9. Telepon

1067 Words
Raga bersiul ringan saat ia baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu baru selesai mandi rupanya. Terbukti dari rambutnya yang agak basah dengan handuk putih yang melilit di bagian pinggang menutupi bawahannya. Hari ini ia tidak berencana ke kantor, mengingat sekarang adalah akhir pekan, maka Raga sudah memiliki acara bersama gadis yang sudah menantikan hari ini tiba dari beberapa hari yang lalu. Dering ponsel kemudian terdengar. Sigap, Raga pun menolehkan pandangannya ke arah nakas yang menjadi tempat tergeletaknya benda berbunyi tersebut. "Siapa sih. Baru aja gue mau pilih baju, udah ada yang nelepon aja," gerutu pria itu sembari melangkah menuju nakas. Sambil mengusapkan sebelah tangannya ke bagian dahi yang ia teruskan ke rambut atasnya, Raga pun tiba juga di dekat nakas. Untuk sesaat, ia menelengkan matanya ke layar ponsel. Mencari tahu siapa gerangan yang sedang menghubunginya saat ini. Lalu, ketika Raga melihat nama Emily terpampang di sana, ia pun mau tak mau harus segera meraih ponselnya guna menjawab panggilan masuk tersebut. Seusai menggeser tanda hijau yang tersedia, Raga pun lekas menempelkan benda itu tepat ke telinga kanannya. "Halo!" seru Raga mengawali. "Lo masih di mana?" tanya si penelepon tanpa basa-basi. "Masih di rumah. Kenapa?" "Lo gak lupa kan kalo hari ini ada jadwal jalan sama gue. Itu janji yang harus ditepati loh!" tukas Emily mengingatkan. Sejenak, Raga pun memutar bola matanya. "Tanpa lo ingetin gue juga udah mau siap-siap pake baju. Kalo aja lo gak telepon, mungkin sekarang gue lagi nyisir rambut dan siap keluar dari kamar," cetus si pria mendengkus pelan. "Jadi, lo udah mandi?" "Udah lah. Kenapa? Lo mau bukti? Apa perlu gue ubah panggilannya jadi Video Call, hem?" ujar Raga berinisiatif. Akan tetapi, dengan cepat Emily pun menyeru. "Gak usah! Gue percaya, kok. Lagian, gue gak mau liat lo naked cuma sebatas di video doang. Gue maunya yang asli aja biar gampang gue raba-raba," tutur Emily terkikik. Entah kenapa, Raga merasa sekretarisnya ini sangatlah v****r dalam berbicara soal hal seintim itu. "Ya udah, gue mau pake baju dulu. Lagian, gue gak naked kok. Masih pake handuk. Lo nya aja yang keburu mikir ngeres!" sahut Raga terkekeh. Lalu sedetik kemudian, Emily pun terdengar mendecak. "Iya deh. Gue juga mau siap-siap keluar kamar. Btw, lo jemput gue ke galeri kue milik temen gue aja ya!" pinta gadis itu kemudian. Sontak, mata Raga pun membulat. "Ha? Galeri kue temen lo itu di mana? Kenapa gak di rumah aja sih." Pria itu memprotes, merasa kesal karena ternyata Emily malah mengubah jalur jemputnya secara dadakan. "Gak jauh kok. Nanti gue share lok aja kalo udah nyampe sana. Lagian, gue baru inget, kita kan mau adain mini piknik, terus gue mutusin buat ambil camilannya di galeri kue milik temen gue aja. Rasanya recomended, kok. Gue yakin, lo pasti bakal ketagihan kalo udah ngerasain...." celoteh Emily tanpa sedikit pun peka pada perasaan kesal yang tengah menggandrungi diri Raga. "Gue gak peduli soal rasa kuenya. Tapi gue--" "Eh, eh, gue tutup dulu ya. Kayaknya, Tante Arti manggil gue deh barusan. Pokoknya, gue kabarin ya kalo udah nyampe di galeri kue temen gue. Sampe jumpa di sana, Bos!" seru Emily berpamitan. Setelah itu, sambungan telepon pun terputus. Menyisakan rasa kesal dan jengkel yang terpendam tebal di hati Raga saat ini. *** Pagani Huayra milik Raga telah meluncur membelah jalanan. Meski dirinya masih merasa kesal, tapi mau tak mau ia harus tetap menjemput sekretarisnya itu di lokasi yang sudah Emily kirimkan alamatnya. Jika saja Raga tidak membutuhkan jasa dan kepiawaian gadis itu, mungkin Raga tidak perlu repot-repot melakukan semua ini hanya demi untuk menyenangkan hati sang gadis. Tapi mau bagaimana lagi, hari ini Emily ulang tahun, dan ia pun sudah janji pada sekretarisnya untuk memenuhi setiap permintaannya di hari spesialnya ini. Padahal, dulu Emily hanya meminta Raga untuk datang berkunjung ke apartemennya di malam hari, tapi tanpa diduga, tiba-tiba saja tantenya datang berkunjung untuk numpang menginap di apartemen gadis itu. Alhasil, Emily pun harus mengubah rencananya secara dadakan. Membuat Raga ikut terlibat juga karena gadis itu masih bersikeras menagih janji sang pria yang sudah lebih dulu diikrarkan. Di tengah perjalanan menuju galeri kue milik teman Emily--yang sayangnya Emily sendiri tidak mau memberitahukan nama temannya--ponsel yang Raga simpan di atas dashboard pun kembali berdering. Menyebabkan pria itu melirik cepat ke arah ponselnya yang berbunyi bak meminta panggilannya segera disahuti. Lalu, saat matanya sudah mengarah ke layar, ia pun melihat nama mamanya terpampang di sana. Mengernyitkan dahi, Raga bergumam, "Mama. Tumben telepon gue. Ada apa ya?" Seolah tak mau membuat mamanya menunggu terlalu lama, Raga pun langsung menjawabnya dengan menggeser tanda hijau di layar sambil terus menyetir fokus. "Halo!" "Raga, kamu lagi di mana?" tanya Fenita to the point. "Lagi di jalan, Ma. Mau jemput temen...." "Lagi ada acara?" "Iya. Kenapa emangnya, Ma?" "Duh, bisa gak kalo kamu mampir ke butik dulu. Mama kerepotan nih, gak ada yang bantu," pinta Fenita sedikit mendecak. Untuk sesaat, Raga pun membulatkan matanya. "Ini kan sabtu, Ma. Ngapain juga harus buka butik...." "Mau sabtu atau pun senin, bagi Mama gak ada bedanya. Lagian, kamu kayak yang gak hafal aja. Sabtu itu kan waktunya para gadis berburu pakaian terbaru yang lagi promo. Mana mungkin Mama gak buka. Pemasukannya lumayan tau!" tukas Fenita menjelaskan. Raga memutar bola mata. "Duit Mama kan udah banyak. Papa sama Raga juga belum bangkrut tuh. Mama tinggal ongkang-ongkang kaki doang terima hasil. Ini malah repot-repotin diri sendiri aja sibuk di butik," sanggah Raga geleng-geleng. "Jadi, ceritanya kamu gak mau tolongin Mama nih? Lebih seneng bahagiain orang lain ya dibanding wanita yang udah lahirin kamu sendiri," tutur Fenita memulai jurusnya. Tentu saja, setelah mendengar itu, Raga pun menjadi tak bisa berkutik. Padahal, Raga bukannya tidak mau membantu sang mama, tapi dia kan sudah telanjur janji hendak menjemput Emily di galeri kue temannya. Tapi, jika mamanya saja sudah mengeluarkan jurus ampuhnya seperti barusan, Raga bisa apa? "Ya udah, Raga otewe sana. Raga gak mau dikutuk jadi batu, jadi Mama tenang aja! Raga langsung ke sana buat bantuin Mama dulu," putus pria itu akhirnya. "Nah gitu dong. Itu baru anak kesayangan Mama...." "Ya udah, Raga mau kabarin dulu temen Raga. Abis itu, Raga langsung belokin jalur menuju butik Mama!" tandas Raga sekaligus mengakhiri percakapan. Pria itu menghela napas bersamaan dengan sambungan teleponnya yang terputus. Padahal, tinggal hanya beberapa meter lagi ia sampai ke tempat Emily berada, tapi apa boleh buat? Raga bahkan harus patuh pada mamanya bukan daripada ia membangkang dan berujung seperti nasib Malin Kundang yang menjadi batu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD