bc

I’ll Be Yours, Baby

book_age16+
633
FOLLOW
3.0K
READ
possessive
age gap
arranged marriage
CEO
drama
bxg
campus
office/work place
like
intro-logo
Blurb

Sejak kecil, aku banyak bermimpi. Salah satunya, terlahir sebagai anak orang kaya. Berangkat sekolah diantar naik mobil mewah; sarapan dengan s**u lengkap dengan roti tawar dan selai strawberry; beli sepatu dan tas baru setiap minggu; dan masih banyak lagi. Namun aku sadar, semua itu hanyalah mimpi. Kemudian, aku meralat mimpiku. Karena aku sadar, tidak mungkin aku dimasukkan lagi ke dalam kandungan Mama hanya untuk dilahirkan kembali.

Lalu aku bermimpi, ada seorang pengusaha kaya yang mau mengadopsiku sebagai seorang anak. Jikalau sudah begitu, aku tidak perlu berganti orang tua, ‘kan? Memiliki dua keluarga dan kaya raya, benar-benar mimpi yang sempurna. Yah, setidaknya itu dulu.

Dan akhirnya keinginanku terwujud, aku bisa menjadi orang kaya mendadak. Sayangnya ini bukan mimpi yang aku inginkan, karena aku harus menjadi… istri seorang pengusaha kaya.

chap-preview
Free preview
Chapter 001
Sejak kecil, aku banyak bermimpi. Salah satunya, terlahir sebagai anak orang kaya. Berangkat sekolah diantar naik mobil mewah; sarapan dengan sussu lengkap dengan roti tawar dan selai strawberry; beli sepatu dan tas baru setiap minggu; dan masih banyak lagi. Namun aku sadar, semua itu hanyalah mimpi. Kemudian, aku meralat mimpiku. Karena aku sadar, tidak mungkin aku dimasukkan lagi ke dalam kandungan Mama hanya untuk dilahirkan kembali. Lalu aku bermimpi, ada seorang pengusaha kaya yang mau mengadopsiku sebagai seorang anak. Jikalau sudah begitu, aku tidak perlu berganti orang tua, kan? Memiliki dua keluarga dan kaya raya, benar-benar mimpi yang sempurna. Yah, setidaknya itu dulu. Sekarang aku sama sekali tidak berharap diadopsi oleh siapa pun karena aku sadar tak ada yang lebih berharga dari keluarga yang bahagia. *** Setelah kelulusan SMA, aku banyak menghabiskan waktu di rumah. Tak banyak yang bisa kulakukan selain mencari tahu info lowongan pekerjaan. Keinginanku untuk lanjut ke jenjang kuliah cukup besar, namun menyadari orang tuaku tidak lengkap; biaya yang dibutuhkan untuk kuliah jelas tak sedikit, aku pun mengubur semuanya pelan-pelan. Pukul 20.27, di dalam kamar; aku mengobrol bersama ketiga sahabatku melalui pesan singkat. Bersahabat sudah cukup lama, kami membentuk sebuah grup chat di salah satu aplikasi chatting. Mereka adalah Fidel, Cilla, dan Vidi. “Seneng banget gak sih akhirnya kita lulus SMA!! Gak perlu susah-susah belajar buat ujian lagi. Gak perlu bangun pagi buat pergi sekolah,” ujar Fidel yang masih berbahagia atas kelulusan kami. “Emang kamu gak mau kuliah? Bukannya kamu udah daftar ulang di Univ. Joy?” balas Cilla. Aku menjadi terkejut setelah membaca pesan dari Cilla, sebab kampus Joy memang salah satu kampus terbaik di kota dan menjadi incaranku sejak lama. Aku pun membalas, “Lah, memang udah buka pendaftaran?” Tak lama kemudian, Vidi ikut bergabung dalam obrolan juga. “Kamu lupa, Le?” Semakin bingung dibuatnya, aku benar-benar tidak ingat akan hal itu. “Hah? Gimana?” “Mulai deh, mulai! Kalo udah malem pasti lolanya kumat,” gerutu Cilla lewat balasannya. Aku masih mencoba untuk terus mengingat dan hasilnya samar; seperti ‘iya’ namun juga ‘tidak’. “Kita semua kan daftar bareng-bareng waktu itu, tapi yang keterima aku doang wkwkw,” balas Fidel dengan tawa yang ia ikut sertakan dalam ketikan. “Swombong amadd!!” ejek Cilla, aku bisa membayangkan bagaimana nada ketika ia mengatakan kalimat itu. Dan Fidel pun hanya membalas dengan emoticon tawa saja. “Oh, iya deng! Aku juga lolos, tapi gak kuambil. Akhirnya aku mencoba melupakan. Eh, lupa beneran” balasku ketika ingatan samar itu akhirnya menjadi jelas. Ternyata balasanku yang setengah melawak itu menjadi bahan tertawaan mereka. Sedih sudah pasti, karena impianku untuk berkuliah harus ditunda untuk sementara—entah sampai kapan. Namun aku tak sendirian, Cilla juga menunda kuliah; keadaan ekonomi keluarga kami kurang lebih sama. Berbeda dengan Vidi dan Fidel yang terlahir dari keluarga berada. “Gais, aku belum cerita kan ke kalian.” Tiba-tiba Vidi menyela obrolan kami dengan bahasan baru. “Apa nih? Apa nih? Kayanya berita hot,” tanya Fidel antusias. “Sambel kali, hot!” sahut Cilla. “Kita bahas yang serius dulu, ya! Aku cuma mau kasih tau kalo kedepannya kita bakal susah ketemu,” ujar Vidi. Sejenak grup kami hening. Mungkin yang lain juga sama sepertiku; sama-sama terkejut dengan pesan yang baru saja kami terima dari Vidi. “Kenapa kamu ngomong gitu, Vid? Memangnya kamu mau ke mana?” tanyaku kemudian. “Kok gitu??? Kamu mau ke mana? Kita ‘kan, udah janji baka sama-sama terus!” tambah Fidel. “Iya sih, tapi gimana ya…. Aku juga gak ada pilihan,” balas Vidi lagi. “Kamu mau kuliah jauh ya?” tebak Cilla. Nampaknya hanya dia yang bisa menebak. “Sorry… bukan aku yang mau.” Balasan Vidi menyiratkan kalau tebakan Fidel benar adanya. Kami pun kompak menyayangkan kabar tersebut. Meski hanya aku dan Fidel yang sudah diterima di Universitas Joy—dan berakhir aku mengundurkan diri—namun sebenarnya kami sudah berjanji akan berkuliah di tempat yang sama—walaupun beda tahun angkatan. Setidaknya Vidi pernah mengatakan kalau dirinya akan mencoba daftar sekali lagi melalui jalur mandiri. Vidi terus meminta maaf. Kabar bahwa dirinya akan pindah ternyata juga baru ia ketahui, wajar saja kalau ia sempat berjanji akan mendaftar di kampus yang sama dengan kami. Kabarnya, Jepang adalah negara yang akan ia tinggali nantinya dan ia masih ada waktu satu bulan sebelum keberangkatan. “Tapi-tapi-tapi… kamu yakin bisa tinggal di sana? Kalo musim dingin memangnya kamu bakal kuat? Nanti kamu sakit gimana?” tanya Fidel yang bahkan sudah mengkhawatirkan kesehatan Vidi. “Utututuuu! Makasih udah khawatir sama aku. Aku tau kok, kalian semua sayang sama aku, tapi mau gimana lagi? Mungkin agak susah adaptasinya, tapi bukan berarti gak bisa.” Balasan Vidi tidak menyiratkan kesedihan, sepertinya kami juga tidak boleh sedih. Hal itu akan membuatnya tidak nyaman. “Karena masih ada waktu satu bulan, berarti kita masih bisa ketemu dulu dong?” usulku. Kami akan berpisah dalam waktu yang lama, bahkan rentang waktunya juga masih belum pasti. Tentu perpisahan melalui chat grup bukanlah sesuatu yang pantas, apalagi kami sudah bersahabat lumayan lama. “Harus bisa ketemu!! Aku mau nginep sebulan di rumahmu, Vid!” sahut Fidel semangat. “Jangan boleh, ngabisin beras dia entar!” balas Cilla dengan candanya. “Wkwk. Boleh kok, boleh! Gak ada yang larang. Kalian semua nginep di rumahku, ya! Nanti kita makan yang enak-enak,” balas Vidi lagi. Dia anak yang sangat baik dan tidak pelit. Yah, meski pada dasarnya dia memang memiliki banyak uang, namun dia tak pernah membedakan kami yang tak ‘selevel’ dengannya. Di tengah pembahasan kami tentang menu apa yang cocok dimakan untuk perpisahan, Mama mengetuk pintu dan memintaku untuk keluar sebentar. Aku pun undur diri dari obrolan dan meninggalkan ponselku di kamar. Ketika aku keluar, Mama sudah menungguku di ruang tamu. Sepertinya ada hal serius yang akan ia sampaikan. Aku tak bisa menahan senyum, sebab kupikir Mama sudah mempertimbangkan permintaanku bulan lalu; yakni izin untuk kuliah sambil bekerja. “Sini bentar, Le! Mama mau ngomong,” panggil Mama dengan ekspresi yang tak bisa k****a, tapi aku yakin Mama membawa kabar baik. “Ngomong apa, Ma?” tanyaku seraya duduk di sebelahnya. “Leya masih pengen kuliah, ‘kan?” tanyanya. Senyumku semakin mengembang mendengar pertanyaan itu. Sebentar lagi aku bisa memberikan kabar baik kepada sahabat-sahabatku yang sekarang masih bercengkrama di grup chat. “Iya, Ma,” jawabku yakin. “Aku udah cari-cari kok, ada beberapa beasiswa yang bisa aku coba,” tambahku lagi. “Tapi cari beasiswa kan susah. Kalo Mama kasih opsi, Leya mau, gak?” tawar Mama. Di sini aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Untuk memberikan opsi, seharusnya tidak perlu menawarkan, tinggal sebutkan saja apa opsinya. “Opsi… apa, Ma?” tanyaku dengan ragu. “Kalo beasiswa kan cuma ngebiayain kuliah Leya. Uang makan, transport dan lain lain juga masih harus Mama yang tanggung. Jadi, mmm....” “Jadi apa, Ma?” Aku menyimak dengan sangat serius, wajah Mama terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu. Akhirnya sebuah pertanyaan yang sangat tak terduga terucap. “Leya mau menikah muda, gak?”   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook