bc

Menantu Presiden

book_age16+
225
FOLLOW
1.7K
READ
HE
arranged marriage
drama
bxg
secrets
war
like
intro-logo
Blurb

Menjadi menantu seorang Presiden?

Bagi pria kaku macam Letkol Alvar Mahardian yang sudah mengabdikan dirinya sebagai prajurit negara selama belasan tahun, tiba-tiba diminta sosok tempatnya mengabdi untuk menikahi anak perempuannya adalah sesuatu yang membuat Alvar tidak tahu harus merespon apa.

Terlebih, sosok yang memintanya itu adalah panglima tertinggi dalam susunan tatanan negara yang tidak lain adalah seorang Presiden. Seorang Presiden yang meminta Alvar untuk menikahi putri Presiden satu-satunya. Lantas apa yang akan terjadi pada Alvar? Dan mengapa juga sang Presiden mengajukan permintaan demikian padanya.

chap-preview
Free preview
1. Permintaan Seorang Ayah
"Ayah ingin kamu menikah dengannya, Aroha. Menikahlah dengannya dan—" "Menikah dengannya dan menjadi komoditas publik agar reputasi Ayah semakin baik di mata rakyat? Atau karena memang Ayah nggak mau jadi gunjingan satu rakyat Indonesia karena putri Ayah satu-satunya ini belum menikah?" Suara wanita yang lebih muda angkat bicara, memotong kalimat yang baru saja diucapkan seorang kepala Negara itu padanya. "Ayah itu sudah ada di akhir masa 2 periode... Lalu apa lagi yang Ayah butuh? Kenapa harus repot dengar apa kata publik dan orang? Apa yang salah memang dengan aku yang belum menikah? Aku toh mengabdi untuk profesiku, sama seperti ayah mengabdi pada Negeri ini." "Aroha. Dengarkan Ayahmu sampai selesai, jangan memotong ucapannya begitu, Nak." Suara sang ibu menengahi perdebatan di antara dua orang yang dicintainya itu, menatap menatap masing-masing bergantian. Aroha beralih menatap sang Ibu setelah mengalihkan pandangannya dari sang Ayah, menunjukan raut memelas tanda bahwa dirinya sudah cukup lelah dengan bahasan semacam ini. "Tapi, Bu... Aku udah nolak baik-baik. Juga udah berkali-kali aku bilang sama Ayah kalau aku belum mau nikah, tapi Ayah tetep aja masih bersikeras, menganggap bahwa profesiku udah cukup dan—" "Belum mau menikah? Terus kapan? Kamu kamu mau? Kapan kamu berencana untuk nikah kalau setiap kali Ayah bahas soal ini kamu selalu bilang belum siap dan belum mau. Usia kamu udah 34 tahun, Aro." "Terus kenapa memang kalau aku udah 34 tahun? Apa yang salah dengan umurku? Apa ada larangan kalau wanita yang umurnya 34 tahun belum nikah? Apa ada peraturan yang mengharuskan di usia yang 34 tahun semua orang terutama perempuan harus udah menikah? Ayah mau bikin peraturan macam itu? Mau bikin undang-undang yang mewajibkan setiap warga negara dengan usia tertentu harus udah menikah? Atau—" "Aroha." Suara sang Ayah yang berat dan penuh penekanan. Itu jelas sebuah peringatan. Revana bisa melihat tensi yang begitu tinggi di antara suami juga putrinya, dan wanita paruh baya itu tentu berusaha untuk menangkan mereka. "Nak, ucapan kamu itu udah keterlaluan. Kamu tahu itu, kan? Kamu juga pasti tahu maksud ayahmu itu baik, Aro." "Tapi nggak semua maksud baik itu bisa berarti baik juga buat seseorang yang menerimanya, Bu. Aku yakin Ibu juga tahu itu." "Aroha..." Bukan hanya wanita berprofesi sebagai dokter residen spesialis bedah toraks kardiak vaskular tahun ke-5 itu yang kini memelas, melainkan sang ibunda juga. Wanita paruh baya itu jelas tahu betapa keras kepala putrinya, jauh lebih tahu dibanding siapa pun. Dan buntut dari pembicaraan ini sebenarnya juga sudah beliau terka, sejak suaminya itu mulai membicarakan mengenai betapa sudah seharusnya putri mereka menikah. "Aroha." Suara bariton sang ayah kembali terdengar. "Ini bukan tentang bagaimana kamu dibicarakan sama banyak orang—nggak, ini sama sekali bukan soal itu." Tuturnya begitu tenang, suaranya lembut dan menentramkan, bahkan, meski putrinya sudah tersulut emosi karena permintaannya, beliau masih bisa setenang itu, juga berusaha menenangkan situasi panas karena emosi putrinya yang kini terasa dominan. Seperti yang putrinya sampaikan, mereka sudah membicarakan ini berulang kali, dan berkali-kali juga perbedaan pendapat seperti ini terjadi. Sayangnya hingga saat ini memang tidak pernah ada titik temu mengenai topik yang sama. Bagi Adam, ini bahkan terasa lebih pelik dibandingkan urusan negara yang sudah menjadi makanan sehari-harinya sekalipun. "Ini tentang Ayah yang kian menua, Aroha. Ini tentang Ayah yang takut nggak bisa menyaksikan kebahagian putrinya. Ini tentang Ayah yang cemas nggak bisa melihat bagaimana putrinya dijaga oleh orang yang tepat, ini tentang Ayah yang ingin jadi saksi bahwa putrinya bisa hidup bersama orang yang bisa menjaganya. Karena kelak, ketika Ayah udah nggak ada Ayah takut—" "Ayah!" Aroha menyela, dirinya sudah tahu apa yang hendak ayahnya katakan, dan tidak, Aroha tidak ingin mendengarnya. "Udah berapa kali Aroha bilang? Berhenti bicara seolah-olah Ayah akan..." Wanita itu tidak bisa melanjutkan ucapannya, lebih memilih menarik napas panjang dan menghembuskan kasar. "Intinya, Aroha masih mau selesaikan masa residen Aroha dulu. Ayah tahu sendiri buat tidur dan istirahat yang cukup dan nyaman aja Aroha masih susah atur waktu, gimana kalau nikah nanti? Aroha nggak mau nanti siapa pun itu yang jadi suami Aroha permasalahin—" "Alvar nggak akan permasalahkan apa pun soal profesimu. Jadi kamu nggak perlu khawatir." Aroha menatap ayahnya tak percaya. "Oh ya? Ayah yakin? Gimana Ayah tahu? Sekarang dia tentu akan bilang begitu, karena dia ajudan Ayah. Dia pasti akan setuju dengan apa pun yang Ayah bilang. Tapi nanti? Setelah Aro bener-bener udah berumahtangga dengannya, apa Ayah masih bisa mastiin itu? Setelah Ayah nggak menjabat lagi, apa dia masih akan tetep dengerin perintah Ayah?" "Aroha, Alvar bukan orang yang seperti itu. Kamu juga jelas tahu bagaimana Alvar—" "Nggak. aku nggak tahu gimana Alvar yang Ayah maksud. aku nggak kenal gimana kepribadian Alvar yang selalu ada di samping Ayah itu. Aku nggak tahu gimana dia." "Jadi kamu nggak percaya dengan pilihan Ayah? Kamu nggak percaya dengan penilaian Ayah?" Aroha menarik napasnya, memejamkan mata dan menghembuskannya lelah. "Maksud aku bukan begitu, Yah..." "Kalau begitu menikah dengannya. Ayah mau melihat kamu menikah dengannya Aroha, setelah itu Ayah nggak akan ikut campur lagi kehidupan pribadi kamu." Here we go again... Percakapan itu pada akhirnya selalu kembali ke tempat yang sama, kan? "Ayah juga udah bicara dengan Alvar, dan dia hanya menyerahkan semua keputusan sama kamu." Di depannya Aroha terlihat sangat frustrasi, wanita itu mengusak wajahnya gusar. Hendak kembali bersuara namun terpotong karena Adam sudah lebih dulu kembali membuka mulutnya. "Ayah cuma berharap kamu nggak mengecewakan Ayah dengan permintaan Ayah yang satu ini, Aroha. Ayah nggak pernah memaksamu melakukan apa pun selama ini, Ayah nggak pernah menuntutmu untuk menjadi seperti yang Ayah mau. Ayah selalu berusaha memberikan segalanya sama kamu, Ayah selalu mengusahakan yang terbaik untuk kamu. Jadi kali ini aja, kali ini aja, apa kamu nggak bisa memenuhi permintaan Ayah? Sekali ini aja, apa kamu nggak bisa menganggap permintaan Ayah ini untuk yang pertama dan terakhir sebelum Ayah mati?" "AYAH!" Suara Aroha terdengar nyaring memantul di ruangan kamarnya. Bukan hanya Aroha yang terkejut dengan ucapan ayahnya itu, tapi juga Revana—wanita paruh baya itu terkejut dengan ucapan suaminya. Pria itu bahkan tidak pernah membicarakan prihal kematian dengannya, lantas kenapa kali ini pendampingnya itu harus bicara hingga sejauh itu? "Mas..." "Maafin aku, aku minta maaf kalau ucapanku yang terakhir buat kalian marah. Tapi Aroha," Adam menghentikan ucapannya, setelah menatap putri dan istrinya bergantian, kini fokusnya kembali pada Aroha, putri satu-satunya yang ia miliki. Pria itu tahu keduanya tidak ingin mendengar hal demikian dari mulutnya, tapi apa yang dirinya katakan itu sungguhan, bukan hanya sekadar ucapan di bibir. "Kamu mengerti betapa seriusnya Ayah sekarang, kan?" Ucap pria itu dengan tatapan sendu yang lurus mengarah pada putrinya. Tanda bahwa pria itu sudah tidak memiliki hal lain yang bisa dikatakannya lagi. Tanda bahwa permintaan dalam ucapannya tadi memang satu-satunya hal yang diharapkannya untuk terpenuhi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.0K
bc

My Secret Little Wife

read
94.3K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook