2. Sisi Memalukan

1053 Words
Aroha bangun benar-benar setelah matahari bersinar terik tepat di atas kepala. Iya, tengah hari. Tanpa ada satupun yang mengganggu ataupun yang berusaha membangunkannya, Aro akhirnya bisa tertidur setelah hampir semalaman terjaga. Tentu saja karena tugasnya di rumah sakit, apa lagi. "Ugh... Ah air—aku butuh air." Gumam Aro menggeliat di setengah kesadaran. Suara wanita itu serak, khas suara bangun tidur, tapi kali ini ditambah dengan tenggorokannya yang terasa kering. Menyeret tubuhnya masih dalam posisi berbaring yang sama ke arah nakas di samping tempat tidur, Aro berusaha menuangkan air di dalam teko kecil yang tersedia di sana ke dalam gelas sebelum membawa gelas itu mendekat dan meneguk isinya hampir separuh. Napas wanita itu kini berhembus lebih leluasa dibanding sebelumnya, yang seolah tertahan di tenggorokan. Aro menarik dan menghembuskan napasnya dengan ritme normalnya kini, membuka matanya juga dengan kesadaran yang sedikit demi sedikit berusaha dia pulihkan. Aro menghembuskan napasnya kasar, sebelum bangkit dan kini terduduk di atas ranjangnya. Entah bagaimana masalah prihal dirinya yang dijodohkan kembali melintas di kepala, tiba-tiba, begitu saja, sesaat setelah Aro merasa kesadarannya perlahan kembali ke tahap normal. Hah... kenapa pula Aroha harus ingat hal itu? Di hari liburnya seperti ini? Mengurut keningnya yang kembali terasa pening, Aro berdiri, melangkah meninggalkan ranjangnya dan berjalan keluar begitu saja tanpa berkaca atau merasa perlu merapihkan dan memperbaiki penampilannya meski hanya sedikit. Berbalut piyama tidur yang kusut, rambut yang berantakan, wajah yang sedikit bengkak karena waktu tidur Aro yang tidak wajar, kotoran di sudut mata, serta sedikit—kalian tahu? Cairan yang mengering di sudut bibir, karena tidurnya terlalu lelap akibat tidak bisa tidur semalam, jejak itu masih tercetak di sana dan tidak menjadi sesuatu yang Aroha perhatikan. Pintu kamarnya itu Aro buka, entah dengan tujuan apa dan hendak kemana, kakinya melangkah keluar dan menyusuri lorong begitu saja. Hingga tak berselang lama, saat dirinya melihat pantulan dirinya di salah satu cermin besar yang menjadi hiasan dinding di lorong, wanita itu akhirnya menyadari bahwa penampilannya saat ini sangat tidak layak untuk dilihat—tepat ketika itu pula, langkah Aro terhenti bersamaan dengan langkah seseorang lainnya yang juga bereaksi serupa saat berpapasan dengan Aro. "Selamat pagi, Mbak Aroha." Untuk beberapa detik Aroha membeku. Terdiam, benar-benar tidak bergerak begitu mendapati sosok laki-laki yang beberapa hari lalu disebut-sebut oleh ayah dalam percakapan mereka itu muncul di depan mata. Sosoknya berdiri di hadapan Aroha, hanya berjarak beberapa meter hingga Aroha bisa melihat jelas wajah dan ekspresinya begitu pula pasti yang bersangkutan. Sialnya adalah, pria itu dengan penampilannya yang sudah rapih sementara Aroha yang kini… "A-Al..." Alvar menunduk, memberikan salamnya sejenak sebelum kembali mengarahkan tatapannya pada Aroha. Detik itu juga langkah Aroha bergerak mundur, terbata, mengangkat tangannya dan menunjuk tepat ke arah pria itu. "Alihin pandangan kamu!" "M-Maaf?" "A-AKU BILANG ALIHIN PANDANGAN KAMU SEKARANG!" Seru wanita itu seperti orang yang terperangkap basah melakukan kesalahan. "CEPAT!" Teriak Aroha lagi, membuat Alvar mengerjap terbata. Pria itu tidak mengerti, kenapa sapaannya justru dibalas dengan teriakan macam itu? "Alihin pandangan kamu! S-SAYA BILANG ALIHIN PANDANGAN KAMU, ALVAR! SEKARANG JUGA!" Perintah Aroha dengan suaranya yang bergetar, wanita itu terus mengarahkan telunjuknya pada Alvar, membuat gerakan melingkar sebagai isyarat meminta agar pria itu memutar tubuhnya dan berbalik memunggunginya. Alvar yang sampai perintah itu diturunkan tidak mengerti, awalnya hanya menatap Aroha dengan pandangan bertanya, pria itu bahkan hendak melangkahkan kakinya mendekati wanita di hadapannya itu untuk menenangkan Aro yang terlihat panik sebelum yang bersangkutan justru semakin histeris dibuatnya. "Jangan malah makin deket! Kamu nggak ngerti bahasa Indonesia atau apa? Cepet berbalik!" Seru Aro lagi, dengan langkahnya yang tetap terbata mundur. Begitu mendengar perintah kedua itu, kali ini Alvar benar-benar membalikan tubuhnya, yang mana itu berarti kini pria itu membelakangi posisi Aroha berada. Baru setelah Alvar melakukannya, Aro menghembuskan napasnya sedikit lega, lebih teratur dari sebelumnya yang terkena serangan panik. "Ma-maafkan saya, Mbak Aroha. Tapi apa terjadi sesuatu? Apa Mbak membutuhkan sesuatu? Bilang aja sama saya. Mungkin saya bisa—" "Nggak. Pokoknya jangan tanya dan jangan lakuin apa pun. Ikutin aja apa yang saya bilang!" Aro masih memberikan instruksi, mencoba tidak terdengar gugup kali ini. "Tapi, Mbak—" Mata Aroha membesar begitu melihat Alvar yang bergerak seolah akan kembali memutar tubuh menghadapnya, dengan cepat wanita itu kembali berseru, tidak peduli bahwa dirinya sudah memotong kalimat Alvar sejak tadi. "Jangan berbalik! Tetep hadap sana!" Kali ini Alvar menurut. Diam di tempatnya berdiri tanpa melakukan gerakan apa pun yang berarti. Yang pasti pria itu tetap bernapas, karena kalau tidak jelas semuanya akan lebih gawat dari situasi yang kini sedang Aroha hadapi. Setelah memastikan semuanya terkendali. Wanita itu kembali melangkah mundur, perlahan, masih dengan tangan yang teracung ke arah Alvar. Tak lupa sekali lagi memberikan peringatan. "Tetap seperti itu! Jangan berbalik atau putar tubuh kamu ke arah saya. Pokoknya tetap kayak gitu sampai saya pergi dari sini." Instruksi Aro. Sedetik setelahnya, wanita itu balik badan dan berlari kembali ke kamarnya secepat yang dia bisa. Napas Aro menderu, menutup pintu kamarnya kembali setelah membukanya dengan kasar. Wanita itu kini berdiri di belakang pintu, bersandar sambil berusaha untuk menetralkan kembali deru napasnya yang terlampau cepat karena kejadian barusan. Selang beberapa detik Aro melangkah kaku, menuju cermin yang ada di lemari kamarnya dan sekali lagi menyaksikan bagaimana penampilannya sekarang yang terpantul di bayangan cermin. Perlahan tangannya menuju sudut matanya, menyentuh tipis dan memastikan bahwa di sana memang ada kotoran mata yang masih bersarang. Fokusnya kemudian turun ke sudut bibir, yang mencetak bekas pulau buatan yang dibentuknya selama tidur tadi. Tangannya perlahan terkepal di depan bibir, memejamkan mata mulai meringis tanpa suara. Kedua tangan itu kemudian beringsut naik ke kepala, menaruhnya di sana dengan kepala yang tertunduk dalam. Setelahnya jari-jari Aro mulai menyisir rambutnya yang berantakan, lantas mencengkram rambut yang ada di kedua tangannya itu kesal. "Gimana bisa lo keluar dengan penampilan kayak gini, Aro! Lo pikir ini di rumah sakit? Lo pikir lo abis dapet shift jaga dan lo nggak sempet beres-beres karena ada pasien darurat?! Dan kenapa pula harus ALVAR YANG MEMERGOKINYA DI ANTARA SEMUA ORANG YANG ADA DI SINI SIH?!" Seru wanita itu histeris, mengutuk dirinya sendiri dalam penyesalan. Sementara itu? Alvar? Pria itu masih membeku di tempatnya, namun kini sudah berbalik dan memandang ke arah di mana Aroha pergi persis setelah wanita itu menghilang dari sana. Tentu saja, dengan tatapan bingung dan bertanya, mengenai mengapa putri Sang Presiden bertindak demikian. Pertanyaan yang sayangnya entah siapa yang akan menjawabnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD