8. Kekecewaan

1128 Words
"Nero?" pekik Amira setengah membelalak. Seulas senyuman lebar tersungging spontan di bibir si pemilik nama yang baru saja disebutkan oleh Amira. Pria itu, setelah sekian lama, baru kali ini berani menampakkan dirinya lagi. "Hai, Mira? Rasanya, udah lama banget ya kita gak saling tatap muka gini," ujar pria yang tak lain adalah Nero itu menatap wanita di hadapannya. Akan tetapi, alih-alih merespon ucapan sang pria, Amira justru malah membuang muka isyarat tak sudi untuk sekadar balas menatap wajah pria itu.  Sontak, senyuman di bibir Nero pun memudar dalam sekejap. "Mau apa lo ke sini?" lontar Amira tanpa mau memandang wajah Nero. Untuk sesaat, pria itu menghela napas. "Mira, kamu masih marah sama aku?" tanyanya menatap sendu. "Gak usah basa basi deh. Lo tau sendiri jawabannya kayak apa!" sentak Amira yang baru balas menatap. Itu pun diiringi dengan sorot tajam nan benci kala ia menatap balik pria di hadapannya. Nero menunduk lesu. Wajahnya begitu layu seperti bunga yang sudah lama tak disirami oleh air bersih. "Maaf, Mira. Aku pikir, setelah kurang lebih 10 tahun kita gak ketemu, kamu bakalan udah lupain kejadian itu. Tapi nyatanya, kamu malah--" "Gak semudah itu gue lupain kelakuan busuk lo. Jangan berpikir kalo gue udah maafin lo, Nero! Apa yang udah lo lakuin dulu itu cukup nyakitin gue. Dan lo tau sendiri, gue bahkan gak akan pernah sudi buat sekadar natap muka orang yang udah gue benci karena berani menjadi pembohong besar," tutur Amira menyala-nyala. Amarahnya seolah kembali terpancing dengan hanya melihat lagi wajah Nero yang sudah menyebabkan cintanya dan sang mantan kandas tak beralasan. Tanpa disangka, Nero telah meraih tangan Amira. Dia pun menggenggamnya begitu erat. "Aku menyesal, Mira. Sungguh! Saat itu aku gak punya lagi cara buat bisa milikin kamu. Makanya aku--" "Cara lo itu salah lo tau?" teriak Amira memotong. "Gue gak pernah membayangkan kalo lo bisa punya pemikiran sepicik itu. Kalo lo emang cinta sama gue, lo gak perlu pake cara selicik itu. Kalo lo masih bersikeras menganggap semua yang lo lakuin itu benar, maka gue anggap itu bukan cinta. Dan bukannya gue udah pernah bilang ya sama lo? Cinta itu gak harus memiliki. Cinta itu murni dan gak bisa dicampur aduk sama keegoisan. Jadi udah jelas, apa yang lo lakuin 10 tahun yang lalu adalah salah. Lo udah bener-bener berdosa, Nero. Secara nyata, lo udah pisahin gue dari cinta yang gue miliki pada saat itu. Dan lo pun tau sendiri seperti apa rasanya kehilangan orang yang dicintai. Gue kecewa sama lo, Nero...." papar Amira mengutarakan segalanya. Mendengar itu semua, Nero hanya bungkam. Dia mengakui kesalahannya. Tapi, apa yang bisa ia perbuat? Dulu, Nero sangat ingin sekali memiliki Amira. Namun kenyataannya, Amira sendiri sudah mempunyai cintanya sendiri. Nero tidak terima akan hal itu. Maka Nero pun seakan sudah dibutakan oleh yang namanya cinta. Padahal, Nero bisa saja bersaing secara sehat. Itu lebih manusiawi rasanya. Tapi justru, Nero malah salah langkah. Hal itu, tentu saja telah menciptakan kecacatan pada hati dan perbuatan yang secara langsung dinilai oleh Amira sendiri. "Lebih baik, lo pergi sekarang! Karena jujur, gue masih belum bisa maafin lo meskipun gue udah perlahan bisa hidup sendiri tanpa dibayang-bayangi lagi oleh kenangan masa lalu yang teramat menyakitkan itu!" tandas Amira mengusir. Bahkan, dengan cepat ia pun menarik tangannya yang digenggam Nero dan bergegas meraih pintu setelah berhasil mendorong Nero sedikit menjauh dari ambang pintu tersebut. Lalu, tanpa mau menoleh ke arah pria itu lagi, Amira pun buru-buru menutup pintunya diiringi dengan air mata yang merembes turun membasahi pipi. *** Sebuah lagu melow dengan iringan petikan gitar akustik sedang dimainkan oleh penyanyi solo yang sedari magrib tadi telah mengisi panggung demi meramaikan suasana kafe cozy itu. Selagi si penyanyi terus melantunkan satu persatu lagu hits yang dibawakannya, di salah satu meja yang tersedia, dua orang anak manusia tampak sedang bergelut dengan pesanannya masing-masing. "Gimana rasa makanannya? Enak?" tanya si gadis yang tak lain adalah Emily. Sesuai janji yang sudah diikrarkan oleh Raga sebelumnya, setelah mereka menuntaskan pekerjaannya di kantor, Raga bersedia menemani sekretarisnya untuk makan di kafe cozy pilihannya. Akan tetapi, setibanya mereka tadi di sana, mendadak Raga merasa tak asing dengan tempat tersebut. Rasanya, ia seperti sudah pernah datang ke kafe itu, tapi entah kapan dan dengan siapa dirinya datang ke kafe ini. Trak. Emily dengan sengaja menjentikkan jarinya tepat di hadapan wajah Raga yang terlihat sedang melongo bak orang yang tengah melamun. Terkesiap, pria itu pun lantas menatap sang gadis di hadapannya seraya berkata, "Ada apa?" Menyadari bahwa ternyata bosnya itu memang melamun, Emily lantas berdecak. "Lo ngelamun?" tegur gadis itu menatap heran. "Enggak," geleng Raga menampik. "Terus, kenapa lo gak nyimak pertanyaan gue dengan baik? Kalo gak ngelamun, namanya apa dong?" lontar Emily sedikit sinis. Sejenak, Raga pun menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Mungkin gue lagi keasyikan nikmatin cita rasa dari masakan yang lagi gue makan ini. Ya, anggap aja gue lagi khusuk dalam menikmati kelezatan akan makanan yang gue lahap ini!" tukas si pria terkekeh garing. Namun Emily, dia justru malah mendelik sembari menaruh sendok dan garpu yang semula ia pegang tepat ke masing-masing sisi piring. "Gue jadi mendadak kenyang," cetus gadis itu agak kesal. "Loh, masih banyak gitu masa udah kenyang aja. Makan lagi dong! Bukannya elo sendiri yang minta gue temenin makan di sini?" tatap Raga sembari mengingatkan. Emily mendengkus. "Iya, gue emang ngajakin lo makan di kafe ini. Tapi sori ya, gue bahkan males kalo liat lo harus ngelamun terus di saat gue sendiri sibuk nanya sama lo kayak tadi!" "Emang lo nanya apa?" sahut Raga begitu polos. Emily semakin sebal saja dibuatnya. Lantas, seakan tidak ingin menunjukkan amarahnya yang sudah telanjur mencuat ke permukaan, akhirnya Emily pun berusaha bangkit dari posisi duduknya. "Gue mau ke toilet," ujar gadis itu sedikit menyentak. Sigap, ia pun langsung melengos tanpa sedikit pun mau menunggu atasannya membalas ucapannya barusan. Ditinggal pergi oleh Emily yang sudah melenggang, Raga mengembuskan napas panjang sembari menepuk dahinya. Ia sadar, kekesalan Emily memang selalu berasal dari sikapnya yang tak menentu. Tapi, apa yang bisa Raga perbuat? Dia sendiri saja begitu galau kala dihadapkan dengan keagresifan Emily. Sungguh, sebenarnya Raga tidak sanggup jika harus membalas perasaan sekretarisnya itu. Tapi, jika Raga menolaknya, maka ia yakin kalau Emily akan merasa sedih dan hubungan pertemanannya pun akan berubah drastis. Dan itu yang tidak bisa Raga terima! "Kalo sampe si Emily ngambek lagi, gue gak tau deh harus bujuk dia pake cara apa lagi. Tapi masalahnya, gue sendiri bingung. Di satu sisi, gue sama sekali belum mempunyai rasa sama dia, tapi di sisi lain, gue sangat membutuhkan dia di sisi gue. Tapi bukan sebagai pasangan, melainkan sebagai teman yang bersedia buat tampung segala curahan hati gue selama ini...." gumam Raga sambil menghela napas. Lalu, ia pun mengusap mukanya kasar seraya bangkit berdiri bersamaan dengan terdengarnya suara si penyanyi yang sedang melantunkan lagu klasik berjudul Bimbang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD