Prolog
Mutiara duduk tenang di atas ranjang rumah sakit. Dadanya berdegup kencang. Seorang dokter dengan perlahan membuka perban dan pelindung mata yang sudah satu minggu membungkus matanya. Dia baru saja melakukan operasi kornea mata seminggu yang lalu.
Dan kini, tibalah hari di mana dia akan bisa melihat lagi.
“Nah, sekarang coba pelan-pelan buka matanya, Nona Mutia,” ucap sang dokter dengan nada penuh pengharapan.
Berharap operasi kornea mata yang dia membawa hasil yang tidak mengecewakan.
Bulu mata lentik itu bergerak-gerak dan kelopak matanya seolah bersiap untuk terbuka lalu kemudian melihat dunia.
Ada seorang suster yang setia berdiri di sisi dokter Bianca. Membantu sang dokter adalah tugasnya.
“Pelan-pelan, jangan terlalu di paksakan agar otot-ototnya tidak menegang, Nona,” ucap Dokter Bianca lembut.
Perlahan Mutiara membuka matanya. Dengan sangat pelan mengikuti interupsi Dokter Bianca.
Bayangan ruangan yang mengabur samar-samar terlihat semakin nyata. Ruangan yang begitu terang dan elegan. Ada jendela kaca yang gordennya di sibak sampai ke ujung, membuat ruang rawat inap yang selama ini gelap gulita menjadi terang baginya.
Mutia diam. Dia mengedarkan pandang. Melihat suster dan dokter yang berdiri di sisi ranjangnya. Lalu, mencoba melihat objek-objek lain yang di bisa tangkap oleh retina matanya.
“Nona Mutia bisa melihat saya?” Sang dokter melambai di depan wajah Mutia.
Gadis itu hanya diam mengedarkan pandang dengan tatapan kosong. Seolah tidak memberi respon berarti sejak kelopak matanya terbuka tadi. Tidak berteriak euforia atau reaksi bahagia pasien yang bisa melihat lagi. Dia sudah banyak menangani operasi tlanspalansi kornea. Tapi, reaksi Mutia jauh dari kata bahagia.
Apakah kornea mata Mega tidak berfungsi dengan baik di sana? Batin sang Dokter.
Beberapa saat kemudian, Mutia menatap Dokter Optalmologis tersebut. Dokter spesialis mata yang merawat dirinya sejak kebutaan 8 bulan lalu akibat terpercik kembang api.
“Nona Mutia,” panggil Dokter Bianca sekali lagi.
“Dokter Bi lebih cantik dari yang aku bayangkan,” jawab Mutia lalu tersenyum penuh haru.
Dokter Bianca dan susternya menghela napas lega. Operasi kornea mata seminggu yang lalu mengalami sedikit kendala. Dan ternyata, kornea mata Mega yang tak lain adalah kakak kandung dari Mutia, bisa bekerja dengan baik di sana.
“Syukurlah,” gumam Dokter Bi. “Sus, beri obat tetes mata untuk mengurangi rasa gatal,” titahnya pada sang suster yang segera di laksanakan.
“Terima kasih, Dokter Bi,” ucap Mutia.
“Sama-sama,” jawabnya dengan senyum tulus.
Mutia tidak tahu harus bahagia atau sedih. Dia bisa melihat dunia tapi kehilangan kakaknya untuk selamanya.
Hidup terkadang tidak selalu adil, memang!
***