Luka Lama - 1

1725 Words
Menarik selimut hingga sebatas dagu, Binar menatap nyalang langit-langit kamar di tengah keadaan penerangan yang hanya dari lampu tidur. Di luar sana, suara pertengkaran terdengar jelas, karena kedua orang dewasa itu beradu mulut di samping kamarnya yang tak kedap suara. Jadi, tentu saja, suara pertengkaran mereka berhasil tertangkap pendengarannya. Kali ini apalagi yang sebenarnya mereka ributkan? Kenapa tak pernah bosan bertengkar? Terlebih ... Tak mengenal tempat dan waktu. Sepanjang malam itu, Binar sulit terlelap. Baru, disaat pertengkaran kedua orangtuanya tak lagi terdengar. Pada pukul tiga dini hari, Binar baru berhasil terseret lelap. Sialnya, karena telat tidur, itu berefek pada Binar yang bangun kesiangan. Tergopoh-gopoh, gadis itu turun dari tempat tidurnya. Nyaris tersungkur karena kakinya terlilit selimut. Mandi dengan kilat dan bersiap secepat yang ia bisa. Menuruni anak tangga dengan dua sekaligus, Binar mencangklong tas sekolahnya di bahu kiri, sementara kedua tangannya sibuk mengikat rambut panjangnya. Sesampainya di meja makan, ia dapati si Mbok yang baru saja mengangkat piring kotor bekas sarapan. "Pagi Mbok," sapa Binar sembari mengambil satu lembar roti tawar.  "Pagi, maaf Non, Mbok udah bangunkan Non Binar beberapa kali tapi nggak berhasil. Kirain Mbok, Non Binar libur sekolahnya." Meringis, Binar menggeleng cepat, "aku kesiangan, berangkat dulu ya." "Loh, nggak sarapan dulu?" "Ini udah cukup buat pengganjal perut sementara." Memperlihatkan roti tawar ditangan kanannya, Binar akhirnya berderap pergi. Meninggalkan si Mbok yang hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata. "Roti segitu mana bisa kenyang? Cuma bikin geli perut kalau buat Mbok." Gumamnya pada diri sendiri, sebelum akhirnya sibuk melanjutkan pekerjaannya. Dengan pipi menggembung berisi roti, Binar berlari menuju halte terdekat. Berharap masih mendapatkan Bus menuju kearah sekolahnya di jam mepet seperti sekarang. Nyaris muntah karena berlari dengan mulut berisi makanan, Binar akhirnya berhasil sampai di halte. Mengantri dengan beberapa orang yang juga tengah menunggu kedatangan Bus. Tak berapa lama, Bus yang ditunggu akhirnya datang. Meski harus berdesakan, Binar berhasil masuk ke dalam Bus dan mendapat tempat duduk. Mengela napas, Binar menyandarkan kepala di jendela Bus. Menatap pemandangan yang berada di luar. Mungkin, karena jam tidurnya yang kurang. Binar sampai tak sadar terlelap. Entah berapa lama Binar tertidur, ia terbangun karena terkejut mendengar suara seseorang. Menegakkan tubuh dengan cepat, membuat kepalanya berdenyut sakit. Tapi tak Binar pedulikan, terlebih, saat sadar jika Bus yang ia tumpangi sudah melewati jalanan sekolahnya. "BANG, KIRI!" Berteriak lantang, Binar tergopoh-gopoh membayar ongkos dan bergegas turun sembari berlari menuju ke arah sekolahnya yang ternyata terlewat cukup jauh. Dengan napas tersengal-sengal, Binar sampai di depan gerbang sekolahnya yang sudah terkunci. "Pak ... Tholong, bukha," mohonnya dengan suara terputus-putus. Sayangnya, satpam sekolah menggelengkan kepala, "maaf, tapi Non udah telat hampir setengah jam." Dengan bahu yang terkulai lemas, Binar akhirnya berjalan menjauh. Dia tak mungkin bisa mendapat izin untuk masuk ke sekolah, sadar sudah terlambat datang. Tapi ... Entah kenapa, alih-alih mencari Bus untuk kembali pulang, Binar mengayunkan langkah ke arah lain.  Melepas tas ranselnya, Binar meraih cardigan yang ia simpan di dalam. Segera mengenakannya untuk menutupi seragam sekolah yang masih melekat ditubuhnya. Binar berjalan tanpa arah, mungkin, sesekali ia bisa manfaatkan waktu untuk menenangkan diri. Karena setiap harinya, berkutat di rumah atau sekolah. Kening Binar mengernyit, saat mendapati beberapa siswa yang ia kenali sebagai murid di sekolahnya, terlihat dari emblem di seragam mereka, tengah berlarian. Gadis itu kemudian terbelalak, saat dari arah berlawanan, ada segerombolan siswa dengan emblem yang berbeda, tapi ia tau jika mereka merupakan anak sekolah lain yang menjadi musuh bebuyutan sekolahnya. Kedua kelompok tersebut terlibat perkelahian, saling melayangkan pukulan dan mengejar satu sama lain.  Keadaan yang mulai chaos, membuat Binar ikut panik. Dia tak mau terlibat dalam kekacauan yang tiba-tiba datang menghampirinya. Astaga ... Kenapa hari ini benar-benar sial untuknya? Bangun kesiangan, tidur di Bus hingga terlewat sekolahnya, tak bisa masuk karena gerbang sudah tertutup. Dan sekarang, dia dikepung para siswa yang sedang terlibat tawuran?! Melepas ransel dan menjadikannya sebagai pelindung kepala dari hujan batu yang dibuat oleh kelompok para siswa yang terlibat tawuran, Binar berderap cepat, berusaha melindungi diri dan menghindari mereka yang masih sibuk baku hantam. Sialnya, langkah Binar tiba-tiba terhenti, saat tatapannya tak sengaja jatuh pada salah seorang siswa yang sebelumnya terduduk di jalan, kembali bangkit sembari meraih balok kayu yang berada tak jauh darinya.  Sementara itu, sosok lain yang sibuk terlibat perkelahian, tak menyadari bahaya yang datang dari arah belakangnya. Seharusnya, Binar tak peduli. Jika ada yang terluka itu sudah menjadi risiko karena mereka sendiri yang mencari masalah. Tapi ... Sialnya, kedua kakinya berbelok arah, berlari menuju siswa yang sudah bersiap melayangkan pukulan dengan balok kayu yang berada ditangannya. Hendak menghantamkannya pada sosok yang baru saja menumbangkan lawannya. Melempar tasnya hingga mengenai wajah siswa yang hendak menghantamkan balok kayu tersebut, Binar menendang keras hingga balok kayu tersebut terlepas dan siswa itu sendiri tersungkur. "Menyerang dari belakang itu tindakan pengecut." Meraih tasnya yang tergeletak di jalan, Binar mengabaikan makian yang terlontar untuknya. "Thanks," suara itu membuat pergerakan Binar yang tengah mengenakan kembali tas ranselnya terjeda sejenak. Menolehkan wajah ke samping kirinya, ia mengerjap, mendapati cowok bertubuh tinggi yang merekahkan senyuman. Wajahnya ... Tampak familiar. Di saat Binar sibuk mengingat, lengannya tiba-tiba saja tertarik hingga tubuhnya terdorong mundur. Setelah beberapa detik, Binar baru bisa mencerna keadaan. Dia nyaris mendapat pukulan dari siswa yang tadi ditendangnya. Jika saja sosok yang ia tolong tak menariknya untuk menghindar. Tunggu!  Pantas saja Binar merasa tak asing, siswa yang ia tolong dan balas menolongnya tadi, bukankah itu ... Eric? Pentolan sekolahnya yang paling ditakuti. Astaga ... Pantas saja dia terlibat dalam tawuran ini. Binar yang ingin pergi dan tak mau terlibat dalam tawuran, nyatanya, harus ikut melayangkan pukulan untuk menghalau serangan-serangan yang diarahkan padanya. Sepertinya, para siswa dari sekolah lain yang menjadi lawan tawuran sekolahnya, menganggap Binar menjadi bagian dari kelompok Eric. Entah sduah berapa lama Binar sibuk baku hantam, anehnya, ia merasa puas karena bisa menyalurkan rasa stresnya yang tertekan karena keadaan keluarganya di rumah. Meski beberapa kali mendapat pukulan atau tendangan. Karena lawannya benar-benar tak pandang bulu. Sekali pun Binar seorang perempuan, mereka tetap mencoba menghajarnya secara brutal. Beruntung, Binar masih bisa mengatasi. Terlebih, Eric sesekali membantunya. Tawuran yang berlangsung cukup lama itu tiba-tiba dibubarkan pihak berwajib. Suara sirine mobil yang memekakkan telinga membuat semua yang terlibat segera melarikan diri dari kejaran para petugas. Tak terkecuali Binar, yang ikut berlari tunggang langgang. Sudah cukup! Binar tak lagi mau menambah daftar kesialannya hari ini. Tapi gadis itu dikejutkan dengan seseorang yang meraih tangan kanannya dan menariknya untuk mempercepat lari, karena dari arah belakang, ada petugas kepolisian yang mengejar. "Buruan!" Teriak Eric saat Binar kewalahan menyamai langkahnya yang begitu lebar dan cepat. Dengan napas tersengal-sengal, Eric tiba-tiba saja menghentikan larinya hingga membuat Binar nyaris tersungkur jatuh karena kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya.  "Naik!" Perintah Eric yang sudah berjongkok dan menepuk-nepuk pundaknya. "Buruan! Nanti kita ketangkep!" "T—tapi ...." "Ck! Ini jalan buntu. Lo mau tembus tembok? Nggak, kan? Tapi kalau loncatin temboknya masih bisa. Makanya, sekarang gue bantuin lo, buruan naik! Lo tau? Nggak ada yang gue kasih izin injek pundak gue. Tapi berhubung tadi lo udah nolong, sekarang gue kasih balasan biar kita impas." Binar gamang, gadis itu masih tak bergerak meski Eric beberapa kali mengomel karena tak juga mematuhi instruksi darinya. Suara derap langkah terburu-buru membuat Binar kian kebingungan, apalagi, Eric tak lagi mengomel. Tapi segera menarik lengannya dan memaksa agar segera naik ke pundaknya sebagai pijakan, agar Binar bisa melewati tembok yang menjebak mereka dari kejaran petugas kepolisian. "Buruan! Ah, elah! Kalau aja nggak hutang budi, udah gue tinggal lo dari tadi!" "J—jangan ngintip, nanti sembelit!" "Lah, perasaan di mana-mana bilangnya bintitan kalau ngintip, kenapa lo malah nyumpahin sembelit?" Menggaruk pelipis, Binar meringis sembari mengedikkan bahu, "biar beda dari orang-orang." Ucapnya asal, sebelum kemudian bergerak untuk naik ke atas dengan bantuan Eric yang menyediakan pundaknya sebagai pijakan. Meski harus bersusah-payah, Binar akhirnya berhasil naik ke atas tembok. "Loncat!" "H—hah?" Masih berada di atas tembok pembatas, Binar menurunkan pandangan dan menatap Eric yang sesekali menengok untuk berjaga-jaga kemunculan petugas.  "Loncat! Cepetan!" "T—tapi, ini tinggi?" "Ya terus, lo mau nongkrong di atas situ terus?" Sahut Eric jengkel, lalu meloncat dengan cepat dan mudah, saat menaiki tembok pembatas, di mana ada Binar yang masih bertahan dan enggan meloncat turun karena takut melihat tempatnya mendarat. Bisa saja kan, membuatnya patah tulang karena begitu tinggi? Melihat keadaan tembok yang ia naiki saat ini. "K—kita, sembunyi di atas sini aja. Nanti, pas polisi pergi, baru kita turun." Mencoba memberikan ide yang Binar anggap cukup cemerlang, ia harus menelan kekecewaan karena Eric justru memarahinya. "Terserah kalau lo mau di sini sampai jamuran. Gue duluan!" Selang beberapa detik mengatakan itu dengan nada sewot, Eric segera melompat dan mendarat dengan baik. Dia sudah biasa melakukan pelarian semacam ini. Jadi, bukan sesuatu yang sulit. "H—hei! Tunggu! Jangan tinggalin gue!" Melihat Eric yang tengah menepuk-nepuk lutut celananya yang sedikit kotor setelah pendaratan tadi. Binar refleks berteriak saat melihat cowok itu hendak pergi. "B—bisa bantu gue turun?" Tanyanya ragu-ragu. Astaga ... Binar tak pernah berinteraksi dengan berandalan sekolah satu itu. Karena biasanya, ia sekadar mendengar nama Eric dengan semua cerita kenakalan yang cowok itu lakukan dari Agni. Terakhir, cerita tentang— "Buruan turun!" Teriakan Eric berhasil mengoyak lamunan Binar. "Bisa lo cari tangga atau sesuatu buat bantu gue turun dari atas sini?" "Yaelah! Ribet banget! Udah, turun aja, sini gue bantu." Merentangkan kedua tangannya, Eric menganggukkan kepala seolah tengah meyakinkan Binar yang masih ragu-ragu. "Percaya sama gue, buruan! Nanti gue tangkap pas lo lom—" "AAAAAAAAAAA!" BRUG! "Astaga ... Pinggang gue!" Eric belum sempat menyelesaikan ucapannya, saat Binar tiba-tiba melompat turun, karena tak sengaja melihat kedatangan para polisi yang tadi mengejar mereka. Dia refleks segera lompat tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu pada Eric yang belum bersiap. Beruntung, cowok itu masih sempat menangkap tubuhnya dan membuat Binar mendarat di atas tubuh Eric yang kini meringis sembari mengocehkan punggungnya yang kesakitan. "M—maaf, gue—"  "Kalian berdua! Cepat bangun!" Binar tak sempat menyelesaikan ucapannya, karena suara tegas sudah lebih dulu menginterupsi.  Meneguk ludah kelu, Binar yang masih berada di atas tubuh Eric, mendongakkan wajah dengan perlahan bak gerakan slow motion, dan hanya bisa meringis kecut, mendapati dua petugas kepolisian yang sudah bersedekap tangan menatap kearahnya dan Eric yang berdecak. Astaga ... Sia-sia Binar melawan rasa takutnya pada ketinggian untuk menghindari kejaran para petugas, jika pada akhirnya, ia tertangkap juga. Pada kenyataannya, meski mencoba untuk menghindar, daftar kesialannya hari ini, tetap saja bertambah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD