MINERVO 09 : Kebohongan yang Terbongkar

1802 Words
"Jadi mau sampai kapan kalian duduk manis di kursi rumahku? Cepat pergilah, aku tahu kalian pasti terpaksa datang kemari karena dipaksa oleh Olivia, benar, kan? Jangan khawatir, aku akan membungkam Olivia. Jadi, cepat pergilah dari rumahku sekarang juga, brengsek." Semua teman-teman Paul terperanjat mendengar perkataannya, yang terkesan sangat kasar terhadap para tamunya sendiri. Beberapa dari mereka ada yang berwajah kaget, sedih dan biasa saja, sementara sebagiannya lagi kompak memasang ekspresi marah terhadap Paul. Olivia termasuk ke dalam kelompok berwajah sedih, dia tidak bisa menahan kesedihannya karena dua kali diusir oleh Paul. Melihat putranya memperlakukan tamu-tamunya dengan tidak sopan, membuat sang ibu jadi merasa malu dan kecewa, wanita itu beranjak dari kursinya dan memerintahkan Olivia untuk kembali duduk, setelah itu, ia pun berjalan mendatangi anaknya yang masih berdiri di ambang pintu. Plak! Dan wanita itu menampar anaknya di depan para tamu, membuat Olivia serta teman-temannya yang lain tercengang melihatnya. Mereka tidak pernah menyangka kalau ibunya Paul akan menampar anaknya sendiri di depan mereka, bahkan Olivia sampai menutup mulutnya saking kagetnya. Benar-benar mengejutkan. Kepala Paul sampai terhempas ke samping, karena terkena tamparan keras dari ibunya sendiri. Kedua mata Paul melotot, tidak menduga hal seperti ini akan terjadi padanya. Apalagi sang ibu menamparnya di depan teman-temannya, setelah dia berusaha untuk mengusir mereka dari rumahnya, membuat Paul jadi sangat malu. Harga dirinya serasa dijatuhkan begitu saja oleh sang ibu. "Tutup mulutmu! Kau membuat Ibumu malu! Paul!" Sang Ibu menatap mata anaknya sendiri dengan sangat tajam. "Mereka datang kemari bukan untuk mengejekmu atau merendahkanmu! Malah sebaliknya, mereka berniat untuk menjengukmu! Karena mereka tahu bahwa kau dikeluarkan dari sekolah! Seharusnya kau jangan--" "Ibu tidak tahu apa-apa soal hidupku di sekolah. Jadi berhentilah bersikap seolah-olah Ibu tahu semuanya. Dan juga, aku tidak butuh dijenguk oleh mereka! Aku tidak sedang sakit! Lagipula, aku tahu isi pikiran dari mereka, intinya mereka ingin melihat betapa menyedihkannya aku yang telah dikeluarkan dari sekolah! Sesudah itu, aku yakin, mereka akan menertawakanku sepulang dari sini! Aku bisa menebak rencana licik mereka! Karena aku sudah hafal bagaimana teman-temanku bersikap, sebab aku sudah sekelas dengan mereka selama dua tahun!" Hening dalam beberapa detik, wajah sang ibu tampak kosong, tidak menampilkan ekspresi apa pun, mungkin karena kaget mendengar ucapan anaknya. Siapa pun akan takjub melihat Paul berbicara sambil menunjukkan emosi yang sangat kuat seperti tadi, apalagi air mata bocah itu sampai menggumpal di kelopak matanya saat berbicara. Bahkan Olivia juga  terbelalak, karena ini pertama kalinya gadis itu melihat air mata Paul. Walaupun air mata Paul belum menetes, tapi tampaknya membuat siapa pun yang melihatnya akan terkejut. "Benarkah itu?" Wanita itu, dengan nada yang dingin dan muka horornya, menoleh ke teman-teman kelasnya Paul. "Apakah yang Paul katakan itu benar? Anak-anak?" Olivia memalingkan mukanya ke wajah teman-temannya, dia ingin tahu bagaimana reaksi dari mereka yang selalu mengganggu Paul. Kali ini Olivia tidak membantah, karena kenyataannya memang begitu, jadi dia ingin membiarkan teman-temannya yang merespon pertanyaan tersebut. "K-Kami tidak pernah mengejek atau pun menertawakan Paul, Tante!" "Ya! Itu benar! Tante! Malah kenyataannya, kami selalu membela Paul saat dia diejek oleh siswa-siswa dari kelas lain!" "Aku tidak menyangka kalau kau sejahat itu pada kami, Paul! Sampai-sampai menuduh kami begitu! Aku kecewa padamu!" "Teman-teman! Jangan bilang begitu, mungkin Paul masih kelelahan, soalnya dia baru pulang, jadi wajar jika ingatannya agak kabur. Tenang saja, kami tetap mau jadi temanmu, kok! Paul!" "Ya! Jangan khawatir! Paul! Walau kau telah menuduh kami begitu, kami tetap akan menerimamu sebagai teman kami!" Kepalsuan. Itulah yang saat ini Olivia lihat dari ekspresi serta ucapan teman-temannya. Mereka masih tidak berani untuk jujur, padahal ini adalah kesempatan yang bagus untuk memperoleh maaf dari Paul, begitulah menurut Olivia. Tapi sayangnya, mereka malah menyia-nyiakan kesempatan itu dan lebih memilih untuk terus menyembunyikan kebusukannya masing-masing. Mereka benar-benar sangat pandai berbohong. Karena bosan mendengar kebohongan yang terus dikatakan oleh teman-temannya, Olivia pun berdiri dari kursinya, membuat setiap pasang mata memandanginya, kemudian gadis itu mengeluarkan sesuatu dari kantung bajunya. Ternyata itu adalah sebuah ponsel miliknya. Kira-kira apa yang akan Olivia lakukan di situasi panas begini? Paul yang tadinya hendak memaki teman-temannya, terhenti karena melihat tingkah aneh Olivia. Ibunya Paul hanya menaikan alisnya memperhatikan Olivia, penasaran pada apa yang akan dilakukan gadis tersebut. Sementara anak-anak yang lain kebingungan menyaksikan Olivia tiba-tiba berdiri dan menunjukkan ponselnya. "Maaf, tapi lebih baik Tante jangan mempercayakan omongan mereka, karena...," Olivia langsung menekan sebuah tombol di layar ponselnya, kemudian dia angkat ponselnya tinggi-tinggi agar semua orang di ruangan itu dapat mendengarnya. Dan sebuah suara gelak tawa dari beberapa orang mulai terdengar dari ponsel Olivia. Dan suaranya tidak asing. "Hahaha! Aku sungguh tidak percaya Paul dikeluarkan dari sekolah!" "Benar sekali! Aku juga kaget!" "Sangat disayangkan, ya, orang seberandal dia dikeluarkan dari sekolah! Jika tidak ada dia di kelas, kita harus menertawakan siapa?" "Hey! Hey! Apa kau masih ingat wajah Ibunya Paul saat dia datang ke sekolahan!?" "Ah iya aku ingat! Muka Ibunya seperti buaya, ya? Atau malah lebih mirip seperti babi?" "Hahaha! Astaga! Kau ini! Jangan begitu pada orang tua teman sendiri!" "Tapi memang begitukan kenyataannya!? Hahahah!" "Lupakan dulu soal itu! Dengar! Aku punya sebuah rencana!" "Rencana apa?" "Bagaimana kalau sepulang sekolah kita mengunjungi rumah Paul?" "Eh!? Untuk apa? Bukankah rumah Paul itu jelek, ya? Bahkan katanya keluarganya tidak punya mobil satu pun, miskin sekali, kan!?" "Dengarkan aku dulu! Jadi begini, rencanaku ini bukan hanya sekedar ingin melihat wajah idiotnya Paul! Tapi, sesuatu yang lebih menarik dari itu!" "Cepat katakan pada kami! Sesuatu apa itu!?" "Bagaimana kalau kita bakar rumahnya." "Wahahaha! Gila sekali kau! Ini terlalu gila!" "Hmm, menurutku itu tidak terlalu menarik jika hanya rumahnya yang dibakar! Kenapa tidak sekalian saja kita bakar ibunya?" "Waaaaaaaaah? Kau serius!?" "Terserah kalian, sih. Tapi menurutku itu akan lebih menarik, karena kita bisa melihat Paul menderita menyaksikan rumah dan ibunya hangus terbakar." "Oke! Aku setuju!" "Aku ikuuuuut!" "Aku juga ikut!" "Berarti kita sepakat, ya, teman-teman!" Kemudian, suara-suara itu pun lenyap dari ponsel Olivia, menandakan durasi rekamannya telah habis. Dan Olivia dengan santainya memasukkan kembali ponselnya ke kantung bajunya. Lalu Olivia menolehkan kepalanya, untuk melihat wajah teman-temannya. "Jadi? Bagaimana menurut kalian, kira-kira suara siapakah orang-orang yang berbicara sambil tertawa terbahak-bahak itu, teman-teman?" tanya Olivia dengan nada yang rendah pada teman-temannya. Mereka semua gemetar, menundukkan kepalanya secara serempak, tidak berani memandang muka Paul serta Ibunya. Ada yang panik. Ada yang ketakutan. Ada yang menangis. Ada juga yang menggeram kesal. Kali ini, Olivia lah yang mengendalikan situasi, mereka tidak bisa berbohong apa pun lagi pada Ibunya Paul. Mereka hanya bisa pasrah pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak ada satu pun dari mereka yang mau membantah pada apa yang Olivia tunjukkan. Tidak ada sama sekali, karena mereka sadar, rekaman itu telah menjadi bukti yang sangat kuat. "Mengerikan!" Ibunya Paul mengepalkan tangannya erat-erat, kedua matanya melotot total, suaranya sampai bergetar saat mengatakan hal tersebut. "Iblis! Kalian semua Iblis! Mengerikan! Menakutkan! Menyeramkan! Aku tidak sangka, wajah-wajah polos dari anak-anak seperti kalian punya hati yang sangat jahat! Sebenarnya apa yang kalian telan selama ini di bangku sekolah!? Cara membunuh orang lain? Cara membakar rumah orang lain? CEPAT JAWAB! ANAK-ANAK IBLIS!" Teman-teman sekelas Paul kecuali Olivia, bergidik mendengarnya, seluruh tubuh mereka merinding. Rasa takut mereka semakin menjadi-jadi ketika wanita itu mendatangi mereka dengan gesit, mendekatkan mukanya ke mereka semua yang sedang menundukkan kepala. Napas mereka kembang-kempis, tak mampu menahan rasa gentar yang meledak-ledak di hati mereka. Ini adalah teror yang sangat menakutkan bagi mereka. Paul yang masih berdiri di ambang pintu, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Suara tawa teman-temannya saat mendiskusikan sebuah rencana busuk masih terngiang-ngiang di kuping Paul. Mereka sudah melampaui batas, apalagi sampai berniat ingin membakar rumahnya hingga membunuh ibu kandungnya, itu sudah bukan lagi sebatas kenakalan remaja. Itu telah masuk ke dalam tindakan kriminal. "Olivia," panggil ibunya Paul pada Olivia dengan lirih, walau matanya masih memandang tajam ke anak-anak yang sedang menunduk ketakutan. "Tolong, panggilkan polisi kemari." Secara serentak, kepala dari anak-anak itu langsung ditegakkan, mereka semua terlihat resah dan gelisah saat mendengar polisi akan segera dihubungi untuk datang kemari. "Kumohon! Tante! Jangan!" "K-Kami minta maaf, Tante!" "Olivia! Jangan! Aku tidak mau dipenjara!" "Tante! Olivia! Jangan masukkan kami ke penjara! Kami sangat menyesal! "Hiks! Aku... Tidak mau dipenjara! Hiks! Kumohon! Jangan lakukan itu padaku!" "P-P-Paul! Tolong kami!" Mereka berteriak-teriak meminta tolong pada tiga orang yang sedang berdiri, kini muka mereka basah karena air mata yang terus menetes-netes. Mereka semua ketakutan, tidak ingin berakhir di penjara. Gelak tawa yang biasa mereka lakukan bersama-sama tergantikan dengan isakan tangis yang sangat memilukan. "Padahal sebelumnya kalian tertawa-tawa bahagia! Jadi jangan pasang muka menyedihkan seperti itu di depanku! Iblis seperti kalian tidak pantas untuk menangis!" Wanita itu mencaci, mengutuk, dan membentak anak-anak itu dengan sangat ganas. Ia masih sakit hati mendengar anaknya ditertawakan, rumahnya akan dibakar, hingga dirinya yang hendak dibunuh oleh anak-anak tersebut. Menurutnya, itu bukan tindakan yang pantas untuk seukuran anak berusia tujuh belas tahun seperti mereka. Seharusnya, anak seusia mereka memikirkan pelajaran, impian, dan masa depannya masing-masing daripada merencanakan hal-hal biadab seperti itu. Sementara itu, Olivia masih belum berani untuk menghubungi polisi, karena mau bagaimana pun, mereka juga adalah teman-teman sekelasnya. Olivia tidak ingin memenjarakan teman-temannya, dia lebih suka memberikan mereka sebuah hukuman yang berat, daripada harus mengirim teman-temannya ke sel jeruji. Menurut Olivia, itu terlalu kejam. Apalagi mereka kini sedang menangis ketakutan. Terlihat jelas di mata Olivia kalau saat ini, mereka benar-benar menyesali perbuatannya. Karena itulah, Olivia mencoba berbicara dengan Ibunya Paul. "Tante," ucap Olivia dengan sedikit kaku.  "Menurutku terlalu berlebihan jika kita langsung melemparkan kasus ini pada polisi, soalnya, mereka saat ini masih belum melakukan apa-apa. Itu masih hanya sebatas rencana saja, jadi, lebih baik kita beri mereka keringanan saja, bagaimana menurut Tante?" "Tidak!" Wanita itu dengan tegas menolak saran dari Olivia. "Anak-anak seperti mereka sangat berbahaya jika dibiarkan berkeliaran dengan bebas, kita tidak tahu siapa yang akan jadi korban akibat ulah mereka suatu saat nanti!" "Tapi, Tante---" "JANGAN MEMBANTAH! CEPAT TELEPON POLISI! JIKA KAU TIDAK MAU MELAKUKANNYA! BIAR AKU SAJA!" Wanita itu langsung memarahi Olivia dan setelah itu, ia mengambil ponselnya sendiri yang tergeletak di meja tamu. Saat Ibunya mengetik nomor polisi di ponselnya, Paul dengan gesit merebut ponsel itu dari tangan ibunya. Membuat sang ibu terkaget, karena benda tersebut malah direbut oleh anaknya sendiri. "PAUL! KEMBALIKAN PONSELKU! APA KAU TIDAK SADAR! IBU SEKARANG AKAN MENGHUBUNGI POLISI UNTUK MEMENJARAKAN TEMAN-TEMAN JAHATMU INI!" Menyaksikan Paul merebut ponsel milik ibunya sendiri, membuat Olivia dan anak-anak yang lain terkejut. Entah kenapa, sebuah cahaya terang muncul di kegelapan yang pekat ini, itulah yang ada di pikiran anak-anak itu saat melihat tindakan Paul. "Ibu tidak perlu repot-repot memenjarakan mereka! Biar aku saja yang menghajar wajah mereka satu persatu, jadi lebih baik Ibu diam saja! Lagipula! Memenjarakan orang-orang seperti mereka tidak akan membuat mereka jera! Kita harus memberikan sesuatu yang lebih berat daripada memenjarakan mereka, Bu!" "PAUL! SUDAH CUKUP! CEPAT KEMBALIKAN PONSELKU!" "Ibu! Dengarkan aku! Bagaimana kalau kita sebar rekaman ini ke internet agar semua orang di seluruh dunia mendengarnya! Bukankah itu lebih bagus daripada memenjarakan mereka!? Karena dengan itu, mereka akan terkena amukan masyarakat dan menjadi musuh publik! Menurutku! Itu sangat luar biasa! Bu!" Mendengar perkataan Paul membuat wajah anak-anak itu malah jadi semakin kusut dan ketakutan, bahkan tangisan mereka jadi tambah kencang. Ternyata, cahaya terang yang mereka kira adalah sebuah harapan, rupanya itu merupakan cahaya dari kobaran api yang akan menjatuhkan mereka  ke tempat yang sangat mengerikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD