perkataannya. "Karena Anda tinggal di Kota Swart, ada beberapa target yang tinggal di kota tetangga. Contohnya, ada satu target yang tinggal di Kota Groen, Tuan. Lebih baik Anda segera ke sana besok pagi, dan jika Anda sudah bertemu dengan target, saya akan menghubungi Anda lagi untuk memberitahu lokasi target berikutnya, Tuan." "BODOH!" Tiba-tiba Paul membentak Roswel, sampai mulutnya di dekatkan ke layar ponsel. "Kau pikir Kota Groen itu apa!? Kota Groen adalah salah satu kota yang sangat besar! Walaupun lokasinya dekat dengan kotaku, tapi sangat mustahil aku bisa menemukan target dengan mudah! Itu juga berlaku untuk kota-kota lain! Setiap kota itu besar dan luas! Dan penduduk di setiap kota itu banyak! Dan kau menyuruhku mencari satu orang dari ratusan ribu orang yang tinggal di sebuah kota!? b******n!" Berkat ucapan Paul, akhirnya Roswel tersadarkan akan hal itu, dia pun segera menanggapi perkataan tersebut. "Ah, apa yang Anda katakan ada benarnya juga, Tuan. Saya terlalu naif, baiklah saya akan menjelaskan dengan lebih detail, Tuan. Jadi, menurut tinjauan saya, target yang terlihat di Kota Groen sepertinya merupakan seorang lelaki berusia delapan belas tahun yang selalu senang menghabiskan waktunya dengan menongkrong bersama teman-temannya di klub-klub dewasa, Tuan. Dia juga sepertinya sudah meniduri banyak wan--" "Bodoh! Itu sudah cukup!" ucap Paul memotong perkataan Roswel yang sepertinya mulai mengumbar aib sang target. "Sekarang jelaskan bagaimana penampilannya? Dan kalau bisa, sekalian namanya juga! Agar aku bisa mencarinya dengan mudah!" "Baik, Tuan," Setelah memusatkan kekuatan pengintainya terhadap sang target, Roswel pun kembali bersuara, "Dari yang saya lihat, rambutnya berwarna hijau, mukanya terlihat bodoh, selalu memakai sweter hijau dan celana pendek berwarna hijau. Bisa disimpulkan bahwa penampilan dari target persis seperti belalang sembah, serba hijau, Tuan." Hampir tertawa mendengar penjelasan Roswel, Paul langsung menahan tawanya dan langsung merespon dengan cepat. "Oke! Lalu, siapa namanya?" "Hmm, dari yang saya lihat, teman-temannya sering memanggilnya dengan nama 'Jeddy', Tuan." Setelah mendapatkan informasi dari Roswel, Paul langsung mematikan teleponnya secara sepihak, kemudian memasukan kembali ponselnya ke kantung celana dan ia pun menyunggingkan senyumannya. "Aku akan menemukan dan menghajar muka bodohmu, Jeddy." Kemudian, Paul pun membuka gerbang rumahnya dan masuk ke dalam, dia berencana untuk mandi dulu, badannya sangat lengket, penuh dengan keringat. Namun, baru saja Paul masuk ke pintu rumah, dia dikejutkan dengan kehadiran teman-teman sekelasnya yang ada di ruang tamu, duduk berjejer di tiap kursi dan sedang berbincang hangat bersama Ibunya, di sana juga ada Olivia. "Wah? Paul sudah datang, Tante!" Semua teman-temannya mulai mengalihkan perhatiannya ke Paul, mereka semua ada yang terkikik-kikik melihat penampilannya yang kotor dan lusuh. Ada juga yang memandangnya dengan tatapan jijik, hanya Olivia yang terlihat berbinar-binar melihat kedatangan Paul. "Akhirnya! Kau datang juga! Kau lihat? Teman-teman kelasmu berkunjung kemari! Kau senang, bukan?" Ibu Paul tersenyum melihat kepulangan anaknya. Entah kenapa, segala kejengkelan, kemarahan, kekesalan, kebencian di hati Paul mulai muncul kembali. Paul muak melihat wajah-wajah teman sekelasnya. "Mengapa kalian semua mengunjungi rumahku, sialan!?" Ibu Paul terkejut melihat anaknya yang tampak tak suka pada kehadiran teman-teman kelasnya. Olivia buru-buru bangkit dari kursi dan berkata, "Begini, Paul, kami datang kemari hanya ingin--" "Apa pun alasan kalian, intinya kalian semua hanya ingin mengejekku, benar bukan!?" Mendengar perkataan tajam dari Paul membuat Olivia dan teman-temannya tersentak. "Kalau kalian cuma ingin mengejek dan merendahkanku, sebaiknya jangan sekarang, karena aku sedang sangat lelah, aku takut kalian akan pulang dengan muka lebam-lebam dari sini karena dihajar oleh teman berandalan kalian," desis Paul membuat Olivia dan teman-temannya terdiam. "Jadi mau sampai kapan kalian duduk manis di kursi rumahku? Cepat pergilah, aku tahu kalian pasti terpaksa datang kemari karena dipaksa oleh Olivia, benar, kan? Jangan khawatir, aku akan membungkam Olivia. Jadi, cepat pergilah dari rumahku sekarang juga, brengsek."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD