"P—Pa, pelan, tanganku sakit." Meringis menahan nyeri dipergelangan tangan kanannya, Binar berusaha menyeimbangkan langkah sang Papa yang tengah menyeretnya dari kantor polisi.
Dengan kepayahan, Binar terseok-seok mengikuti langkah cepat Papanya menuju mobil. Membuka pintu bagian penumpang, tubuh ringkihnya di dorong kasar, sebelum suara berdebum bantingan pintu mengusik pendengaran.
Meneguk ludah, Binar tak berani menatap wajah Dendra yang memerah menahan amarah. Tanpa kata, pria paruh baya itu menjalankan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Membuat Binar mencengkram sabuk pengamannya dengan erat. Jantungnya berdegup kencang, bukan sekadar ngeri melihat cara berkendara Papanya yang terus menaikan kecepatan sembari menyalip ke sana-kemari. Sesekali melempar ump*tan untuk pengendara lain yang dianggap menghambat perjalanannya. Tapi juga kemerahan yang tak lama lagi akan dimuntahkan padanya.
Setelah berkendara beberapa lama, mobil yang Dendra kendarai akhirnya sampai di kediaman mereka.
Membuka sabuk pengaman dengan tangan yang tiba-tiba tremor. Binar yang baru mencecap sedikit perasaan lega setelah dibawa berkendara begitu mengerikan. Tersentak saat pintu di sampingnya terbuka, dan sebelum bibirnya melempar pertanyaan. Pergelangan tangannya lagi-lagi dicengkeram hingga tubuhnya tertarik sampai keluar dari dalam mobil nyaris tersungkur.
"Pa—"
"Diam," desis Dendra yang berhasil membungkam mulut Binar seketika.
Membuka kasar pintu rumah, pria itu melangkah lebar dengan Binar yang terseret-seret mengikutinya.
BRUG!
"Astaga!" Dyra memekik saat tiba-tiba Binar terjatuh tepat di bawah kakinya. Wanita itu sebelumnya tengah bersantai, menikmati teh hangat sembari melihat-lihat majalah yang masih terbuka dan berada di atas pangkuannya. "Apa-apaan sih?" Bangkit dari duduknya, Alih-alih membantu Binar berdiri. Wanita itu hanya melihat sekilas putrinya yang kini terduduk di lantai. Sebelum meletakan atensi pada sang suami yang sudah pulang lebih awal. "Ini siang-siang kenapa sudah pada pulang?"
"Tanya sama anakmu itu!" Seru Dendra yang tak bisa menutupi rasa geramnya.
Dyra yang masih dilanda kebingungan hanya bisa mengerutkan kening. "Maksudnya apa? Tolong beri penjelasan. Kamu pikir aku cenayang yang bisa nebak kemarahan kamu karena apa? Ah, aku lupa, setiap hari pun kamu selalu marah-marah."
"Diam! Dan sebaiknya, didik anakmu dengan becus. Dia sudah bikin malu!"
"Astaga ... Apa sih maksudnya? Apa yang sudah Binar lakukan? Bilang? Jangan memberi penjelasan setengah-setengah."
Menyugar rambut dengan gerakan kasar, satu tangannya berkacak pinggang, Dendra menatap Binar yang sudah berdiri dan hanya bisa menundukkan kepala. "Dia!" Tunjuknya pada sang putri. "Sudah membuat malu! Kamu tau aku dari mana?" Tanyanya yang tentu saja mendapat gelengan kepala dari Dyra. Karena ... Seperti yang wanita itu katakan sebelumnya, dia bukan cenayang yang tau apa yang terjadi, tanpa penjelasan apa pun. "Kantor polisi!" Ucap Dendra penuh penekanan.
"A—apa? Kantor polisi? Ngapain?"
"Tanya sama anakmu itu!"
Dyra beralih pada Binar yang hanya bisa menunduk sembari meremasi rok abu-abunya. "Binar? Jawab!"
Meneguk ludah kelu, Binar akhirnya mengangkat wajah, menatap netra sang Mama yang menyorotkan keinginan tahuan. "M—maaf, Ma."
"Saya itu butuh penjelasan, bukan maaf!"
Berdecak kesal, Dendra yang sudah tak sabar, akhirnya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. "Anak kamu itu terlibat tawuran. Pihak sekolah menghubungi dan memintaku untuk ke kantor polisi. Karena dia dan teman-teman begajulannya tertangkap setelah melarikan diri karena ketahuan tawuran."
"Astaga ... Binar!" Dyra merangsek menuju sang putri. Memegang kedua bahunya dan mencengkram erat, "kamu itu ke sekolah untuk belajar! Bukan tawuran!"
"Bikin malu! Urus dia yang bener. Kamu itu lebih sering di rumah, harusnya perhatikan. Masa anak sendiri berubah liar nggak tau?!"
"Kok jadi aku yang disalahkan?" Melepas cengkraman dibahu Binar, Dyra beralih menatap pria yang berstatus suaminya dengan sengit. Kesal karena tiba-tiba menjadi kambing hitam. "Memangnya kamu sudah mendidik dengan baik sebagai seorang Ayah?"
"Aku itu kerja! Nggak banyak waktu buat awasin dia! Kamu yang harusnya lebih memerhatikan. Sekarang tawuran, besok-besok apa?"
"Nggak adil kalau semua dilimpahkan ke aku?!"
"Nggak adil gimana? Ya pantaslah kamu yang tanggung jawab. Terus mau salahkan siapa? Si Mbok?"
"Kamu juga harusnya instrospeksi diri!"
"Kamu itu tuli atau bebal? Aku udah bilang. Nggak bisa awasi dia karena aku kerja! Kamu yang harusnya lebih bisa diandalkan karena punya banyak waktu luang!" Ucap Dendra dengan nada penuh sindiran.
Dendra dan Dyra saling menatap sengit. Dengan napas memburu kasar, Dendra akhirnya mengibaskan tangan ke depan wajah. "Sudahlah! Aku sibuk! Tidak ada waktu untuk berlama-lama berdebat dengan wanita keras kepala sepertimu. Sekarang, urus anakmu dengan benar. Karena aku sudah dipusingkan persoalan kantor!" Usai mengatakan hal itu, Dendra akhirnya berlalu pergi menuju pintu keluar. Dia harus kembali ke kantor karena hanya meminta izin sebentar dengan alasan darurat dikeluarganya.
Sepeninggal Dendra. Fokus Dyra teralihkan sepenuhnya pada Binar yang sejak tadi bungkam.
Menghapus jarak dengan putrinya, kini mereka berdiri saling berhadapan. Binar yang sejak tadi menunduk, perlahan mengangkat wajah. Menggigit bibir, gadis itu kebingungan mencari kata yang tepat untuk diucapkan. Sayangnya, Binar belum sempat berkata apa pun, Dyra sudah lebih dulu mengucap hal yang mengoyak hatinya.
"Jika tidak berguna, setidaknya jangan menyusahkan." Desis Dyra sembari mendorong kening Binar dengan jari telunjuk yang kukunya berkuteks merah. Sebelum kemudian berlalu pergi, meninggalkan Binar mematung di tempatnya berdiri.
Sepi meraja, saat menyisakan Binar seorang diri di sana. Menikmati rasa sakit yang seharusnya terbiasa untuknya. Sialnya, netranya tetap saja memanas hingga membuat pandangannya memburam.
Satu bulir air mata jatuh ke pipi kirinya yang dengan segera Binar hapus kasar dengan punggung tangannya.
"Non," suara yang seperti bisikan tapi masih mampu tertangkap pendengarannya membuat Binar menoleh. Dan mendapati raut sendu si Mbok yang dengan pelan meraih pergelangan tangannya hingga membuat Binar refleks meringis. Merasa sakit karena sebelumnya sempat dicengkeram keras sang Papa.
"Astaga! Ini kenapa Non?" Tanya wanita paruh baya itu sembari memegang hati-hati tangan Binar yang pergelangannya tampak memerah.
"Nggak ap—"
"Tunggu sebentar, Bibi ambilkan obat." Tanpa menunggu jawaban dari Binar, si Mbok sudah lebih dulu berlalu dengan tergesa-gesa.
Binar tak melepaskan tatapannya dari punggung ringkih wanita paruh baya yang selalu memedulikannya, melebihi dua orang dewasa yang berstatus sebagai orangtuanya.
***
Ke esokan paginya, Binar datang ke sekolah dengan wajah murung. Dia nyaris kembali terlambat, jika saja si Mbok tak membangunkannya berkali-kali. Semalaman, Binar kesulitan untuk terlelap. Terlebih, pendengarannya lagi-lagi dijejali suara pertengkaran kedua orangtuanya.
Mengerutkan kening, Binar memerhatikan para siswa yang tak sengaja berpapasan dengannya di koridor kelas, tampak melempar tatapan sembari berbisik satu sama lain. Membuatnya merasa tak nyaman.
Gadis itu bahkan menundukkan kepala, memindai penampilannya yang mungkin saja terdapat hal aneh. Binar sampai berkaca melalui ponsel, takut diwajahnya terdapat sesuatu yang bisa membuatnya malu. Tapi ... Tidak. Semua tampak normal. Lalu, hal apa yang menjadikan Binar pusat perhatian para siswa lainnya? Atau mungkin ... Itu hanya perasaan Binar saja? Ya, sepertinya begitu. Suasana hatinya yang tengah kacau, mungkin mempengaruhi pikirannya juga.
Berusaha tak ambil pusing, Binar tetap mengayunkan langkah menuju kelasnya.
"BI! BINAR! OY, BI!"
Suara seseorang yang meneriakkan namanya membuat Binar terpaksa menghentikan langkah. Menoleh, ia mendapati Agni yang tampak terengah-engah. "Lo abis ngapain sih? Kalem aja, belum jam masuk."
"Ck! Bukan itu. Lo nggak lihat mading?"
Menggelengkan kepala dengan wajah bingung, Binar tersentak saat Agni tiba-tiba saja meraih tangan kanannya dan setengah berlari mengajaknya membelokkan arah. "Heh, mau kemana?" Tanyanya karena bingung melihat Agni justru menjauh dari arah kelas.
"Mading!"
"Ngapain?"
"Ngasih lihat lo sesuatu yang penting?"
"Apaan sih? Nilai ulangan minggu lalu? Emang dipajang di Mading?"
"Ck! Bukan, nanti juga lo tau, Bi."
Tak lagi melempar tanya, Binar akhirnya memilih mengunci mulut dan dengan pasrah mengikuti Agni.
"Duh, rame banget Ni, ntar aja jam istirahat." Melihat kerumunan para siswa yang memenuhi mading membuat Binar urung menuju ke sana. Dia tak mau jika harus berdesak-desakan. Sayangnya, Agni seolah menulikan pendengaran dan tetap mengajaknya ikut berdesakan bersama siswa lainnya.
"Misi, misi, numpang lewat, misi." Dengan tangan kanan yang masih memegangi lengan Binar agar tak kabur darinya. Agni berusaha masuk ke kerumunan para siswa yang tengah memenuhi mading.
Rasa tak nyaman kian mengusik Binar, saat beberapa pasang mata terang-terangan menatap kearahnya. Membuat gadis itu memegang erat tali tas punggung yang dikenakannya sebagai pegangan dari rasa gugup yang saat ini merongrong.
Setelah berjuang keras, akhirnya mereka bisa berada di depan mading. "Coba lihat itu, Bi!" Tunjuk Agni dengan raut penuh semangat, pada sesuatu yang tertempel di dinding mading.
Binar menolehkan kepala, mengikuti arah telunjuk Agni. Dan seketika matanya terbelalak, tak bisa menutupi rasa terkejutnya.
Astaga! Apa-apaan itu?
"Ni, i—ini?"
"Gue juga kaget pas pertama lihat Bi. Kirain ada pengumuman apaan orang-orang pada ngumpul depan mading. Ternyata ... Ini alasannya! Astaga ... Bi, parah, lo keren banget!" Berjingkrak sembari bertepuk tangan, Agni tampak antusias. Berbanding terbalik dengan Binar yang masih terheran-heran. Karena, bagaimana bisa, ada foto-fotonya yang tengah terlibat tawuran terpajang di sana?
"S—siapa yang pasang foto-foto ini?"
"Lo nggak tau? Erik kan punya juru foto khusus. Dia punya tugas buat salah satu anak buahnya untuk dokumentasikan kegiatan gengnya, termasuk pas tawuran."
"J—juru foto?" Tanya Binar dengan wajah tak percaya. Tapi Agni justru mengangguk penuh semangat.
"Iya, lo masa nggak tau? Kan kadang, kalau abis tawuran atau bikin ulah, suka dipajang di mading sama gengnya Erik. Buat nunjukin eksistensi mereka sebagai kelompok yang disegani di sekolah kita."
Penjelasan Agni membuat Binar memijat pangkal hidungnya karena tiba-tiba saja kepalanya terasa berdenyut. Sebelum kemudian, Binar melakukan hal yang membuat semua orang tercengang. Gadis itu mencopot foto-foto yang terdapat gambar dirinya yang tertempel di mading, lalu memilih keluar dari kerumunan, di ikuti Agni yang mulai memberondongnya dengan banyak pertanyaan. Binar tak menggubris, ia terus mengayunkan langkah menuju kelas yang sempat tertunda karena sahabatnya yang saat ini masih berceloteh di sampingnya, menyeretnya menuju mading.
Ini benar-benar memalukan! Pantas saja para siswa menatapnya penuh rasa ingin tau. Ada banyak fotonya yang terpampang begitu jelas di mading, saat tengah terlibat tawuran kemarin.
"Bi ... Ish! Jawab dong? Lo mau bikin gue kejang-kejang karena penasaran?" Lelah diabaikan, Agni akhirnya melayangkan protes. "Sejak kapan lo deket sama Eric? Kok gue nggak tau sih? Padahal selama ini, nggak pernah ketinggalan info soal dia. Curang lo mah, main rahasia-rahasiaan sama gue. Padahal, gue selalu blak-blakan soal apa pun." Dengan wajah memberengut, Agni bersedekap tangan.
Mengela napas, Binar berusaha mengais ketenangan yang sempat tercecer karena semua kekacauan di pagi hari ini. "Bukan begitu, Ni. Nanti gue jelasin sama lo, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sekarang kita masuk kelas dulu."
Mendengar ucapan Binar membuat keruh diwajah Agni berubah cerah. "Janji ya, lo?!"
"Hm," balas Binar singkat, yang disambut sorakan antusias dari Agni yang jiwa keponya mulai meronta-ronta.
Sayang, hal itu sepertinya belum akan bisa Binar wujudkan. Karena ... Sesampainya di kelas, ia kedatangan sosok yang tak pernah di duganya.
Di sana, di kursi yang menjadi tempat duduk Binar. Kini terisi oleh sosok Eric yang entah sejak kapan sudah terduduk santai dengan kedua kaki panjangnya yang disilangkan di atas meja. Bersedekap tangan, cowok itu menaikan satu alis mata dengan seringai yang muncul melihat keberadaan Binar yang mematung di ambang pintu kelas.
Astaga ... Mimpi buruk apalagi ini? Keluh Binar dalam hati. Meyakini jika harinya akan suram karena harus terlibat dengan berandalan sekolah.